15. Dikurung

81 24 1
                                    

Mata Leah sulit di buka. Gadis itu mengisi malam dengan menangis dalam kegelapan. Tak ada cahaya, lilin atau pun binaran bulan. Menara tua menyeramkan, membuat Leah semakin di himpit rasa ketakutan yang mendalam.

Sepiring roti dan segelas air putih yang tersaji tak membuat Leah merasa baik. Pesta kemarin masih terasa seperti mimpi. Titah raja adalah mutlak, Leah di biarkan sendirian dalam menara tua tak terurus. Bangunan ini penuh debu dan tumbuhan rambat. Baunya pun tak enak dengan tangga yang melingkar serta terjal. Belum lagi pintu kayu yang kokoh ini sudah dikunci dari luar.

Kepalanya kembali mengingat segala hal yang terjadi pada dirinya sendiri. Ia yang di beri perlakuan tak menyenangkan, juga ia yang kerap kali di kurung berkali-kali karena salah bersikap. Leah sengaja menampar Putra Mahkota, semata-mata hanya untuk menjaga harga diri seorang Putri Tatiana. Namun hal yang ia dapatkan jauh berbeda dengan hal yang seharusnya.

Raganya bangkit, bergerak secara lunglai menuju jendela kayu yang terkunci dari luar. Satu-satunya hal yang membuat Leah tahu bahwa detik ini tak lagi malam adalah cahaya matahari yang diam-diam menyelinap di tengah jendela kayu yang tak tertutup sempurna.

Leah mendorong jendela, berusaha membukanya untuk sekedar mencari udara segar. Menara lembab yang mengurungnya semalaman membuat kepalanya pening bukan main. Namun sayangnya, sekeras apapun gadis itu mencoba, jendela masih tetap tertutup seperti seharusnya.

Gadis itu menghela napas berat. Kakinya lemas, terjatuh begitu saja. Kepalanya merunduk, menatap lantai yang dinginnya melebihi musim dingin di kota. Leah ingin menangis, namun air matanya sudah hampir habis. Kepalanya stress bukan main, ia yakin bahwa dirinya sendiri sudah setengah gila.

Leah membalik badannya, bersandar di tembok yang sedikit lembab. Matanya terpejam sembari bercangkung. Gadis itu memeluk lututnya sendiri dengan erat. Ia bersembunyi di sana, takut di lihat dan di makin semesta. Ia pikir, menjadi putri akan selalu berakhir seperti dongeng yang ia baca; bahagia selamanya bersama pangeran dari negeri sebrang. Namun Leah belajar, dongeng dengan akhir bahagia adalah bualan belaka.

Bukankah memang pada dasarnya begitu konsep kehidupan? di tinggalkan atau meninggalkan. Jelas seperti Leah, ia yang meninggalkan dunianya—walau ia sendiri tak benar mau melakukannya.

Kedua netra Leah terbuka, kepalanya sedikit mendongak dengan tetap bersandar dalam cangkungan lututnya. Pandangannya menangkap lukisan samar di dinding, cahaya matahari yang mencuri masuk melalui jendela membantunya sedikit.

Raganya bangkit dan sedikit berjalan menuju dinding yang tepat berada di depannya. Samar-samar, Leah melihat lukisan cantik yang berbentuk seperti seorang gadis muda. Jemarinya bergerak, mengelus warna-warna yang mulai memudar. Leah yakin, lukisan ini adalah milik Tatiana.

Gadis itu gemar melukis, kamarnya di penuhi kanvas dan cat minyak. Hampir separuh ruang belajar pun di penuhi hasil karya lukisannya. Tatiana berbakat dalam melukis, berbeda dengannya yang menggambar garis lurus saja masih tak sempurna.

Leah mengikuti lukisan di dinding, melihatnya dengan bantuan sinar matahari yang mencuri masuk. Gadis dalam lukisan menatap langit, mengunci pandang pada sesuatu yang bersinar di sana. Jelas, nampak seperti bintang.

Gadis itu jenius musik, mampu mengartikan nada hanya dengan sekali dengar. Namun berbeda cerita dengan lukisan dan gambar. Leah buta atas keduanya.

"Leah, ini aku, Leedo. Kau baik-baik saja di dalam?"

Suara familiar itu terdengar dari balik pintu. Leah mendengus, mana mungkin ia baik-baik saja. Terkurung dalam tempat yang pengap dan gelap semalaman membuatnya semakin tertekan. Bahkan di siang hari begini pun masih tampak gelap.

PARTINGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang