18. Mencari Jawaban

75 23 5
                                    

Pendopo dekat hutan utara sudah terlihat jelas, gaun mewah yang tadi di kenakan Leah sudah berganti menjadi gaun sederhana dengan jubah hitam yang menutupi seluruh tubuhnya. Leedo ikut memakai jubah walau tudungnya terjatuh karena hentakan kuda.

Prajurit istana itu memacu kudanya lebih cepat lagi, berbeda dengan Leah yang masih berusaha menjaga keseimbangan dengan melingkarkan lengannya pada pinggang si prajurit istana.

Kuda melambat, Leah melonggarkan lingkaran lengannya sembari menunggu kuda benar-benar berhenti untuk turun dan mencari Tuan Kim. Beruntung, Tuan Kim tengah berada di depan Pendopo dengan sorot netra yang sudah mengarah pada kedua raga di atas kuda.

Senyumnya terukir, "untuk apa anak nakal ini membawa Tuan putri cantik jelita ke tempatku yang kumuh?" Tanyanya dengan nada bercanda kala kedua raga itu sudah turun dari kuda.

Leah berlari kecil, "Tuan Kim, tolong, kau pasti tahu sesuatu tentang jalan pulang menuju duniaku..."

Pria tua itu sedikit terkekeh, "bukankah kau sudah berada di duniamu, putri?"

Gadis itu belum menyerah, ia kembali bersuara, "duniaku... entah itu hutan utara atau bukan, kau pasti tahu sesuatu."

Pria tua itu tersenyum, pandangannya mengarah ke atas langit yang tak menampakkan atensi bulan sama sekali. "Bahkan jika mata manusia tak melihat bulan, seluruh orang tahu bahwa bulan selalu ada di atas sana." Tuturnya.

Leedo menghela napas kesal, "sudah ku bilang ini sia-sia."

Hembusan angin menerpa mereka, Leah masih belum berhenti memaksa pria tua di hadapannya melalui binaran netra. Gadis itu tak peduli tentang bulan dan alam semesta, ia hanya ingin pulang.

"Kau percaya pada apa yang tak mampu di lihat mata?" Tanya Tuan Kim.

Leah gusar, "ayolah, kami tak memiliki banyak waktu..."

Senyuman di wajah pria tua itu sedikit luntur, "jawab dulu pertanyaanku, putri,"

Gadis itu menghela napas sembari duduk di tempat kosong sebelah Tuan Kim. Leah berujar lirih, "tidak." Jawabnya. Senyuman Tuan Kim kembali nampak, suaranya mengalun, "dusta milikmu sungguh indah, putri,"

Leah menatap Tuan Kim dengan aneh, sedangkan pria tua itu sedikit terkekeh geli. "Kau tak percaya pada apa yang tak mampu di lihat mata, namun kau sendiri sering melakukannya dengan sengaja."

"Melakukan apa?" Tanya Leah bingung.

"Tentu saya mempercayai apa yang tak terlihat mata."

Perbincangan kala itu terjeda, Leedo kembali memastikan situasi dengan gusar, "sudah ku bilang ini sia-sia." Ujarnya sarkas. Leah masih menatap Tuan Kim untuk meminta penjelasan. Sedangkan pria tua itu kembali menatap langit gelap di atas kepalanya.

"Melihat gadis yang setengah hidupnya di habiskan untuk bermusik, bagaimana caramu memaknai nada-nada yang tak nampak mata itu?" Penuturan Tuan Kim membuat Leah terkejut bukan main. "Ka-kau tau?" Tanyanya.

Pria tua itu tersenyum, "bahkan jika bulan tak terlihat, manusia akan tetap percaya bahwa bulan selalu ada di atas sana. Namun mereka lupa bahwa bulan butuh sinar matahari untuk terlihat." Ia menjeda kalimatnya sebelum benar-benar melanjutkannya.

"Tatiana adalah bulan yang bersinar, orang-orang mengira bahwa sinar itu benar-benar nyata. Mereka lupa bahwa ada matahari yang membuatnya tampak sempurna. Kau matahari itu, kau yang menyelimuti Tatiana agar tetap hidup."

Leedo mendengarkan penuturan pria tua itu, rasa gusarnya hilang begitu saja. Tuan Kim kembali berujar, "satu-satunya alasan mengapa semesta mengirim-mu ke sini adalah untuk melindungi Tatiana agar ia tak mati. Agar bulan tetap mampu bercahaya."

Leah bangkit dari duduknya, "jika kau tahu itu sejak awal, kenapa kau diam saja?! Kemana arah jalanku untuk pulang? Jangan bermain-main lagi, Tuan Kim, kita tak memiliki banyak waktu...." Tutur gadis itu sedikit emosional.

Pria tua itu kembali terkekeh, "dusta-mu sungguh indah, berkata tak percaya namun tetap yakin pada apa yang tak nyata. Tatiana pun sama, berkata bahwa ia percaya pada apa yang tak nyata, namun tetap saja... ia hanya akan mengikuti apa yang di lihat mata. Bukankah kalian berdua sama-sama mengalunkan dusta yang indah?"

Leah tak bersuara, penuturan pria tua di hadapannya begitu rumit hingga kepalanya perlu waktu lebih untuk mencerna setiap kata. "Lihat dan bicara menggunakan hati, sama seperti saat kau memahami suatu musik. Raga dan jiwa yang tak sehati akan membuatmu tersesat lebih jauh lagi."

Untuk pertama kalinya Leah mendengar pria tua itu berbicara terlalu banyak kata. Ia pikir mulut tuanya akan terus melayangkan frasa yang terlampau hiperbola, namun mendengar penuturannya tentang jiwa dan raga yang tak sehati, diam-diam membuatnya kembali ke dalam realita.

"Pahami perjalananmu sama seperti caramu memahami musik yang tak tampak dalam mata. Lihat menggunakan hatimu, ingat darimana kau berasal, maka di sanalah kau akan pulang."

Leah menatap pria tua di depannya dengan binaran yang sulit di artikan. Gadis itu mencoba bersuara, "dimana jalanku untuk pulang?" Tanya gadis itu setengah frustasi.

Suara langkah sekerumunan kuda terdengar jelas, Leedo menarik lengan Leah untuk segera pergi dan mengakhiri perbincangan dengan pria tua sebelum ada hal yang tak di inginkan. "Kita kembali ke istana sekarang, putri," Tutur Leedo dengan sedikit rasa cemas.

"Dimana jalanku untuk pulang, Tuan Kim?!" Suara Leah memekik sedikit memaksa. Raganya memberontak, tak ingin pergi sebelum pertanyaannya di jawab oleh satu-satunya manusia pemegang kendali atas hutan utara. Pria tua itu tersenyum, tepat saat para prajurit istana tiba di dekat pendopo.

"Atas nama Raja, kau harus kembali ke istana, Putri." Tutur Ravn sedikit kencang.

Leah menatap ke-5 prajurit dengan kuda yang berbeda. Tatapan gadis itu menjadi nanar, terlebih lagi tangan yang mengepal dan bibir bawah yang ia gigit kuat semakin mendeskripsikan bahwa gadis itu tengah frustasi. "Tidak mau!" Seru Leah lantang.

"Baginda raja memintamu untuk kembali ke istana, Putri," tutur Ravn sembari turun dari kudanya. Leah menggeleng, raganya mundur secara perlahan karena sedikit ketakutan. Leedo mengerti, raganya yang tegap langsung bersedia berdiri di depan Leah yang gemetar. Pedang yang tersarung di pinggangnya ia keluarkan begitu saja dengan ujung yang mengarah pada rekan prajuritnya yang lain.

"Aku akan melindungimu, bagaimanapun caranya." Seru Leedo dengan suaranya yang dalam. Leah patuh, terus bersembunyi di balik raga Leedo.

"Berhenti bermain-main, Leedo. Serahkan Putri Tatiana pada kami dan jangan mempersulit keadaan." Ravn kembali bersuara, kali ini dengan nada yang sedikit kesal.

Leedo berdecih sebagai respon, "Langkahi dulu mayatku, baru kalian bisa mendapatkan Putri Tia."

Ravn menatap Leedo tajam, senyumnya terukir sinis. "Dengan senang hati," pergerakan Ravn yang cepat dalam mengambil pedang di sambut apik oleh Leedo yang cekatan. Mereka bertarung, membuat Leah memiliki kesempatan sedikit untuk berlari menjauhi kumpulan prajurit istana.

Langkahnya menerobos dalam gelap sembari memasang tudung jubahnya. Prajurit yang sadar bahwa putri mereka hilang kembali memacu kuda untuk menyusul Leah yang masih belum jauh.

Gadis itu berpacu dengan waktu, sedangkan Leedo dan rekan prajuritnya, Ravn, terus mengayunkan pedang membelah angin. Suara dentingannya memecah kesunyian malam di pendopo tua, tepat pada perbatasan hutan utara. Ravn tak memandang siapa lawannya, sementara Leedo pun tak peduli. Pikirannya kalut, para prajurit sudah mengejar Tatiana menggunakan kuda. Ia tak boleh membuang waktunya dengan Ravn.

Leedo berusaha menangkis setiap serangan dengan raga yang berusaha pergi menyusul Leah di tengah hutan utara. Ravn tahu pergerakan rekan prajuritnya, serangannya semakin kuat membabi buta. Leedo kehilangan kendali, pedangnya terjatuh di atas tanah yang ia pijak, sedangkan mata pedang Ravn sudah bertengger tepat di leher rekan sesama prajuritnya.

Senyuman sinis Ravn tercipta selagi meniru ucapan rekan prajuritnya sebelumnya, "langkahi dulu mayatku sebelum kau bisa menyusul Putri Tatiana, Leedo."

***

PARTINGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang