20. Pulang

103 22 11
                                    

Tali kekang kuda ditarik oleh Leah kuat-kuat, menandakan bahwa kuda yang ia tunggangi harus berhenti karena ia telah sampai pada tujuannya. Hanya berbekal sinar bintang, Leah akhirnya tiba di menara tua. Gadis itu mengadah ke atas langit, melihat bintang-bintang kecil yang mulai berjatuhan. Jantungnya semakin berpacu tak menentu.

Leah sempat memandang hutan utara sebelum memutuskan untuk turun dari kuda. Ia sedang mencari Leedo. Xion memang sudah membantunya, tapi bagaimana dengan Leedo yang telah lebih banyak membantunya? Bagaimana dengan Leedo yang malah bertarung dengan Ravn, rekan prajuritnya sendiri?

Jalan pulangnya sudah begitu dekat, tapi hati Leah terasa berat untuk pergi. Tidakkah seharusnya ia melihat Leedo untuk terakhir kalinya? Tidakkah seharusnya ia berpamitan dengan Leedo lalu pulang tanpa beban? Selain itu, tidakkah seharusnya ia memastikan keadaan Leedo karena lelaki itu rela bertarung demi supaya Leah bisa pulang?

Leah tahu, seharusnya ia segera masuk ke menara. Jalan pulangnya mungkin akan terbuka kapan saja, sementara ia masih harus mendaki tangga terjal menuju ruangan tempat ia dikurung kemarin. Waktunya tak banyak, tapi ia tidak tenang jika pergi begitu saja.

Dalam hati Leah berdoa untuk keselamatan Leedo. Dalam hati Leah berdoa supaya Leedo menyusulnya ke mari, entah bagaimana caranya. Gadis itu hanya ingin melihat pria itu untuk terakhir kalinya sebelum ia kembali ke rumahnya.

Beberapa saat Leah menunggu dengan gelisah. Ia tidak punya jam, jadi ia tidak tahu seberapa lama waktu telah berlalu. Bintang kecil semakin berjatuhan. Bodohnya, seharusnya ia masuk dan mengamankan jalan pulangnya, bukannya menunggu seperti ini.

Punggung Leah berbalik, bersiap membuka gerendel pintu menara. Telinganya mendengar deru tapak kaki kuda yang tak beraturan. Netra gadis itu berbinar, mungkin saja itu Leedo. Pergerakannya terhenti, menanti si pemilik kuda yang tengah berpacu ke arahnya. Mungkinkah bintang jatuh tadi telah mengabulkan doanya? Rasanya ada setitik harapan yang membuat hati Leah sedikit senang.

Tetapi tidak semulus yang ia kira. Tak ada Leedo yang datang, perasaannya kecewa dengan rasa takut yang tercampur. Tanpa Leedo, prajurit lain menjemputnya dengan luka-luka sebatan pedang. Leah terkepung di depan menara, dikepung oleh prajurit istana yang menginginkannya pulang.

Xion memang sudah memberikannya jalan pulang. Tapi bukan berarti keempat rekannya setuju. Dipimpin oleh Ravn, ada Seoho, Keonhee, dan Hwanwoong, beserta prajurit lain yang tidak terlihat wajahnya karena gelapnya malam.

Jantung Leah berpacu. Tunggu, Ravn ada di sini. Lantas di mana Leedo berada?

“Tuan Putri! Aku akan menganggap segala perlawananmu tidak pernah terjadi jika kau mau mengikuti kami sekarang,” seru Ravn dengan nada peringatan yang terdengar mengancam.

Leah sudah menghadapi berbagai bahaya selama berada di istana ini, ia tahu bahwa ucapan Ravn sama sekali bukan main-main. Itu adalah belas kasihnya yang terakhir. Gawat, Leah mungkin akan semakin terjebak di sini karena kali ini ia hanya sendirian melawan para prajurit terlatih.

“Aku tidak akan mengikuti kalian!” Leah tidak mau kalah, ia berseru dengan sisa-sisa tenaganya. Kakinya gemetar, tangannya mencengkram angin.

Ravn membuang napasnya frustasi. Ia tak tahu apa yang membuat Putri Tatiana konsisten menolak perjodohan yang terjadi. Ia kira, takdir tak akan bisa dielakkan. Seharusnya Tatiana tahu bahwa ia tak akan bisa melawan. Walaupun Ravn menghargai Tatiana, ia diperintahkan oleh seseorang yang jauh lebih superior. Tak mungkin Ravn pulang dengan tangan kosong. Lelaki itu tidak mau gagal dalam menjalankan tugasnya.

Suara derap langkah kuda lainnya menyahut ucapan Leah. Jantungnya semakin berdebar hebat karena tampaknya musuhnya akan semakin banyak. Bagaimana bisa mereka tega melawan Leah yang hanya seorang diri?

PARTINGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang