“Aku janji gak bakal maksa kamu buat ingat kejadian tiga tahun lalu lagi asalkan kamu sadar.”
Sayup-sayup terdengar suara seorang wanita sedang berbicara sendiri sambil terisak. Tercium aroma obat-obatan berbaur cairan disinfektan dan antiseptik yang tidak disukainya memenuhi ruangan yang gelap gulita. Tubuhnya terasa lemah dan kaku untuk digerakkan. Tangan Candra meraba-raba ranjang yang terasa asing, lebih keras dan tak nyaman dari kasur dikamarnya.
“Siapa disana?” Tanya Candra dengan suara yang masih lemah.
“Kamu sudah bangun?” Tanya gadis itu dengan suara yang terdengar bersemangat bercampur isakan tangisan itu segera memanggil-manggil dokter. Hentakan kakinya terdengar menjauh bersama suara decitan pintu terbuka dan menutup.
Samar-samar Candra mulai mengingat kecelakaan yang menimpanya. Sudah berapa lama ia tak sadarkan diri? Kenapa semua terasa gelap? Padahal ia yakin sudah membuka kedua kelopak matanya atau matanya tertutup kain kasa? Banyak pertanyaan memenuhi kepalanya hingga terdengar langkah kaki segerombolan orang yang mendekat. Suara seorang pria mulai menjejalinya dengan beberapa pertanyaan seputar kondisi yang ia rasakan sedangkan Candra meraba kepalanya merasakan sebuah perban melingkar dikepalanya namun tak menutupi kedua bola matanya membuat Candra semakin cemas.
“Dok kenapa semuanya gelap? Saya gak bisa liat apa-apa” Tanya Candra berhati-hati merasa takut untuk mendengar jawaban yang tak diinginkannya.
Dokter memberi intruksi agar mata candra mengikuti gerakan tangannya yang bergerak kekanan dan kiri, mengarahkan cahaya dari senter ke arah kedua bola matanya dan melakukan serangkaian macam tes dasar namun hasilnya tetap nihil. Ia tak bisa melihat apapun segalanya hanya menyisakan kegelapan tanpa cahaya tanpa warna selain warna hitam.
Tubuhnya tidak memiliki luka yang berarti hanya luka-luka yang akan sembuh seiring berjalannya waktu sedangkan hasil pemeriksaan kondisi matanya akan keluar setelah melewati serangkaian tes lebih lanjut serta melihat perkembangan apakah ini kebutaan sementara atau tetap.
“Semuanya bakal baik-baik aja, aku bakal temani kamu terus jadi yang kuat ya.” Citra menggenggam telapak tangan candra dengan lembut.
“Pergi! Aku bilang pergi dari sini!” Candra meronta dan mendorongnya menjauh hingga terdengar suara benturan kecil yang membuat gadis itu meringis menahan rasa sakit.
Citra terus menjenguk Candra walau berkali-kali diusir tak menghilangkan tekadnya untuk selalu menemui pria tersebut. Ia mengganti setangkai bunga pada vas diatas meja. “Hai. Gimana kabar kamu hari ini?”
Candra melemparkan semua barang yang dapat diraih tangannya bantal, gelas atau buah ke arah sumber suara yang tertangkap telinganya. “Keluar! Sudah aku bilang jangan datang ke sini lagi!”
Beberapa hari telah berlalu dengan kegelapan yang menyelimuti dirinya. Ditemani pengunjung tetap yang tak kenal lelah mengunjunginya. Setiap kali mendengar suara manis wanita tersebut membuat darahnya mendidih hingga ia meneriakkan kalimat pengusiran yang amat dingin.
Pagi ini Dokter menjelaskan panjang lebar kondisi mata Candra yang memperkeru suasana hatinya. Penjelasan dengan inti matanya tidak dapat disembuhkan kecuali dengan cangkok mata yang mengharuskan ia mencari pendonor mata yang cocok terlebih dahulu.
Terdengar suara pintu ruang pasien yang ditempatinya terbuka. Jika dokter atau suster yang datang untuk mengecek kondisinya akan segera mendekat dan menyapanya namun kali ini tak terdengar suara langkah orang tersebut memasuki ruangan. Candra segera meraih sesuatu dalam genggamannya dan melempar ke arah yang dirasa merupakan letak pintu ruangan tersebut. “PERGI! Harus berapa kali aku ngusir kamu biar ngerti?” Ucapnya tajam.
“Ini aku” Suara yang tak asing ditelinganya, suara yang sudah lama tak ia dengar, suara wanita yang telah ia rindukan selama berada di rumah sakit. “Renata” Sambung gadis itu dengan suara tercekat.
Langkah kakinya perlahan semakin terdengar jelas. Sepasang lengan melingkari lehernya, memenuhi dirinya yang terasa hampa oleh kegelapan dengan kehangatan dari dekapan gadis itu. “Maaf baru bisa datang sekarang.”
“Gak papa yang penting kamu sudah datang. Aku kangen banget sama kamu.” Ucap Candra menenggelamkan wajah di bahu Renata.
Renata melepas pelukannya. “Aku sudah dengar tentang kondisi kamu” Suaranya terdengar semakin mengecil. “Aku datang cuma buat bilang hubungan kita cukup sampai di sini aja,” lanjutnya meremukkan hati Candra.
“Kenapa? Apa karna aku sekarang sudah gak bisa melihat?” Tanya Candra ragu. Seingatnya Renata bukanlah wanita yang akan melepasnya hanya karna kondisi matanya yang kini sudah buta. Renata bukanlah wanita yang akan meninggalkannya karna kondisi fisiknya yang cacat.
“Maaf kita akhiri sampai disini aja ya.” Ucap Renata membuat Candra seakan terjatuh ke dalam jurang penderitaan tanpa dasar. Ia sungguh tak menyangka maksud kedatangan pujaan hatinya hanyalah untuk memutuskan hubungan yang telah terjalin selama satu tahun belakangan.
Candra berteriak geram dikamarnya selepas kepergian Renata. Tangannya menyapu bersih semua barang di atas meja kecil di samping ranjangnya. Berteriak sekuat-kuatnya mencoba melampiaskan rasa sesak di dalam dadanya.
“Kamu gak papa?” Suara dari wanita yang dibencinya bertanya dengan khawatir.
Semua karena wanita itu andai dia tidak pernah hadir dalam hidupnya dia tidak akan mengalami kecelakaan yang menyebabkannya buta, andai dia tidak pernah bertemu dengannya maka ia tidak akan pernah ditinggalkan oleh Renata, andai ia tak pernah datang dan memporak poranda kehidupannya yang damai, semuanya karena dia, wanita itu, Citra.
“Semua gara-gara kamu! Seharusnya kamu jangan pernah muncul dalam hidup aku! Seharusnya kamu gak usah datang buat ngacauin hidup aku! Semua ini gak akan terjadi kalau gak ada kamu!” Candra berteriak histeris melampiaskan amarahnya pada Citra.
“Aku janji bakal mencari pendonor buat kamu... Aku janji bakal buat kamu bisa melihat lagi... Aku janji bakal balikin semuanya ke tempat semula, tapi aku minta satu hal aja...” Citra memohon dengan suara yang bergetar.
“Apa lagi yang kamu mau? Belum cukup buat hancurin hidup aku? Apa belum cukup buat aku jadi buta!” bentak Candra dengan alis terangkat sebelah.
“Aku cuma mau kamu izini aku temani kamu cukup sampai pendonor mata kamu sudah siap. Setelah kamu sudah bisa liat lagi aku bersumpah gak bakal ganggu hidup kamu lagi dan aku gak akan pernah muncul dihadapan kamu lagi.” Pinta Citra dengan menahan isakan tangisnya.
“Terserah kamu.” Jawab Candra dengan dingin.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rainy Day (complete)
Short StorySetiapkali menatap tetesan air hujan yang terjatuh dari langit ingatanku melayang kembali pada pertemuan pertama kita. Sebenarnya dimana kamu berada? Jika aku mengikuti arus genangan air yang mengalir ini akankah aku menemukanmu?