Tera

4 0 0
                                        

    Daftar-daftar belanja sudah selesai, tinggal kembali pulang. Tera juga tidak lupa membeli bahan pangan yang sehabis dia makan sewaktu berbelanja. Karena kelihatan enak dan unik, Tera barangkali bisa memasak bahan pangan yang dibuat dari kacang kedelai itu, padahal penjual itu susah payah untuk menutup resepnya, hanya saja Tera yang besar mulut membuat penjual itu angkat tangan. Baru kali ini Ken menyuruh Tera berbelanja, biasanya dia disuruh berjaga di kelab rubahnya dan, dia malah memilih berduaan bersama krista. Apa yang sedang Ken pikirkan. Ken selalu punya alasan dan dia tidak butuh alasan apapun, itu sebabnya Tera hanya bisa menurut saja.
    Tera berjalan menyusuri distrik pemerintah, sedangkan lawan arahnya menuju pelabuhan pertama. Wilayahnya amat serba baru, cat-cat tambok yang begitu cerah, tidak ada satupun yang lecet atau terkelupas. Tera suka memandangi bangunan-bangunan itu, dia mengharapkan kelak punya rumah semewah apa yang pernah Tera lihat. Sayangnya, Tera harus dipisahkan dengan gang kecil yang kumuh dan banyak tikus-tikus yang suka main petak umpet, di samping kiri kanan ada selokan kecil yang ditutupi grill besi dan di atasnya terdapat tong sampah di setiap masing-masing ujung dan di tengahnya. Krisbow, tempat para orang-orang kotor, tapi bukan berarti kotor seperti buang sampah sembarangan. Wilayah ini bisa terbilang bersih.
    Sepuluh langkah lagi, Tera akan bertemu pertigaan gang. Jalan yang ia tuju hanya tinggal jalan terus, lima langkah mendekati pertigaan Tera dihadang tiga orang preman. Salah satu preman itu ada yang membawa pisau, tubuhnya tidak terlalu tinggi dan tidak terlalu pendek, dia hanya berbadan kurus. Pakaiannya terlihat kumuh, ala-ala anak berandalan, bajunya terjulur keluar dan celananya cingkrang seperempat dari tungkainya yang bertipe pensil, gaya pegangan pisaunya terlihat amatiran. Sedangkan di sampingnya orang berbadan gemuk dan hanya tinggi beberapa cm dari si kurus, baju kotak-kotak yang dipakainya terlihat ketat, pusarnya kelihatan dan memakai celana jin tanpa memakai sabuk celana. Yang terakhir berbadan paling kecil, memakai pakaian serba abu-abu yang tidak ada gayanya sama sekali dan yang jelas, dia yang paling cerewet.
    "Kau, serahkan apa yang kau bawa dan kami akan membiarkanmu pergi dengan selamat," kata si cilik.
    "Maaf, tapi ini untuk kebutuhanku," alis Tera terangkat sedikit. "Aku sarankan, kalian beri aku jalan pulang dan upahnya aku biarkan kalian pergi dengan selamat seperti apa yang kau katakan," alis Tera bertukar posisi dari atas ke bawah, Tera menyipitkan matanya.
    "Dasar kau!" teriak si gemuk.
    Orang itu tiba-tiba saja menyerang, berusaha memukul Tera menggunakan tangan kanannya, Tera tidak menghindar ke samping ataupun ke belakang. Sebaliknya, Tera justru melesat kedepan, alhasil Tera membenturkan ubun-ubunnya tepat di hidung si gemuk dan terhuyung-huyung kebelakang lalu terjatuh. "Beraninya kau," geram si kurus. Tera hanya diam di tempat dan siap menyambut serangan. Orang itu menjulurkan pisaunya ke arah dada samping kiri Tera. orang itu ternyata benar-benar ingin menghabisi riwayatku ya? Tera menghindar hadap kiri dan memeluk tangan kanan si kurus dengan tangan kirinya, dan tangan satunya masih menjaga belanjaan Tera. Orang itu dibanting keras oleh Tera, dua orang telah tumbang, hanya tinggal si bocil.
    "Wah wah wah, kedua temanmu sudah tumbang itu loh," Tera menunjukkan jari telunjuknya ke belakang dan ke depan di mana temannya jatuh kesakitan.
    "A...ampun, maafkan aku," tubuh si kecil itu gemetaran.
    Tera bisa saja menendang bocah itu jauh-jauh, tapi dia ingin sedikit bermain negosiasi. "Sayangnya tak semudah itu memaafkan orang yang sudah mengancamku," lirikan tajam Tera membuat tubuh si kecil tambah kaget.
    "Aku punya tiga ratus ribu kairo," ulang si kecil.
    "Sepakat," jawab Tera dengan senyum dan meninggalkan mereka tanpa daya, cih.. seorang pencuri ingin dicuri.
    Tera memastikan barangnya tidak ada yang jatuh, jika ada satu butir garam pun terjatuh, gali kubur mu sendiri. tidur di petimu, dan timbun sendiri. itu pesan rasa cemas Ken saat Tera mau berangkat ke luar. Dia benar-benar domblong mendengar pesan Ken. Uang ini akan dia apakan, Ken memberinya uang pas untuk berbelanja, jadi tidak masalah jika uang ini ditukarkan. Tapi ditukarkan apa?. Sembari memikirkan apa yang ingin dia belanjakan, Tera baru saja sadar bahwa kedelai itu butuh minyak untuk dimasak. Ia segera mencari minyak itu dimasing-masing toko.
    "Hei pak, berapa harga minyak ini?" tanya Tera.
    Bapak itu mengacungkan jari telunjuknya. "Seratus ribu kairo."
    "Apa-apaan seratus? Aku baru saja beli kacang kedelai senilai lima puluh ribu," suara Tera agak keras.
    "Bang, ini minyak langka, jangan dianggap remeh, kalau kau mau pindah, pindah saja di toko sebelah, aku dengar harganya dua kali lipat dari ini," bapak itu menunjukkan tokonya.
    "Hoi hoi hoi, itu sudah jelas kelewatan," geram Tera. "Dengar pak, aku tadi baru saja mendengar penjual dan pembeli yang membeli minyak seharga tujuh puluh kairo, dan asal kau tahu pak, aku ini tak mudah diakali," padahal Tera selalu saja diakali Ken, mungkin Tera ke pasar juga salah satu akalan Ken supaya dia bisa bersantai-santai di kelab rubah.
    Pak tua itu menyeringai kaget. "Kau itu pintar berbohong ya nak," bibir bapak itu berkedut. "Baiklah, sembilan puluh!"
    "Seperempatnya saja tidak ada!"
    "Delapan puluh!" kata bapak itu pasrah.
    "Enam puluh!" tawar Tera.
    "Itu lebih rendah dari awal yang kau minta! Baiklah tujuh puluh ribu kairo, kalau masih ngotot, enyahlah!" jelas-jelas suara pasrah.
"Sepakat," senyum Tera kesal.
    Entah hari ini hari sial atau hari keberuntungan, yang jelas bapak tadi membuat Tera sangat kesal. Dia mencoba memikirkan hal lain untuk menghindari rasa kesalnya, tiba-tiba Tera mengingat momen di mana dia sedang bertarung tadi. Jujur, Tera begitu menikmati pertarungan tadi, sampai-sampai dia tidak fokus melihat jalan dan bertabrakan dengan seseorang yang sedang terburu-buru.
    Tera memarahi bapak itu. "Hei kalau jalan lihat-lihat, Pak!"
    "Maaf nak, aku sedang buru-buru," kata Bapak itu sambil menundukkan kepalanya.
    Bapak itu memakai baju jas hitam dalaman putih dan berdasi kupu-kupu hitam. Celananya bewarna hitam dan begitu pula sepatunya. Serba hitam, sama seperti Ken. Hanya saja, Ken tidak menggunakan topi pesulap seperti yang bapak kenakan itu.
    "Ya ya lupakan saja, Pak, lain kali kalau jalan hati-hati, di sini banyak penjahat, kalau saja bapak menabrak selain aku," Tera mengangkat bahu, "Bapak bisa dihajar lho," Tera sok baik menceramahi bapak itu.
    "Kalau begitu aku sangat beruntung, terimakasih nak," Bapak itu mengangkat topi dan segera pergi.
 Bapak yang sedang ketakutan, kira-kira apa yang membuat Bapak itu terkencing-kencing ya? Tera mengerutkan kening lalu mengabaikan Pak Tua tadi, Tera benar-benar tak peduli sama sekali. Dia kembali membayangkan pertarungan tadi, baru saja tiga langkah Tera meninggalkan tempat itu dia menabrak seseorang lagi, kali ini tampak lebih muda.
"Hei kupukul kau," geram Tera.
"Ma..maaf kak," kata bocah itu gugup.
Tera menarik kerah bocah itu kuat-kuat. "Dengar baik-baik, kali ini kau kumaafkan, jika aku bertemu dirimu lagi dan kau tidak merasa iba kepadaku, kau tidak akan pulang dengan wajah yang mulus."
"Ba.. baiklah kak, maaf," seru bocah itu.
Tera melepaskan kerahnya dan bocah itu langsung lari terbirit-birit.
Tera mendengus kesal dan kembali berjalan. "Ada apa hari ini, selengket itu kah diriku sampai-sam---" tunggu, Tera merasa ada yang janggal. Tera membalik badan dan teriak. "Dompet ku!"

Six of Foxes (Enam Rubah)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang