Ch 17. Pengujung Cerita

18 2 0
                                    

Hari minggu ini Rama mengunjungi rumah Shinta, setelah tiga hari belakangan mengurusi rencana jahat Gea di kampus.

Dilain sisi ingin berjumpa, Rama berencana mengajak Shinta untuk berlibur dan mengungkapkan perasaanya.

Setelah rama memasuki Rumah Shinta, Rama melangkahkan kakinya menghampiri Shinta yang berada di ruang makan.

"Ci kenapa banyak kue kering dan banyak hidangan lezat? Tumben?" Rama mencomot salah satu kue kering tersebut dan medaratkan bokongnya di kursi meja makan.

"Hei tangannya dikondisikan!" Shinta memukul tangan Rama.

"Aduh. Pelit! Emangnya ini untuk siapa?" Rama mengelus punggung tanganya yang terkena pukulan dari Shinta.

"Buat Bang Ian sebagai ucapan terima kasih."

"Ucapan terima kasih?"

"Ya. Ucapan terima kasih. Sebantar lagi mungkin dia akan datang."

"Bang Ian? Siapa?"

"Sebentar! Aku punya fotonya." Shinta menunjukan sebuah foto dengan tiga orang didalamnya berlatar pasar malam meriah.

"Dia seorang dokter sepesialis kejiwaan. Idaman bukan?" imbuh Shinta.

"Hm."

"Foto itu! Foto itu ternyata Cici juga mempunyainya!" Batin Rama.

Rama melotot melihat foto itu. Asap membumbung tinggi di atas kepalanya seperti kerta uap yang tengah beraksi.

Rama mengepalkan kuat tangannya dibawah meja demi menahan amarah.

"Sejak kapan kamu mengenalnya?"

"Mungkin beberapa bulan yang lalu."

"Oh. Rupanya baru meneganal belum lama, tetapi kenapa Cici begitu akrab?" batin Rama.

"Apa baiknya dia?" Ketus Rama.

Shinta menjawab pertanyaan Rama antusias, mengagung-agungkan Dr. Brian dari segala aspek.

Tanpa disadari seseorang menyunggingkan senyum bangga atas apa yang meraka berdua bicarakan.

Wajah Rama memerah menahan amarah atas jawaban yang keluar dari mulut Shinta.

"Dia itu duda Shinta!" Rama berniat mencari kekurangan Dr. Brian.

"Memang dia duren! Duda Keren," jawab Shinta bangga.

Kuping Rama kian bertambah panas setelah pernyataannya dipatahkan oleh Shinta.

Rama tak kuasa lagi menahan amarah, rasa cemburu menguasai dirinya. Setelah Rama sadar akan perasaanya kepada Shinta. Rama bertanya sekali lagi untuk memastikan sesuatu.

"Apa kamu menyukainya?" tanya rama dengan suaranya yang terdengar sedikit bergetar.

"Aku harap jawabanmu 'tidak' Cici!" batin Rama

"Ya! Aku menyukainya." Jawab Shinta mantap.

Rama mengerang frustasi, membuat Shinta terheran-heran.

Tanpa ada angin, tanpa ada hujan. Rama membentak Shinta tanpa sebab.

"SHINTA!"

"APA BAIKNYA DIA! DIA SUDAH DUDA BERANAK SATU!"

"Aku tahu," cicit Shinta.

"SHINTA TATAP AKU! APA MATAMU SUDAH BUTA!" Rama mencekal kedua pundak Shinta.

"APA LEBIHNYA DIA? MUNGKIN HANYA 1 BULAN KAMU MENGENALNYA TAPI KAMU SUDAH BERANI MENYUKAINYA, SEGAMPANG ITU KAH! APA YANG SUDAH IA BERI? APAKAH DI SELALU BERADA SELALU DISISMU? APAKAH DIA SENANTIASA AKAN MELINDUNGI?"

"TIDAK."

"APA KARENA HARTA YANG KAMU MAU! SHINTA JANGAN SAMAKAN KAMU DENGAN WANITA MURAHAN DI LUAR SANA!"

"Rama stop!" Shinta menapar Rama dan berkata, "KAMU KETERLALUAN!"

"Keterlaluaan katamu? Lihatlah dirimu! Kamu membelanya!"

"Lalu aku ini apa Shinta? Lima belas tahun aku selalu ada, lima belas tahun aku disisimu. Aku tahu segala urusanmu tapi aku bukan nomor satu di hatimu! Aku tahu aku terlambat menyadari bahwa aku menyukaimu. Tapi secepat itukah?

"Prank!."

Rama menghemas gelas di atas meja.

"AKU BODOH!"

"STOP RAMA! STOP!" teriak Shinta sambil menutup kupingnya. Tak hanya itu, Shinta menagis ketakutan dibuatnya karena baru kali ini Rama memperlakukannya dengan kasar.

Ramayana Milenial (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang