Seperti hari-hari sebelumnya Citra kembali menjenguk Candra seakan tak ada yang terjadi sebelumnya.
“Hai! Hari ini aku bawain bunga aster yang punya arti kesetiaan dan kesabaran. Bunga ini punya pesan biar kamu selalu sabar dan gak patah semangat karna sebentar lagi pasti kamu bakal pulih seperti sedia kala.” Citra menjelaskan dengan penuh semangat sedangkan Candra yang sedang berbaring membalik tubuhnya, menutup kedua kelopak matanya walau tidak berpengaruh matanya terbuka atau tertutup hanya ada penampakan hitam yang terlihat. Ia hanya ingin berpura-pura tidur dan tak menghiraukan ucapan Citra. Membiarkan Citra berceloteh sendiri dengan menggebu-gebu.
Citra tersenyum setidaknya kali ini ia tidak diusir dengan bentakan dan hadiah lemparan barang-barang walau Candra masih tak mengakui keberadaannya seperti benda transparan tak kasat mata dengan menganggap suara citra seperti angin lalu yang tak terdengar. Menemukan sedikit perubahan sikap dari Candra, membuat Citra menaruh harapan dan kembali bersemangat untuk mendapatkan perhatian pria dingin itu.
Citra kembali menjenguk Candra keesokan harinya. Ia mengganti bunga aster yang telah layu pada vas bunga di samping ranjang Candra dengan setangkai bunga anyelir berwarna putih.
“Hai. Aku datang lagi bawa bunga anyelir. Tau gak kalau setiap bunga itu punya arti tersendiri seperti bunga anyelir ini setiap warnanya punya makna yang berbeda loh. Bunga anyelir merah berarti rasa kagum dan persahabatan, warna kuning berarti perasaan kecewa, warna ungu berarti ketidakteraturan, warna merah muda melambangkan cinta abadi seorang ibu dan warna putih yang aku bawa ini punya arti cinta yang murni dan menyimbolkan kese..tia..an.” Jelas Citra terputus-putus saat melihat Candra berdiri dari ranjang sambil meraba-raba tembok.
“Mau kemana? Biar aku bantu.” Citra mengandeng tangan Candra namun ditepis dengan kasar.
“Gak usah. Aku bisa sendiri.” Ucap Candra masih dengan nada dingin seperti biasa tapi kali ini tidak dengan bentakan atau teriakan. Candra memperlakukan Citra seperti orang asing yang baru pertama kali ia temui.
Candra merasa jauh lebih baik melakukan segalanya sendiri ketimbang meminta pertolongan citra. Meski awal-awalnya Candra seringkali tersandung oleh benda asing yang menghalangi kakinya atau salah mengira pintu keluar sebagai pintu kamar mandi hingga ia memutari ruangannya berulang kali sambil meraba-raba untuk mencari toilet. Sekarang Candra sudah menghapal setiap inci ruang tempat ia menginap selama beberapa hari ini. Ia dapat mengetahui dengan pasti letak kamar mandi. Ia sudah tidak pernah tersandung walau masih membutuhkan waktu yang lebih lama dengan meraba secara perlahan menyusuri tembok yang mengelilingi ruang pasiennya.
“Pagi Candra. Hari ini mau jalan-jalan gak? Ke taman rumah sakit aja. Langitnya lagi cerah banget loh!” Seperti biasa suara Citra yang penuh semangat kembali memenuhi ruangan sunyi itu dengan keceriaannya.
Candra yang sudah lama terkurung di kamarnya tertarik dengan ajakan Citra. Ia memang membutuhkan udara segar untuk menjernihkan kepalanya. Candra mengangguk setuju.
“Ayo, aku juga sudah pinjam kursi roda ke suster.” Citra menarik lengan Candra ingin menuntunnya ke sebuah kursi roda.
Merasa diremehkan Candra mengangkat suaranya. “Mata aku memang buta tapi kaki aku masih bisa jalan!” Candra meraih tongkat di samping ranjangnya. Merentangkan tongkat pendek penyandang tuna netra pemberian citra yang belum pernah disentuhnya selama ini. Dengan tongkat tersebut ia mengetuk lantai disekitar kakinya sambil memperingatkan Citra agar tak membantunya.
Candra yang belum terbiasa menggunakan tongkat beberapa kali tersandung dan hampir menabrak sesuatu jikalau tidak dibantu oleh Citra di sepanjang lorong menuju taman rumah sakit.
Perjalanan yang seharusnya tidak memakan waktu lebih dari lima menit sekarang ditempu Candra dengan waktu yang lebih lama seperti melakukan pertualangan jauh yang penuh dengan rintangan.
Cahaya mentari pagi membasuh kulitnya yang dingin akibat terlalu lama berada diruangan ber-ac, memberikan rasa hangat yang telah lama tak dirasakannya. Baru saja Candra mendaratkan bokongnya disebuah bangku kayu panjang. Tetesan air terjatuh membasahi wajahnya. Alisnya langsung terpaut membentuk garis lurus.
“Candra kita balik ke kamar kamu dulu yuk.” Ucap gadis itu takut-takut.
Sraasss
Bunyi tetesan air memburu jatuh ke bumi. Aroma tanah yang khas menyeruak keluar.
“Kamu bilang ini cerah? Kamu mau mempermainkan aku? Mata aku memang buta tapi aku gak tuli! Kulit aku juga masih bisa ngerasain air hujan!” Merasa usahanya yang telah bersusah payah menuju taman rumah sakit untuk menikmati mentari pagi dan menghirup udara segar berakhir sia-sia, Candra kembali membentak Citra walau tau panas matahari masih menyengat kulitnya dikala hujan panas itu. Hujan yang turun disaat cuaca sangat cerah tanpa tanda-tanda akan turun buliran air yang membasahi tanah tempatnya berpijak, sesuatu yang tidak dapat diprediksi oleh orang awam, tidak membuat rasa kesalnya pada Citra pupus.
Jika saja gadis itu tidak mengajaknya keluar ia tidak akan melakukan usaha yang tak berarti seperti terjatuh tersandung ubin lantai yang sedikit lebih tinggi hingga membuat lututnya terbentur, melakukan hal konyol dengan meraba-raba di sepanjang perjalanan dan hampir menabrak pasien lainnya hanya demi merasakan guyuran hujan yang membuat lukanya basah dan terasa perih.
Sejak kembali dari taman hari itu Candra kembali bersikap dingin pada Citra. Ia selalu menolak ajakan keluar dari sangkar nyamannya untuk mencari suasana baru yang berbeda.
“Aku punya kabar baik buat kamu tapi kita ke taman dulu ya baru aku kasih tau.” Seru Citra terdengar sangat bersemangat seperti biasanya.
“Kalau ada yang mau kamu omongin langsung aja disini. Gak perlu ke taman segala.” Ucap Candra datar seakan tidak penasaran meskipun di dalam pikirannya ia menerka hal baik apa yang mungkin akan terjadi padanya.
Sedikit demi sedikit Citra dapat merasakan Candra mulai luluh menjadi lebih lembut padanya walau masih terkesan cuek. “Janji dulu sesudah aku bilang kamu harus ikut aku ke taman.”
“Terserah.” Citra menyentuh jari kelingkingnya. Memaksa Candra saling menautkan kedua jari kelingking mereka untuk mengikrarkan sebuah janji.
“Pendonor kamu sudah ada. Yeehh, kamu senang banget kan! Ya, kan! Jadi kamu harus temani aku ke taman sekarang juga.” Celoteh Citra dengan suara ceria seolah dirinya yang paling bahagia dengan kabar baik itu.
Dalam hatinya Candra merasa bersyukur dan lega. Akhirnya doa yang ia panjatkan tiap malam serta harapan yang ia impikan tiap membuka kedua matanya terkabulkan. Ia dengan pasrah membiarkan lengannya ditarik oleh citra yang memaksanya berdiri dari ranjang keluar dari ruangan pasiennya yang menjadi tempat persembunyiannya dari dunia luar.
Citra menuntunnya perlahan melewati lorong rumah sakit yang bising, mengingatkan setiap langkahnya disaat ada anak tangga atau saat jalan yang ia lewati tidak datar dengan sabar membimbingnya menuju tempat yang menghangatkan kulit dan menyuguhkan udara segar yang bersih. Citra mengarahkannya untuk duduk di bangku kayu yang mirip dengan terakhir kali ia duduki saat ke taman rumah sakit.
Sesuatu yang berat menindih bahunya yang ia yakini adalah kepala Citra yang sedang bersandar padanya.
“Satu persatu aku bakal penuhi janji aku.” Ucapnya lalu terdiam beberapa saat sebelum kembali berbicara lagi. “Tapi kamu harus sabar sebentar, ya. Ada kondisi yang buat pendonornya belum bisa tetapin waktunya. Kamu cukup percaya sama aku secepatnya kamu bakal bisa melihat lagi. Sebentar lagi kamu bisa melihat taman rumah sakit yang cantik ini, melihat beragam bunga yang berwarna-warni, melihat orang-orang yang berlalu lalang, melihat langit yang berwarna biru cerah, melihat pelangi yang cantik setelah hujan,” ucap Citra menjabarkan hal-hal yang dilihat matanya.
“Kamu tahu seperti pelangi yang muncul setelah hujan, akan ada hal baik yang akan menanti kamu setelah melewati setiap cobaan yang datang menghampiri kamu.” Candra terdiam termenung mendengarkan tiap kata yang terlontar dari bibir citra dengan seksama.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rainy Day (complete)
Short StorySetiapkali menatap tetesan air hujan yang terjatuh dari langit ingatanku melayang kembali pada pertemuan pertama kita. Sebenarnya dimana kamu berada? Jika aku mengikuti arus genangan air yang mengalir ini akankah aku menemukanmu?