Bagian 8

12 0 0
                                    

Selama perjalanan, Izdan tidur di pangkuan Ibunya. Dilihatnya wajah Izdan, sambil mengelus-elus rambutnya. Hingga tak terasa, mereka telah sampai rumah nenek Izdan yang baru. Tepatnya Ibu mertua Pak Darmin. Di kota kelahiran Bu Darmin, kota Purworejo. Sopir Pak Darmin membunyikan klakson.

Din … din … din ….

Tak lama kemudian Bik Sofi berlari membukakan pagar garasi.

"Alhamdulillah, kita sudah sampai, Nak." ucap Bu Darmi sambil membangunkan Izdan.

Izdan pun mengolet dan menguap.

"Alhamdulillah. Sudah sampai ya, Bu." kata Izdan sambil mengucek matanya dan menyiapkan barang bawaannya.

"Iya, Izdan." kata Pak Darmin sambil mengemasi barang bawaannya.

Begitu dibuka pintu mobil dibuka, keluarga Pak Darmin disambut keluarga besarnya.

"Alhamdulillah, kalian sampai rumah dengan selamat. Gimana tadi di jalan, Mas Darmin? Lancar?" tanya Pak Wagimin adik ipar dari Pak Darmin.

"Alhamdulillah, lancar, Dik. Oh ya, sudah berapa lama Dik Wagimin di sini?" tanya Pak Darmin.

"Kami baru sampai kemarin siang, Mas." jawab Pak Wagimin sambil mengajak Pak Darmin masuk ke rumah.

"Wah, kalau ini pasti Izdan, bukan? Santrinya Bapak Kyai Mahfud yang hafal Al-qur'an sekaligus Qari, ya?" timpal Ihsan putra dari Pak Wagimin.

"Iya, benar Ihsan. Kami bertemu Ihsan di sekitar pondok pesantren milik Bapak Kyai Mahfud." ujar Bu Darmi tersenyum.

"Waaaaahhhh … kebetulan banget nih, dari dulu Ihsan ingin sekali belajar baca Al-quran yang pakai lagu itu lho." ucap Ihsan yang senang mendengar jawaban Bu Darmi sambil meletakkan tas ke dalam rumah dan duduk di antara keluarga Pak Wagimin.

"Boleh banget kak Ihsan, mau yang tartil atau murottal, kak?" tanya Izdan tersenyum.

"Apa aja deh Izdan. Yang penting aku bisa belajar baca Al-Qur'an pakai lagu gitu." kata Ihsan.

Di sela percakapan antara kakak-adik, datanglah nenek Izdan yang baru.

"Alhamdulillah kalian sudah sampai. Gimana kabar kalian? Dari Jogja jam berapa?" sambut Bu Vika Ibu mertua Pak Darmin sekaligus nenek Izdan yang baru.

"Alhamdulillah bu, tadi dari rumah jam 11.00." jawab Bu Darmin tersenyum sambil mencium tangan ibunya kemudian disusul Pak Darmin dan Izdan.

Begitu Izdan mencium tangan neneknya, Bu Vika bertanya.

"Lho, ini siapa Darmin? Ibu kok baru lihat ya?" tanya Bu Vika terkejut.

"Oh, ini Izdan, bu. Tiga minggu yang lalu kami bertemu Izdan di sekitar pondok pesantren milik Bapak Kyai Mahfud." jawab Pak Darmin sambil memeluk ibu mertuanya.

"Owalaaaaahhh … ibu kira siapa. Waaaahhh … berarti nanti kita bisa belajar baca Al-Quran bareng-bareng donk." jawab Bu Vika gembira mendengar ucapan Pak Darmin.

"Insyaallah, Nek …." jawab Izdan dan Ihsan bersamaan.

Setelah saling bersalaman dan bercakap-cakap, Ihsan mengajak Izdan ke halaman rumah. Tampaknya, Ihsan benar-benar ingin belajar membaca Al-quran dengan menggunakan nada dan lagu.

"Eh … Izdan, sejak kapan sih kamu bisa baca Al-quran pake lagu?" tanya Ihsan.

"Alhamdulillah dari kecil Izdan belajar ngajinya kak. Jadi, dulu pas Emak-Bapak masih hidup suka ngajarin Izdan ngaji, kak." kata Izdan.

Tak terasa, air mata Izdan telah membasahi pipi mengingat kenangan terindah bersama almarhum kedua orang tuanya. Ihsan merasa bersalah sekaligus kagum dengan ketegaran Izdan. Hingga tak terasa, air mata Ihsan pun telah jatuh membasahi pipinya dan memeluk saudaranya

"Ternyata, Izdan anak yang luar biasa ya. Sekecil itu, mampu hidup mandiri. Pantas saja, Pakdhe dan Budhe Darmin mengangkat Izdan jadi anaknya." batin Ihsan yang masih memeluk Izdan.

"Lhoh … Ihsan, kenapa kamu jadi ikut menangis? Kan orangtuaku sudah meninggal. Gak sepertimu, yang masih utuh dan lengkap." terang Izdan dengan suara parau.

"Iya sih, Izdan. Hanya saja kehidupan kita beda jauh. Sedari dulu, kamu selalu punya orang tua yang perhatian, peduli dan penuh kasih sayang. Sedangkan aku.…" Ihsan menghentikan pembicaraannya.

"Gak perlu sedih, Ihsan. Karena ga ada orang tua yang ga sayang sama anaknya. Hanya mungkin, cara mereka mencurahkan kasih sayangnya ke anak-anaknya beda-beda." ucap Izdan tersenyum sambil menepuk bahu Ihsan.

Setelah mendengar ucapan Izdan, Ihsan menghela nafas. Tak lama kemudian, terdengar suara adik Ihsan dari dalam rumah memanggil mereka berdua.

"Kak Ihsan … kak Izdan … dipanggil bunda. Disuruh maem dulu katanya, biar ga sakit." teriak Syila dari dalam rumah.

"Ya ampun Syilaaaa … bisa ga sih kalo ga teriak-teriak. Kamu kalo ngomong kaya di hutan aja. Sukanya teriak-teriak." kata Ihsan dengan memasang wajah garang mendengar kelakuan Syila.

Izdan hanya bisa tersenyum sambil menggelengkan kepalanya melihat kelakuan Ihsan dengan adiknya.

"Sudah-sudah … jangan diterusin lagi ya Ihsan, Syila. Sekarang kita makan yuk. Kasihan yang lain. Pasti sudah pada nungguin kita di dalam sana." kata Izdan yang menghentikan keributan di halaman rumah.

Akhirnya, Izdan, Ihsan dan Syila masuk ke dalam rumah dan berjalan menuju ruang makan. Sambil berjalan, Syila memasang wajah cemberut dan kesal mendengar ucapan Ihsan. Ihsan dan Syila, bak Tom dan Jerry yang tak pernah absen dari keributan. Sekecil apapun selalu saja jadi bahan keributan. Izdan yang melihat sikap mereka berusaha menengahinya.

"Sudah donk Ihsan … Syila … jangan diperpanjang lagi donk ah. Lagi pula, ga baik lho kalau selalu bertengkar. Apalagi, sampai lebih dari tiga hari tengkarnya. Karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak halal bagi muslim memutuskan persahabatan dengan saudaranya lebih dari tiga malam. Mereka bertemu, lalu seseorang berpaling dan lainnya juga berpaling. Yang paling baik di antara keduanya adalah yang memulai mengucapkan salam.” (Muttafaqun ‘alaih) [HR. Bukhari, no. 6077 dan Muslim, no. 2560]."
(sumber: https://rumaysho.com/21037-bulughul-maram-akhlak-mendiamkan-selama-tiga-hari.html).

Ihsan da Syila hanya diam tampaknya mereka merenungi perkataan Izdan.

"Hmmmm … kok masih diem-dieman gini ya? Lagi pula kalian tau ga, apa balasan buat orang yang memusuhi saudaranya?" lanjut Izdan yang geregetan melihat tingkah kakak-adik yang seperti Tom dan Jerry.

Ihsan dan Syila hanya menggelengkan kepala dengan wajah cemberut. Kemudian Izdan meminta mereka untuk duduk di ruang tamu.

"Ya udah, kita duduk dulu di sini. Biar aku jelasin." pinta Izdan.

"Sewaktu almarhumah Emak Izdan masih hidup, beliau sering bilang kalau sesama saudara itu ga boleh berantem. Karena kata almarhum kakek Izdan, kalau sudah meninggal berubah jadi monyet lho. Kalian mau berubah kaya gitu?" terang Izdan kepada Ihsan dan Syila.

Ihsan dan Syila menggelengkan kepala.

"Nah, kalau ga mau sekarang baikan deh. Saling bermaafan dan janji ya tidak mengulang lagi?" pinta Izdan.

Akhirnya, Ihsan dan Syila berpelukan.

"Iya Izdan. Insyaallah kami tidak akan mengulang kembali, ya kan, Dik Syila?" kata Ihsan.

"Nah gitu donk … kan enak dilihatnya 😊." kata Izdan sambil tersenyum.

Izdan Anak JalananWhere stories live. Discover now