Jeno memasuki rumahnya, berjalan menuju kamar. Namun langkahnya terhenti kala ia melihat kedua orang tuanya yang sedang duduk diruang keluarga itu menatap dirinya.
"Jeno sini. " Ucap Ibu Jeno.
"Kenapa ma? " Tanya Jeno sembari mendudukkan dirinya disofa yang masih kosong.
"Mama denger dari pak Ceye tentang temen kamu itu. "
"Ha? Maksud mama? "
"Temen kamu itu, si Jaemin. "
"Kenapa? "
"Pak Ceye bilang dia baru aja ngebully kakak kelas, dan dia ngelawan pak Ceye, bener? "
"Mama tau darimana? "
"Kamu lupa pak Ceye itu temen mama? "
"Jaemin ga ngebully ma, tapi Jeno ga tau alesan dia berantem kenapa. Kalo masalah ngelawan pak Ceye, Jeno juga gatau. "
"Kamu jangan deket-deket sama dia. "
"Mah? Kenapa? "
"Dia baru jadi murid kelas sepuluh aja udah ga bener, Jeno. Mama ga mau dia bawa pengaruh buruk buat kamu. "
"Ma, mama tau kan cuma Jaemin sama Haechan yang mau temenan sama Jeno, yang lain ga ada yang mau temenan sama Jeno, ma. Kalo Jeno ga temenan sama mereka, Jeno sama siapa? "
"Mama cuma minta kamu jauhin Jaemin, kamu masih punya Haechan yang bisa jadi temen kamu. "
"Kita bertiga itu ga bisa dipisahin ma, apalagi Jaemin sama Haechan yang duluan temenan. Masa Jeno cuma temanan sama Haechan sedangkan kita mesti bertiga kemana aja. "
"Jeno! Mama udah kasih kamu kesempatan buat sekolah di SMA umum, coba ngertiin mama! "
"Kalo Jeno ngertiin mama terus, kapan mama ngertiin Jeno? "
"Pokoknya mama gamau tau, kamu ga boleh temenan sama dia! Jangan sampe mama denger nilai kamu rendah gara-gara temenan sama dia! Kamu mau jadi kaya kakak kamu! "
"Mama! Kenapa kak Tae terus sih? Belum tentu itu bener ma. " Jeno menghentikan kalimatnya dan beralih menatap ayahnya. "Papa, bantu Jeno. " Lirihnya.
"Mama kamu bener Jeno. " Ucap ayah Jeno.
"Kalian sama aja, ga pernah ngertiin perasaan anak kalian, kalo Jeno bilang kalian egois, Jeno dosa ga? " Ucap Jeno.
"Mereka emang egois! Mereka ga bakal ngerti apa yang anaknya mau. " Suara itu, semuanya menoleh kearah sumber suara. Dia Lee Taeyong, kakak Jeno. Taeyong yang baru saja masuk kerumahnya mendengar semua pertengkaran keluarganya.
"Kakak." Ucap Jeno.
Taeyong segera menarik adiknya dari sana. "Ikut kakak, kita pergi! " Ia segera membawa Jeno pergi dari rumahnya. Mengendarai motornya dengan kecepatan diatas rata-rata.
"Kak kita mau kemana? " Tanya Jeno pada Taeyong.
"Yang pasti pergi dari mereka. "
"Kak, jangan kenceng-kenceng. Jeno belum mau mati. " Mendengar ucapan adiknya, Taeyong memperlambat kecepatannya.
"Maafin kakak. "
"Kak, boleh tanya sesuatu? "
"Apa? "
"Udah bertaun-taun kita jarang ngobrol kak, kita berasa bukan kaya saudara kandung, kaya ada tembok tinggi yang ngehalangi kita ya kak. Kadang Jeno sempet mikir, kakak Jeno itu pasti baik, ga kaya yang diomongin papa, mama atau semua orang, dan Jeno yakin itu. "
"Jen. "
"Bahkan selama ini Jeno selalu pikirin kakak, kakak tinggal dimana aja Jeno gatau. Jeno selalu mikir gimana keadaan kakak, apa kakak udah makan atau belum, kakak baik-baik aja atau engga, Jeno mikirin itu semua kak. "
"Maafin kakak. "
"No, ngapain kakak minta maaf, kakak ga pernah punya salah sama Jeno. Jadi kakak ga perlu minta maaf, dan ga ada yang perlu dimaafin. "
"Ikut ke apartemen kakak ya? "
"Kakak punya apartemen? "
"Iya, kakak bakal buktiin ke mereka kalo kakak bisa hidup tanpa mereka. "
"Gimanapun juga mereka orang tua kita kan, kak? Jangan pernah benci mereka kak. "
"Ga ada dipikiran kakak buat ngebenci mereka. Mereka yang bikin kakak kuat, mereka yang bikin kakak jadi lebih baik, mungkin karena ini semua, kakak jadi bisa mandiri. "
***
Disisi lain, Haechan yang sudah berada didalam kamarnya kini meraih ponselnya yang tergeletak diranjangnya. Ia menekan layar ponselnya, mencoba menelfon seseorang.
"Bisa ga kita ketemu sekarang? " Tanya Haechan pada orang diseberang sana.
"Saya sibuk. " Jawabnya.
"Sebentar aja. "
"Yaudah, dimana? "
"Cafe biasa ya. "
Orang diseberang sana mematikan telfonnya sepihak, dengan segera Haechan beranjak dari tempatnya, ia menuruni tangga menuju pintu rumahnya.
"Chan mau kemana? " Tanya Johnny yang baru saja keluar dari kamarnya.
"Mau keluar bentar pa, ga lama, Echan janji. "
"Kamu ga akan ngelawan peraturan papa kan? "
"Ah eng-engga pa, udah ya Echan pergi dulu. "
"Dah papa sayang. "
"Hati-hati."
***
Haechan sudah tiba pada cafe yang ia tentukan sebelumnya, mencari keberadaan orang tersebut. Matanya menelusur kesegala arah, sampai pandangannya berhenti pada sosok yang ia cari dan dengan segera ia berlari menghampirinya.
"Mama." Ucap Haechan sembari mengambil kursi dihadapan orang yang ia panggil dengan sebutan mama itu.
"Ada apa? Saya ga punya waktu banyak, saya sibuk. "
"Ma, Echan kangen. "
"Ada lagi? "
"Mama bisa ga kita jalan Minggu ini? Cuma berdua, Echan sama mama. "
"Saya sibuk, saya harus pergi dengan keluarga saya. "
Haechan tersenyum miris. "Oh iya, maaf ya, Haechan lupa kalo anak mama sekarang ga cuma Haechan. Haechan lupa kalo sekarang mama punya keluarga baru yang harus mama urus, tapi asal mama inget, didepan mama sekarang ini, dia masih anak kecil mama, ini masih Haechan kecil mama, Haechan yang masih butuh kasih sayang mama. "
"Kamu butuh apa? Mobil? Motor? Uang? "
"Engga, Haechan ga butuh itu semua, Haechan cuma butuh mama, mama yang selalu ada buat Haechan kaya Haechan kecil dulu ma. "
"Saya sudah tidak bisa. "
"Iya, Haechan tau. Dulu Haechan selalu pengen cepet dewasa supaya bisa bahagiain mama sama papa, tapi sekarang Haechan nyesel jadi dewasa. Yaudah, Haechan pamit dulu, papa udah nunggu dirumah, mama juga pasti ditunggu keluarga mama itu. Haechan sayang mama. " Haechan berdiri, tersenyum pada ibunya sebelum beranjak dari tempatnya dan meninggalkan ibunya yang masih pada tempatnya.
Tbc.