Introduksi; Kita Dan Cerita

737 76 18
                                    

Kafe Sandikala

Adalah sebuah frasa yang diukir rapih diatas papan lawas yang tergantung apik di dekat pintu. Tepatnya di sebuah bangunan tingkat yang tampilan depannya didominasi oleh kaca dan tanaman hias.

Di jam sepuluh pagi, bangunan tersebut masih kelihatan sepi. Hal itu dibuktikan oleh pelataran parkirnya yang masih kosong melompong dan beberapa pegawai yang mondar-mandir merapikan meja dan kursi makan tamu.

Dalam radius sepuluh meter, Krisan memandang kosong kafe tua itu. Kakinya sedikit lemas, merasa lelah setelah puas memutari kawasan ibukota tanpa tujuan yang pasti.

Sudah lama sekali Krisan tidak datang kesini. Ke Kafe Sandikala, tempatnya mencetak banyak pengalaman menyenangkan dulu. Rasa rindu sontak melanda, membuat hati Krisan menjadi luluh seketika.

Wanita itu kemudian sedikit ditimpa sesal sebab langsung menghindari Kafe yang biasanya menjadi tempat pelarian, kini sebatas pandangan hanya karena satu orang yang sudah pergi meninggalkan Krisan dua tahun lamanya.

Tapi balik ke realita, orang itu sudah tidak lebih dari masa lalu. Entah Krisan yang terlalu lemah atau orang itu yang berperan besar dalam hidupnya, Krisan sulit untuk melupa. Batinnya selalu mengungkit-ungkit kenangan lama dan membuatnya jadi menangis seorang diri.

Setelah menarik napas panjang, wanita itu berjalan mendekat. Meraih kenop pintu dan menimbulkan suara lonceng nang terdapat diatas kusen.

"Eehhh!!"

Seruan dari suara yang amat tinggi langsung menyapa indra pendengar. Krisan langsung menoleh terkejut, dengan segera dihadapi oleh wanita bertopi coklat yang melotot melihat kehadiran Krisan sementara jari telunjuknya tidak segan menunjuk Krisan.

"Tristan?!" kata pegawai itu lagi.

"Hah?" Krisan kebingungan. Ini mbak pegawai lagi manggil dia atau orang lain? Namanya Krisan, bukan Tristan. Dan juga, Krisan bukan dari kalangan vampir.

"Tristan kan?" Si pegawai menatap Krisan semangat.

"Bukan!" Krisan menggeleng kukuh. Menciptakan reaksi bingung dari pegawai kasir yang kini menggaruk leher belakangnya canggung.

"Masa sih, orang dulu Tristan kok." Nada bicara pegawai itu lumayan ngotot,

"Mukanya aja mirip. Matanya sama persis, bulu matanya juga lentik kayak yang dulu."

Dalam hati si pelanggan mencibir. Memang itu dirinya. Tapi bukan Tristan. Namanya mirip, tapi sudah jelas Tristan untuk laki-laki.

"Krisan, Mbak," koreksi Krisan sedikit masam. Pegawai yang tadi salah menyebut nama membulatkan mata, berlanjut menyengir kuda seolah tidak punya rasa malu.

Udah salah, ngotot pula.

"Sama aja lah ya." Pegawai tersebut mengibaskan tangan kirinya malu-malu.

"Ingat sama saya gak? Yang gak sengaja pernah numpahin kopi latte ke dress kamu itu loh."

"Nggak," balas Krisan singkat. Hendak kembali meneruskan langkahnya tapi batal saat pegawai itu menyeru lagi, "Kok gak inget?! Kan memori yang saya kasih ke kamu beda, memori yang buruk-Ehh.. Kak Rinai! Kak, ada Tristan, Kak!"

Lagi, Krisan dibuat kembali sinis saat pegawai tersebut memanggil Krisan dengan sebutan yang salah. Sementara pegawainya sibuk memanggil wanita berseragam lainnya yang hendak pergi entah kemana. Ke tempat yang Krisan tidak ketahui.

Rinai menoleh sebelum berjalan menghampiri Krisan dan pegawai tersebut. "Kenapa, Rena?"

"Tristan--"

[i] Hiraeth ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang