((1. c))

17.2K 1.3K 35
                                    

Perasaan Anita sedikit lega, perut kenyang dan dia akan tidur dengan nyenyak. Untungnya, besok adalah hari Sabtu, walaupun terlambat bangun, dia bisa agak santai sedikit dibanding hari kerja.

Jam dua belas malam, bukankah ini terlalu larut malam? Anita tak peduli, sebagai wanita yang berumur lebih dari tiga puluh tahun yang kemana-mana biasa sendiri, dia tak pernah dikekang oleh orangtuanya. Kecuali perkara calon suami.

Entah kenapa, ingatan Anita melayang pada pemuda manis itu.

"Gila," gerutunya pada diri sendiri. Dia menyalakan mobilnya. Sesekali Anita mengeluarkan sendawa.

Anita tiba-tiba menepikan mobilnya. Pemuda tadi, si pengamen tengah berjalan kaki sendiri sambil menghitung uang yang berada di dalam plastik bekas makanan yang dilihatnya beberapa saat yang lalu. Wajahnya terlihat kecewa.

Tin! Tin! Suara klakson Anita menghentikan langkah itu, seiring dengan turunnya kaca mobil miliknya.

"Tinggal di mana?"

"Mbak seratus ribu?"

Anita mendengus, julukan apa itu? Sangat tak enak didengar.

"Maaf, maksud saya, Mbak yang tadi ngasih seratus ribu, kan?"

Anita mengangguk. "Masuk, aku antar!"

"Beneran Mbak?" Wajahnya berbinar senang. Tak ada transportasi umum tengah malam begini. Anita membuka pintu mobilnya, pria itu masuk dengan semangat sambil memeluk gitarnya. Sekilas Anita mencium bau parfum murahan dari pria itu.

"Saya di jalan Abadi."

"Oh, searah," sahut Anita mengemudikan mobilnya kembali.

"Baik banget, Mbak. Nggak takut sama orang asing?"

Anita melirik sekilas.
"Kamu terlihat tak berbahaya."

"Wah, Mbak hebat menebak, ya."

"Siapa nama kamu?"

"Edo."

"Udah lama ngamen?"

"Dari kecil, tapi di sini baru dua bulan, saya baru merantau ke sini. Katanya di Bandung lebih enak kalau ngamen."

"Oh gitu."

"Tapi ternyata enggak juga, malam ini cuma dapat dua puluh lima ribu."

Anita mengangguk. Matanya fokus ke jalan di depannya, anak-anak motor mulai berkeliaran di jalan.

"Nggak minat kerja yang lain?"

"Kerja apa? Saya nggak punya ijazah."

"Tinggal sama siapa?"

"Sama adik saya."

"Oh, jadi keluarganya di kampung ya?" tebak Anita.

"Ayah ibu udah nggak ada, ayah meninggal saat adik saya dilahirkan, dan ibu meninggal dua tahun yang lalu." Wajah Edo berubah sendu.

"Stop, Mbak. Di sini saja. Terimakasih tumpangannya." Edo turun lalu melambaikan tangan pada Anita. Untuk pertama kalinya Anita prihatin dengan hidup orang lain.

Tiba-tiba saja ide konyol melintas begitu saja.

"Hei, tunggu!" seru Anita yang sukses menghentikan langkah Edo.

SUAMI KONTRAK(AN)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang