Sebelum kalian baca episode ini, diharapkan untuk membaca sinopsis terlebih dahulu. Banyak yang salah paham tentang cerita saya karena tidak masuk dalam sinopsis yang saya buat. Bagian episode ini hanya awalan pokok saja dari isi cerita saya. Dan episode seterusnya merupakan cerita sebenarnya. Selamat membaca.
Setumpuk kertas dan buku penuh di meja, ada satu buku di depan Joseph yang dia otak-atik dengan pena. Kertas-kertas ini membuat dirinya frustrasi serta panas cuaca yang membakar seisi ruangan kerjanya. Meskipun ruangannya begitu luas, jumlah oranglah yang membuat kecutnya ruangan. Ditambah lagi muridnya yang selalu saja membuat masalah di kelas.
Dasar bocah itu, selalu saja membuatku tambah pusing.
Meskipun masih bocah berumur 9 tahun, luar biasa nakalnya. Mau tidak mau Joseph tetap harus sabar, sesabar berjalan dari barat ke timur. Gadis itu adalah anak sahabat joseph, anak itu sudah menganggap dirinya sebagai pamannya. Maupun sudah menganggap joseph sebagai pamannya, mereka berdua selalu saja bertengkar adu mulut.
Gadis itu dipanggil ke meja joseph, dia datang dengan tampang kesal.
"Hei, kau," kata joseph memboroskan nafasnya. "Sudah berapa kali aku menyuruhmu untuk tidak bertengkar, kau itu seorang gadis, Sin."
Seperti yang Joseph duga bocah itu mengabaikannya dengan tatapan kosong, seperti orang yang baru saja tidur dan langsung dibangunkan.
"Hoi," sambil menjentikkan jari tiga kali kedepan muka Sin.
"Anak itu mengganggu dia lagi," kata Sin seperti tak salah melakukan apa-apa.
"Ayahmu tak ingin kau ikut masalah orang lain."
"Anak itu mengganggu dia lagi," ulang Sin dengan nada yang sama.
"Dia seorang laki-laki, Sin. Dia kuat," ya... tak sekuat dirimu sih.
"Kejahatan harus diberi pelajaran, Pak Tua."
"Heaaa.. lupakan," Joseph tak ingin mendengarnya lagi.
Dia gadis pendiam, pintar, dan jarang bersosialisasi. Tapi, keahliannya dalam berbagai bidang sangatlah luar biasa, seolah-olah tubuh gadis itu bergerak sendiri secara sempurna. Sin mengakuinya sendiri.
"Sudah kembali sana, jika kau buat satu kekacauan lagi," Joseph membungkukkan badannya sehingga bertatap muka dengan Sin. "Aku sendiri yang akan menyeretmu pulang."
Sin memang gadis pintar, sangat-sangat pintar. Dia tetap akan takut jika dia diseret pulang oleh paman tua bangka. Rasa haus akan pengetahuan adalah hobinya, termasuk munculnya monster-monster di luar sana.>><<>><<>><<
Joseph pulang bersama Sin, rumah Joseph sejalan dengan tempat di mana Sin tinggal. Mereka basa-basi tentang di sekolah tadi, entah apa yang membuat Joseph risih, yang jelas Sin benar-benar ingin pak tua ini tidak membahas masalah tadi. Joseph memang paham, masa anak-anak sering bertengkar, kalau bertengkar sampai membuat babak belur di masa anak-anak itu tidak masuk akal sama sekali. Mereka menuju ke rumah dengan berjalan kaki, jalan dari semen yang rapi tidak menjadi hambatan pulang bagi mereka. Keramaian tempat itu benar-benar tak kenal henti, pagi hingga paginya lagi selalu saja ramai. Setiap empat puluh kilometer tiang gas lampu berjejer di sepanjang jalan dengan saling bertatapan. Meski ada lampu yang padam, lampu-lampu rumah atau toko di samping jalan membantu penerangan di malam hari. Kelak dia akan menjadi orang pemberani, Sten. Joseph tersenyum.
Mereka tiba di rumah Sin. Seperti biasa, Joseph mengistirahatkan kakinya sejenak di rumah Sin. Sten menyambut mereka berdua sembari membawa secangkir teh untuk Joseph, sedangkan Sin pergi ke kamar. Sten adalah ayahnya Sin, mereka hanya hidup berdua untuk sementara waktu. Ibu Sin benar-benar pejuang hebat, dia sibuk mengamati dunia luar. Dengan kekuatan ibunya, Joseph sangat yakin bahwa Helen akan mengungkap monster-monster di luar sana. Hanya saja, kondisi Helen sedang tidak memungkinkan, Kalau saja dia sebugar yang Joseph harapkan, Helen pasti dengan mudah menghabisi monster.
"Bagaimana Sin di sekolah?" tanya Sten membawa secangkir teh untuk Joseph.
"Seperti biasa Sten, seperti biasa," kata Joseph sambil mengambil cangkirnya. "Dia selalu membantu anak itu, berulang-ulang kali kukatakan tetap saja keras kepala."
"Hah... anak itu memang susah diatur rupanya, maaf kalau merepotkan mu Joseph."
"Hahaha, jangan dipikir panjang Sten, jika hanya masalah sebatang ini aku bisa menanganinya." apa yang sedang kukatakan.
Mereka berbincang-bincang tak lama, jam hampir 2 siang dan Joseph baru saja ingin pulang ke rumah. Joseph meninggalkan rumah Sten dengan tenaga lumayan, setidaknya bisa menghilangkan rasa stresnya di tempat kerja. Joseph hanya membutuhkan waktu lima menit dari rumah Sten. Namun, rasa kangennya terhadap sang istrinya, perjalan pulangnya tidak sampai memakan waktu lima menit. "Selamat datang, Sayang," kata Yume istri Joseph.
"Terimakasih, Sayang," balas Joseph. Yume mengambil alih jas dan tas yang Joseph bawa dan meletakkan di mana seharusnya berada.
"Sepertinya kau sangat lelah," tebak Yume.
"Ha... tampak aku kan selalu begini, Sayang, aku tidak setua itu, aku adalah ayah yang tak kenal lelah," apa yang sedang aku katakan, cengir Joseph.
Yume ketawa lirih menutupi mulutnya dengan tangan mengepal. "Dari tampak mu... kau sedang berdebat lagi dengan si kecil Sin kan?" tebak Yume lagi.
Joseph tertawa mengakui kekalahannya.
Hari mulai gelap dan seperti biasa, Joseph memeriksa lagi kerjaannya sebelum menuju ke kamar. Joseph teringat lagi akan anak itu, selalu saja terlintas di kepala Joseph. Joseph rindu akan tawanya, senyumnya, dan yang pasti disaat mereka berdua bertengkar. momen-momen di mana Joseph ingin menyimpan ingatan itu selamanya.>><<>><<>><<
Joseph bangun pagi sekali, setidaknya dia bisa tidur dengan cukup. Dia menuju ke ruang tamu dan hidangan sarapan pagi sudah siap menjamu Joseph. Omelet telur Yume memang tiada duanya, rasa asin yang pas membuat lidah Joseph kegirangan, sampai-sampai Dia lupa meminum tehnya. Joseph bersiap-siap untuk pergi di mana tempat yang membuat dirinya menjadi tidak seperti dirinya. Ditambah lagi bocah yang selalu membuat onar di kelas. lagi-lagi tersenyum. Joseph pamit kepada Yume dan dia mulai berjalan kaki menuju ke sekolah. Joseph datang ketempat Sin tinggal untuk menjemputnya, biasanya gadis itu belum sarapan, malah biasanya belum bangun dari ranjangnya. Joseph mengetok pintu, Sten menyambutnya dan mempersilahkannya masuk ke istana kecil Sten.
"Wah-wah, sepertinya Tuan Putri masih sibuk di dalam kamarnya," Joseph tak ingin kalah dengan tebakan istrinya.
"Maaf Joseph, anak itu tidak lama lagi akan mengantikan Helen, Joseph," jawab Sten.
Joseph berjengit kaget serta menjatuhkan tas cangking dari genggaman tangannya, baru saja semalam dia ingin melihat tawanya, senyumnya, semuanya ingin dia lihat lagi di hari berikutnya. Joseph tahu anak itu kelak akan menggantikan posisi ibunya. Hanya saja, itu terlalu cepat.
"Kemarin malam Helen datang menghampiri kami, sepertinya dia sudah tidak memiliki daya lagi untuk bertarung, dia telah membimbing jauh Moontown menuju kebebasan, Joseph. Dia sudah berada di batas maksimal, aku tahu ini tidak adil bagi kami, bagi kita, Joseph," Sten mencoba menjelaskan sejelas mungkin dengan tatapan mata ke lantai.
Joseph tersenyum kecil menyipitkan mata dan mulai berbicara, "Aku tahu Sten, rasanya begitu cepat. Sangat susah aku terima, dan begitu berat kalian terima Sten. Aku minta maaf Sten, anakmu akan menyelamatkan Moontwon dan seluruh wilayah, Sten. Kelak dia akan menjadi orang pemberani, Sten. Pasti."
KAMU SEDANG MEMBACA
Six of Foxes (Enam Rubah)
PertualanganKebebasan dan balas dendam. Moontown. Kota pelabuhan, berandalan, dan riuh seperti pasar. Banyak turis-turis datang bukan untuk menikmati keindahan kota Moontown, turis datang hanya untuk bermain judi dan mengadu kehokian masing-masing. Tapi tidak a...