6. Leah atau Tatiana

134 29 2
                                    

Leah menatap dirinya sendiri di depan cermin. Netranya sama seperti dulu, namun binarnya hilang entah ke mana. Wajahnya pun tak berbeda, walau rona merah mudanya tak lagi nampak seperti biasa. Tak ada yang aneh, tak ada yang membuat Leah terlihat seperti orang lain. Penampilannya tetap serupa seperti dirinya.

Kecuali, mungkin gaun, tatanan rambutnya, juga seluruh perhiasan itu ... hanya itu yang mengubahnya menjadi putri istana. Namun selain itu, ia tak memiliki apapun. Tetap menjadi Leah, tetap menjadi gadis kota. Hanya karena ia bermain putri-putrian, tidak pantas membuatnya menjadi putri betulan. Yang putri betulan tetaplah Tatiana.

Helaan napasnya kembali terdengar. Ini sudah hari ke-tiga setelah Leah menghitung terbit dan tenggelamnya matahari dari jendela istana. Dayang yang tadinya mengatur raganya agar tampak sempurna juga sudah pergi—walaupun Leah sendiri yakin bahwa sebentar lagi akan ada dayang lain yang mengetuk kamarnya. Banyak dayang dan pelayan yang datang bergantian, menyentuh tubuh Leah seenaknya dan melakukan hal-hal yang membuatnya sama sekali tidak nyaman. Seolah tidak ada yang namanya privasi di sini.

Ia kemudian terkekeh. Menertawai dirinya sendiri dari balik cermin. Entah apa yang salah; doa atau mungkin harapannya. Ia sendiri juga tak tau apa yang mampu membuatnya terjebak dalam ruang waktu ini. Apakah ia salah telah berharap pada bintang jatuh? Apakah Leah salah berharap untuk beristirahat barang sejenak?

Leah kehilangan banyak hal, bahkan semangat yang dulu selalu membara kini hilang entah kemana. Gadis itu mati dari dalam. Tak ada yang percaya, tak ada yang menganggap rasa sakit Leah sebagai hal nyata. Leah merasa semua orang seperti mempermainkannya, mungkin menertawainya diam-diam.

Selanjutnya raganya bangkit, berjalan agak lunglai menuju jendela besar yang menghadap langsung ke arah barak. Bahunya terjatuh, tatapannya tertunduk. Leah pun tau, kedua hal itu tak pantas di lakukan oleh seorang putri. Tetapi nyatanya, Leah bukan putri. Ia bukan Tatiana. Apakah ia harus berpura-pura menjadi putri walaupun pikirannya menyangkal habis-habisan? Rasanya tidak. Lagi pula, ia sendirian. Biarlah ia melepaskan sejenak gelar itu.

Suara pedang yang nyaring menyambut Leah begitu ia menatap keluar jendela. Gadis itu tak lagi terkejut, tak lagi mengutuk kegiatan ramai di tengah lapangan barak, mengingat ia nyaris mendengarnya setiap saat. Benar, setiap saat. Para prajurit, ksatria, atau apa pun itu namanya, berlatih tanpa kenal lelah. Seolah menjadi orang gila. Entah siapa yang gila sekarang. Leah yang ingin berteriak bahwa ia bukan Tatiana, atau orang-orang di luar sana?

Terkutuk lah istana itu, kendati putri raja mereka gila.

"Gila-nya mereka adalah nyata. Sayangnya, aku salah satu dari hal nyata itu. Aku gila, Tatiana atau Leah ... aku sendiri tak tau aku siapa," sela gadis itu dalam keheningannya. Kepalanya sudah di setubuhi rancu, jiwanya sudah tak lagi menyatu.

Leah duduk di dekat jendela. Mengganjal punggungnya yang rapuh dengan bantal. Gadis itu bersandar, mencoba menikmati angin yang menerpanya tanpa pikiran gila yang berkecamuk. Matanya di bawa terpejam, Leah tak terlena ... namun rasa lelah yang teramat sangat membuatnya hilang kendali.

Tatiana atau Leah, gadis itu semakin hilang dalam alunan semesta sendiri.

***

"Lihat itu," tutur Hwanwoong sembari menunjuk satu objek dengan dagunya.

Seoho menghentikan permainan pedangnya dan membuat Xion ikut menghentikan serangan-serangan ringannya. Dua prajurit yang sedang berlatih bersama itu otomatis menoleh pada objek yang sama setelah Hwanwoong tiba-tiba menyuarakan untuk melihat sosok itu; putri raja yang tengah terbelai angin di dekat jendela kamarnya.

"Bukankah itu aneh?" tanya Hwanwoong melanjutkan perbincangan singkat mereka beberapa waktu lalu.

Xion menoleh, meminta penjelasan dari rekan satu prajuritnya.

PARTINGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang