Bab 4

14 6 2
                                    

Minggu depan angkatan kami akan melakukan pemotretan untuk Buku Tahunan Sekolah. Aku, Dea, Asta, dan Hanum meminta salah satu teman kami, Cika yang merupakan seorang MUA (Make Up Artist) untuk merias kami pada hari pemotratan nanti. Sebenarnya, kalau bukan karena aku berusaha berbaikan dengan Hanum dan Dea aku tidak akan mengikuti kemauan mereka untuk ikut dirias oleh Cika.

"Eh, nanti kita berangkat ke lokasi pake apa, nih?" tanya Cika sambil melahap ayam gorengnya.

"Pake mobilnya Mas Adi lah. Tar yang nyetirin Fahri anak kelas sebelah," sahut Hanum.

"Bukannya Adya juga bisa nyetir?"

"Mas Adi? Gak ah, masih sayang nyawa," kata Asta lalu tertawa.

Aku mengernyitkan dahiku, aku sama sekali tidak pernah mengajukan pada mereka untuk menggunakan mobilku, aku juga tidak pernah meminta tolong Fahri untuk menjadi supir kami. Walaupun selama ini, setiap ada acara aku yang selalu membawa mobilku, bukan berarti mereka bisa memutuskan secara sepihak tanpa seizinku, apalagi selama beberapa minggu ini mereka menjauhi dan juga berusaha mengintimidasiku. Namun aku selalu mengingat kembali tujuan awalku, aku harus berusaha memperbaiki hubungan kami agar tidak terjadi perpecahan di geng. Jadi aku akan membiarkan mereka berbuat sesuka mereka.

"Yaudah berarti nanti semua make up di rumah gue, ya. Mulai dari Adya dulu yang kulitnya paling kering," kata Cika.

"Kalau gitu gue ke rumah lo jam berapa?" tanyaku.

"jam 5 pagi," jawab Cika dengan wajah datar.

"Jam 5 pagi?! Ci, lo gak salah tuh?"

"Iya, Mas Adi. Sebenernya gue juga gak mau bangun sepagi itu, tapi customer gue banyak nih. Ada lo, Hanum, Dea, Asta, Putri, Nada, dan lainnya. Sedangkan kita harus ada di lokasi sebelum jam 11," jelas Cika.

"Berarti kita harus berangkat sekitar jam 9.30," timpal Asta.

"Kalau gitu kita ngumpul di rumah Adya jam 9.30, ya. Bisa kan, Ci?" tanya Hanum pada Cika.

"Keburu sih kalau gak ada yang ngaret. Tapi kenapa harus di rumah Adya? Kenapa gak langsung aja dari rumah gue berangkatnya?" Cika menatap aku dan Hanum dengan bingung.

"Iya sih, lebih cepet kalau di rumah lo. Kalau di rumah gue kita jadi bolak--"

"Emang di rumah lo bisa masuk mobilnya?" sela Hanum.

"Bisa lah, tapi kalau emang mau di rumah Adya, gak apa sih," jawab Cika.

"Yaudah, nanti Fahri ke rumah lo ya, Dy." Hanum tersenyum padaku. Itu adalah pertama kalinya Hanum menatap wajahku setelah sekian lama, namun entah kenapa aku tidak merasa senang melainkan kesal.

***

Jam sudah menunjukkan pukul 9, Fahri sudah tiba di rumahku. Aku membawakan teh juga kudapan untuk Fahri dan kami sedikit berbincang.

"Ri, lo satu kelompok sama siapa aja?" tanyaku.

"Gue bareng Mandra, Lexa, Virgi, Juki, sama Fitri. tapi berangkatnya misah-misah. Oh iya Dy, tar yang ikut di mobil lo siapa aja deh?" tanya Fahri.

"Ya Hanum, Dea, Asta, Cika, terus kita berdua," jawabku.

"Kok Mora, Hayati, sama Elia gak ikut kita juga?" tanya Fahri.

"Mereka mau duduk dimana? Di ban mobil? Lagian si Hanum udah keburu janjiin Cika duluan buat ikut kita," jawabku, Fahri menyilangkan tangannya di dada lalu menatapku.

"Muat aja kok kalau lo yang nyetir sendiri terus Cika gak ikut. Lagian lo biasanya kemana-mana sendiri, tumben minta disetirin. Bukan gue gak mau nyetirin, tapi aneh aja gitu lo yang biasanya mandiri tiba-tiba minta ke gue."

The Downfall of Her Ice wallTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang