Cerita ini hasil pemikiran nyata penulis sendiri. Maaf jika ada nama, tempat, latar dll.
Yang gak tau cara menghargai usaha seseorang dan gak tau tata krama saat bertamu, gak usah baca cerita ini yah. Makasih 😇
Follow IG: syhnbahy__
.
.
.POV Wafa Xeanna.
Setelah mengetahui siapa yang mengirimkan bunganya, Papa langsung membuang buket bunga yang dipegangnya. Jelaslah dibuang, orang aku lagi emosi.
"Papa, sama Bu Yuni punya hubungan apa?"
"G—gak ada kok, Bu Yuni iseng kali, ah."
"Apa? Iseng? Yakin? Bu Yuni itu bukan anak kecil, Pa."
"Ya, gak tau. Coba kamu tanya aja sama gurumu sana. Papa mau mandi dulu, gerah."
Karena kesal, aku kemudian ke luar rumah dan duduk di ayunan rumah yang dibuat Papa dulu sewaktu mendiang mama masih ada.
Sedang asik menikmati angin yang sepoi-sepoi, tiba-tiba ada pesan singkat yang masuk ke gawaiku.
Ting!
Sari •
[Wa, kita hari ini janjian nugas 'kan?]Apa? Tugas? Malas banget kalau ngerjain tugas.
Sari •
[Kita kerjanya di rumah kamu, yah. Sekalian cuci mata]Wafa •
[Emang gak bisa di tempat lain?]Sari •
[Gak! Gak bisa! Harus di rumah kamu. Aku OTW sekarang]
Read.Aduh, harus gimana nih? Masa Papaku bakalan jadi tontonan gratis buat Sari, sih.
Kalau Sari makin suka sama Papa dan dibalas sama Papa 'kan gak lucu. Masa kehidupan aku kayak judul sinetron ikan terbang "Sahabatku Menjadi Ibu Tiriku".
Selama beberapa menit menunggu Sari, tiba-tiba datang sebuah mobil dari arah luar komplek.
"Hello everyone, any body home? Miss Sari come again," ucap Sari saat mendekati pagar rumah.
Selalu begitu, setiap kali datang ke sini sebisa mungkin gaya bahasanya ia rubah, agar terkesan seperti native speaker yang kesasar di Indonesia.
"Bisa gak sih, kalau datang itu yang sopanan dikit? Salam kek. Timbang assalamualaikum, doang susah?" tanyaku sinis.
"Iya-iya, maaf. Cuman segitu doang kok," timpal Sari.
"Cuman segitu doang? Adab namu itu yah ngucap salam, Sari." Kesal juga lama-lama dengan Sari.
Lagian, udah tau kalau lagi ke rumah orang itu salam bukannya teriak-teriak gak jelas.
"Boleh masuk gak, nih? Pegel tau," balasnya lagi.
Gak ada adab emang!
Kasihan juga kalau dia berdiri di luar terus. Pintu pagar akhirnya kubuka juga.
"Terima kasih, Wafa. Masuk, yuk," ajak Sari.
"Eh, Sar, yang punya rumah itu aku," timpalku lagi.
Sari yang mendengarnya hanya bisa cengengesan lalu berhenti sejenak dan menungguku.
Sudah kami putuskan, kami akan belajar di ruang tamu saja. Rumah kami yang ditanami beberapa pohon nampak menyejukkan untuk siang ini.
"Eh, Wa. Papa kamu mana? Gak keliatan dari tadi."
KAMU SEDANG MEMBACA
My Papa is Duda Keren (Sudah Terbit)
Tiểu Thuyết ChungDevan Mahendra, seorang laki-laki dengan usia yang sudah memasuki kepala empat harus hidup bersama anak gadisnya. Kehilangan istrinya saat lima tahun lalu tak membuat Devan putus asa dalam membesarkan anak semata wayangnya. Walau Devan sudah memili...