6. Teman tapi menjaga

0 0 0
                                    

Mama memandangiku dari atas ke bawah, menyipitkan matanya, kemudian berkata, "nggak sakit kan Raa?"

Aku tak menjawab pertanyaan mama karena itu tidak perlu dijawab, semua orang yang melihatku juga akan tahu kalau aku sehat walafiat tanpa kurang satu apapun. Kecuali mama, yang terheran-heran karena anak perempuannya ini sudah siap dengan seragam lengkap, rambut berbandana rapi dan siap untuk sekolah di jam setengah enam.

"Mama kok belum masak sih? "

"Ra kamu sehat kan? " mama mengulang pertanyaannya

"Ya sehat lah mama. Masak sakit jam segini udah rapi sih"

"Ya makanya itu. Kalo jam setengah enam aja kamu udah rapi, ya berarti sakit" kata mama kemudian menoyor kepalaku

Mama langsung cepat-cepat menyelesaikan masakannya karena aku berniat untuk membawa bekal ke sekolah. Kantin itu masih agak menakutkan, jadi aku akan membawa bekal saja. Memang bisa sih aku beli di kantin yang jauh dari meja itu, tapi ya lihat saja nanti aku akan ke kantin atau tidak.

"Minum sekalian ya ma" kataku saat mama menyiapkan bekal

"Uang kamu minggu ini masih ada kan Ra? "

"Iya masih"

"Kamu nggak berniat beli sesuatu yang mahal kan? " tanya mama lagi, kali ini menatapku dengan intens

"Enggak. Mama kenapa sih? " tanyaku risih

"Mama heran aja. Kamu jam segini udah siap, mana bawa bekal segala minum. Ya bagus deh kalo gini, biar ngirit juga uang sakunya"

Aku diam saja, memang sih aku itu amat boros. Uang jajan seminggu kadang habis 3 hari aja. Ya bukan hura-hura juga sih, tapi aku itu jajannya banyak banget, perutku nggak bisa menahan lapar barang sedetik, dan harus selalu menyemil.

"Dah, Dhira berangkat dulu. Assalamualaikum"

"Waalaikumussalam"

Karena hari masih sangat pagi dan jalanan yang masih sepi, aku mengayuh sepeda dengan pelan dan santai. Menikmati semilir angin pagi yang menyejukkan, mendengarkan dedaunan yang bergesekan satu sama lain dan suara burung pagi yang bisa menenangkan hatiku barang sekejap saja.

"Bener neng Dhira kan ini ya?" tanya Pak satpam yang aku sudah ingat namanya adalah pak Subadri atau pak Badri saat membuka gerbang sekolah.

Iya. Kalian tidak salah dengar, pak Badri baru saja membuka gerbang sekolah dan aku sudah ada disana.

"Iya pak"

"Kadingaren neng Dhira udah sampek. Biasanya lho yo, bapak sampek tutup gerbang wae neng Dhira ndak muncul-muncul"

"Baru rajin ini pak saya" aku berkata sambil tetap mengayuh sepeda menuju parkiran

Setelah memarkirkan sepeda kesayangan dengan rapih didekat sepeda lainnya --banyak siswa bersepeda ke sekolah-- aku langsung berjalan ke kelas melewati ruang guru. Dan yang sangat mengagetkan, aku melihat ketua Natas, Farraz dan Aro berjalan berdua, berdampingan. Farraz dan Aro.

Bak penguntit, aku bersembunyi di lorong samping ruang guru agar dua orang yang terkenal bermusuhan itu tidak melihat batang hidungku. Aku berharap mendengar sesuatu dari keduanya untuk menjawab segala pertanyaan dikepala.

Mereka sebenarnya temanan kah?

Mau apa mereka?

Kenapa mereka bisa berdua?

Namun sampai keduanya tertelan lorong pun aku tidak mendengar barang satu huruf yang keluar dari mulut mereka.

*******

One Day To Be TogetherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang