Tahu Diri ; SR

7.6K 1K 223
                                    

Sekuel Backstreet; SR



NO EDIT










Malam yang damai.

Seorang wanita terlelap dengan nyenyak dibalik selimut tebal yang melindungi tubuhnya dari udara dingin New York dimalam hari. Saat ini musim dingin sedang berlangsung, terkadang penghangat ruangan tidak terlalu memberikan efek yang nyata bagi wanita itu.

Dan ketika dirinya masih mengarungi dunia mimpi, tau-tau ponsel yang berada diatas nakas samping ranjang berdering.

Dahinya langsung berkerut, tangannya bergerak untuk menutupi tubuhnya secara utuh dengan selimut dan dia menggeser posisi tidurnya karena merasa terusik. Tapi bunyi dering ponsel itu masih saja terus berbunyi biarpun sudah dia abaikan selama beberapa menit.

Didorong perasaan jengah dan kesal.

Wanita itu akhirnya menyikap selimutnya. Matanya yang masih memaksa untuk di pejamkan terpaksa dia buka. Tangannya menyambar dengan kesal benda persegi itu dari atas nakas.

Melihat sejenak siapa yang mengganggu ketenangan malamnya, dan ketika sudah mengetahui siapa orang itu, dia lantas menghela nafas lelah.

Menggeser gulir hijau sebelum dia menempelkan benda persegi itu ke telinganya.

"It's still 2AM!".

Wanita itu mengerang kesal, membuat orang di seberang benua sana mengedipkan matanya polos. Dia jadi melihat suasana luar dimana matahari masih bersinar terang, tapi karena itu dia langsung menyadari kesalahannya.

"Oh my god, Rene sorry... Gue lupa kalau kita beda 12 jam."

Ya.

Wanita yang kini mendengus kasar dan memiringkan posisinya di atas ranjang adalah Irene.

"Tadi gue mau langsung maki-maki lo tapi gue lagi gak punya banyak tenaga." Tandasnya sinis.

Dan penelfon di benua seberang sana yang bernama Zianita langsung tertawa canggung.

"Sorry sorry... Ini soalnya Jerome bawel banget, katanya dia mau ngomong sama aunty-nya yang cantik. Dia kangen denger suara auntynya, kenapa anak gue jadi bucin sama lo sih."

Mendengar hal itu, Irene yang masih memejamkan matanya jadi tersenyum jenaka. "Bagus, Jerome tau mana yang cantik."

"Hey!".

Irene jadi tertawa kecil meskipun masih mengantuk. Tau kalau keponakan kesayangannya sedang merindukannya, Irene malah menjadi merasa semangat, "Yaudah mana Jeromenya."

"Jangan ngomong yang aneh-aneh ya sama Jerome, lo ngomong seksi aja dia langsung nanya ke gue sama Andrew, seksi itu apa."

Kepolosan keponakannya yang di ceritakan oleh Zia membuat Irene kembali tertawa kecil.

"Iya iya, udah buruan mana anaknya."

"Tunggu, ini anaknya masih nangis dan lagi di tenangin juga sama si Mba."

Irene bergumam kecil sebagai balasan. Dia menunggu selama beberapa saat sampai akhirnya suara anak lelaki yang masih berumur 4 tahun terdengar di telinganya.

"Aunty, aku kangen aunty cantik..."

Pernyataan dengan nada isakan yang gemas itu membuat Irene tersenyum simpul. Dia jadi membuka matanya dan menatap langit-langit kamarnya.

"Halo pangeran Jero... Aunty juga kangen sama kamu...", Irene terkekeh kecil setelahnya. "Pangeran lagi ngapain sekarang?".

Biarpun dia masih didera rasa kantuk yang hebat, demi keponakannya Irene berusaha untuk tetap terjaga. Bisa rumit urusannya kalau dia tau-tau terlelap selagi bertelfonan dengan keponakannya yang posesif ini.

"Lagi main, telus aku inget aunty. Soalnya aku mainin mainan yang aunty kasih."

Jerome adalah seorang lelaki yang masuk dalam daftar pengecualian dari Irene. Kalau saja Jerome bukan keponakannya dan Jerome bukan anak dengan usia 4 tahun yang mau genap 5 tahun, mungkin Irene sudah jatuh cinta dengan anak itu. Sebab Jerome memiliki kepribadian yang halus dan menggemaskan.

"Pangeran kesini lagi makannya, nanti aunty beliin banyak mainan lagi..."

"Harga tiket pesawat ke sana mahal aunty." Terdengar Zia menyaut dan itu membuat sebuah tawa lolos dari mulut Irene.

"Aku dua minggu lagi ulang tahun aunty. Aunty gak lupa kan? Aunty dateng kesini kan?".

Pertanyaan polos Jerome utarakan.

Irene dibuat terdiam akan hal itu.

"Aunty cantik gak pelnah dateng ke ulang tahun aku..." nada bicara Jerome terdengar murung dan hal itu lantas membuat Irene buru-buru menyautinya.

"Aunty gak lupa kok... Aunty bahkan udah nyiapin kado buat Pangeran..."

"Jadi nanti aunty dateng ke lumah aku?".

Sambaran cadel itu kembali membuat Irene terdiam, perlahan dia mengigit bibir bawahnya dan di seberang sana juga Zia sudah mulai ketar-ketir akan permintaan anaknya itu. Karena Irene tak kunjung menjawab, Zia buru-buru berucap kepada anaknya.

"Sayang, disana masih malam. Aunty cantiknya biarin tidur dulu yaa, nanti lagi telfon aunty cantik. Oke..."

Agak sulit bagi Zia untuk meminta Jerome menyudahi panggilan. Anaknya itu benar-benar menyukai sepupunya. Namun setelah diberi beberapa pengertian, Jerome akhirnya menuruti apa yang Mama-nya bilang.

"Aunty, kata Mama disana masih malam. Maaf ya aku ganggu waktu tidul aunty. Aunty tidul yang nyenyak, jangan lupa doa bial gak ada mostel yang ganggu aunty sewaktu tidul. Dadah aunty, Jelome sayang aunty."

Perkataan tulus itu mengukir senyuman di bibir Irene. Dia mengangguk kecil biarpun keponakannya itu tidak dapat melihat. Setelahnya Irene tau kalau panggilannya kini hanya terhubung dengan Zia.

"Eum Rene, lo kalau gak bisa dateng gak papa kok. Omongannya Jerome gak usah lo fikirin."

"Tahun kemarin setelah dia kenal gue, gue udah gak dateng ke pesta ulang tahunnya Zy..."

"I-iya, cuman gue paham kok sama sikon lo. Jerome kalau ngambek juga besoknya dia udah bakal lupa."

Helaan nafas panjang Irene lakukan, dia kemudian mendudukkan dirinya di atas ranjang dan menimbang sejenak sebelum berucap.

"Nanti gue kabarin lagi. Lo sama Andrew jaga pangeran gue baik-baik, awas aja kalau kalian nurunin sifat aneh kalian ke Jerome."

Zia tertawa kecil mendengar peringatan dari Irene. "Yayaya, thanks ya. Dan sorry udah ganggu lo malam-malam, see you sist."

"Heum, See you... Titip salam buat keluarga lo disana."

🕘

Irene tidak dapat kembali terlelap dengan tenang setelah menerima panggilan telfon itu. Dia jadinya berderap ke area dapur untuk mengambil satu botol kecil bir di dalam kulkas. Tak lupa dia mengambil korek serta satu linting nikotin dari meja ruang tengah sebelum dia akhirnya membakar lintingan itu. Diam berdiri memandangi pemandangan malam kota sambil menyesap birnya dan menghisap dalam asap lintingan tembakau dari balik dinding kaca apartemennya.

Apartemen megahnya di 230 West 56th Street hanya dihuni oleh Irene seorang diri.

Sudah kurang lebih hampir 6 tahun dia menjalani hidupnya seorang diri seperti dia memulai awal kembali kehidupannya.

Pindah ke negara orang.

Bekerja di negara orang.

Tidak memiliki sanak saudara pun disini.

Semua bisnisnya di negara asal tetap dia pantau dengan bantuan dari Zia.

Dia hidup sendiri sekarang.

Tidak ada pendamping.

Sebab dengan bodohnya dia masih terus berharap dan memikirkan seseorang untuk datang menghampirinya.

Tahu Diri ; SR ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang