Bagian Empat: Cangkir Kosong dan Tumpukan Pertanyaan
"If I wait until it feels right, I will be waiting my whole life." ㅡ Like Gold, Vance Joy.
ʕ⁎̯͡⁎ʔ༄
Seseorang pernah berkata pada Nora kalau sejauh apapun kita berusaha menghindar, terkadang satu-dua hal tetap akan menemukan caranya untuk kembali pada kita. Dulu, Nora tidak terlalu percaya tapi kini, saat Nora menatap lembaran-lembaran kertas berisi sketsa yang memenuhi meja ruang tamu apartemennya, Nora tidak bisa memungkiri bahwa mungkin ucapan itu ada benarnya.
Nora mengehela napas berat seraya menatap Kaila yang berkacak pinggang di seberang meja. Satu alisnya terangkat, menunggu jawaban, meski Nora yakin Kaila tahu satu-satunya hal yang ingin Nora lakukan sekarang hanyalah berlari sejauh mungkin dari kertas-kertas itu.
"Ayolah, No," pinta Kaila putus asa. "Gue juga nggak bakal nekat bawa ini semua ke lo kalau dari awal lo balas email Mbak Nana. Lagi pula ini bagus-bagus, kok. Coba lo lihat dulu. Sebentar aja juga nggak apa-apa. Masa lo tega padahal gue udah bawa ini semua dengan seluruh tenaga jiwa raga yang gue punya?" tambah Kaila dengan nada sedih yang dilebih-lebihkan, lengkap dengan sorot memohon andalannya.
Meski batinnya menolak, Nora akhirnya menyerah. Ia duduk bersila di lantai, menghadap meja pendek tempat kertas-kertas yang telah Nora hindari berbulan-bulan itu diletakkan, membalik lembar demi lembar satu persatu. Sketsa warna-warni dalam berbagai pola memenuhi pandangan Nora. Beberapa memiliki warna lembut dengan garis halus, sementara yang lainnya berwarna cerah dengan garis pena tegas. Gambar-gambar itu bagus. Nora mengapresiasi orang-orang yang telah meluangkan waktu menciptakan ilustrasi ini untuknya. Namun ada yang kurang. Nora tidak tahu tepatnya apa tetapi ia tidak merasa sepenuhnya puas.
"These are all nice," ucap Nora akhirnya. "Nanti gue lihat lagi ya. Gue capek. Lo mau minum?"
Nora tidak menunggu jawaban Kaila. Ia sudah lebih dulu bangkit, bergerak menuju dapur, mencari minuman kaleng atau teh untuk diseduh. Apapun asalkan ia tidak terjebak di dalam ruang tamu bersama kertas sketsa dan Kaila yang menatapnya dengan sorot itu. Sorot yang seolah mengatakan gue ingin membantu lo Eleonora tapi gue harus apa kalau lo bahkan nggak mau membantu diri lo sendiri?
"No," panggil Kaila, cukup keras untuk didengar Nora meski mereka berjarak. Nora hanya bergumam tidak jelas, tanda ia mendengar Kaila, menunggu perempuan itu melanjutkan kalimatnya. "Lo udah berhenti dari kerjaan lo yang gue tau lo suka, menghilang berbulan-bulan tanpa kabar sama sekali dan gue bahkan nggak tau lo ke mana. Terus sekarang lo mau ngelepasin mimpi lo juga?"
Nora menatap Kaila nyalang dari seberang ruangan. Pertanyaan yang disuarakan Kaila dengan nada getir itu membuat hati Nora mencelos. Sebesar itukah dampak yang ditimbulkan oleh kepergian orang itu? Sebanyak itukah hal yang Nora relakan hanya demi menghilangkan sakit yang bersarang di dadanya? Nora tahu Kaila benar. Pun Nora tahu kalimat yang terkesan dingin itu dimaksudkan untuk menyadarkan Noraㅡbahwa ia juga punya kehidupan, bahwa meski orang itu pergi dunianya masih berputar. Namun Nora juga tahu ia tidak bisa terus membohongi dirinya sendiri dengan bertingkah seolah ia tidak apa-apa. Seolah dunianya yang berputar kini bukanlah sekedar serpihan, reruntuhan rapuh dari apa yang pernah menjadi miliknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
How to Let Go (Sequel Unsent Letters)
Fiksi RemajaHow to Let Go: Sebuah kisah dari Raffa untuk Kejora. © 2019 by elcessa All Rights Reserved.