👣1👣

1.3K 226 63
                                    


"Ibu Elliya bisa ke ruangan Pak Halim sebentar, karena kemarin kan Ibu nggak bisa hadir pada acara serah terima jabatan Pak Halim pada penggantinya, maksud Pak Halim mau dikenalkan sama penggantinya paling Bu." Sapaan Fira, sekretaris Elliya, mengagetkan Elliya yang baru saja sampai. Ia masih mengatur napas setelah lelah karena baru saja masuk setelah cuti tujuh hari kerja. Ibu Elliya meninggal karena serangan jantung.

"Iya, aku segera ke sana Fir, nggak ada apa-apa 'kan selama aku tinggal?"

"Nggak ada Bu, hanya kemarin heboh karena pengganti Pak Halim yang gantengnya selangit."

Elliya hanya mengangkat sudut bibirnya, entah mengapa di usianya yang telah lewat angka tiga puluh belum juga mantap berkeluarga. Posisi sebagai wakil direktur membuatnya semakin enggan berkeluarga, ia merasa tidak membutuhkan siapa-siapa lagi. Penghasilan cukup, rumah dan mobil mewah juga telah ia miliki, lalu apa lagi? Paling tiap pertemuan keluarga, Bu Lik dan pak Liknya yang ribut semua bertanya kapan menikah.

Hentakan Stiletto Elliya seketika membuat Pak Halim berdiri saat Elliya membuka pintu, mengucap salam dan tersenyum. Laki-laki ramah itu selalu membuatnya bagai melihat ayahnya yang sejak masa SMA telah berpulang keharibaan Tuhan, dan ibunya yang menyusul seminggu lalu.

"Mari Elliya, masuk, aku kenalkan pada keponakanku yang bandel, yang nggak mau pulang, kalau nggak aku ancam, lama di Australia dan baru pulang karena aku harus segera berobat ke sana, ini kenalkan keponakanku Genta dan Genta ini Elliya."

Dan badan Elliya menegang saat melihat sosok di depannya berbalik, seketika ingatannya kembali saat dirinya masih di SMA, laki-laki arogan yang selalu merasa lebih padai dari dirinya, dan kebencian Genta pada dirinya semakin menggunung karena dalam setiap lomba matematika hingga dia lebih unggul dari Genta.

"Genta!"

Suara berat itu terdengar di telinga Elliya. Ia mengangguk tanpa senyum dan menarik tangannya segera dari genggaman Genta tapi laki-laki itu menahannya.

"Anda belum menyebutkan nama."

"Elliya."

Genta mengerutkan kening, sekilas ia ingat wajah rivalnya saat SMA, tapi tak mungkin, wajah wanita di depannya tak ada mirip-miripnya dengan wanita kurus ceking, dada rata serta penampilan lusuh yang tak mengenakkan mata.

"Kapan tangan saya dilepas?"

Seketika wajah Genta memanas, ia melihat wajah kaku tanpa senyum di depannya, wanita berkelas dengan baju dan aksesoris mahal, ia segera melepas tangannya.

"Anda mengingatkan saya pada seseorang tapi tak mungkin, andaaaa ... hmmm ... tidak ada mirip-miripnya dengan orang yang saya kenal di masa lalu."

👣👣👣

"Genta dengar nggak seleksi olimpiade matematika kali ini? Kamu sama tuh cewe kumal yang masuk dua besar dan akan diambil satu untuk maju ke perwakilan provinsi." Suara Elmo mengagetkannya yang baru saja sampai di kelas.

"Masa? Kok bisa sih dia masih bertahan, dia loh nggak pernah terlihat belajar, di kelas cuman ngelamun aja, bimbel juga nggak ikut, pasti kamu salah dengar ayo ah ikut ke Pak Suryo, kuping kamu kan sering budek soalnya."

Berdua mereka menuju ruang guru dan sebelum masuk ternyata bel masuk jam pertama pelajaran telah berbunyi dan muncul Pak Suryo lengkap dengan buku di tangan beliau.

"Dengar bel nggak? Sana masuk!" suara tegas Pak Suryo tak membuat langkah Genta surut ia penasaran bagaimana bisa cewek dekil itu masih saja bertahan.

"Mau tanya Pak, apa benar saya sama si cewek eh maaf sama Elliya yang masuk dua besar?"

Pak Suryo mengangguk dan menatap anak didiknya yang pandai tapi sombongnya minta ampun.

"Kok bisa Pak?" sahut Genta tak percaya.

"Ya bisa saja, ayo sambil jalan, Bapak tidak mau terlambat masuk kelasmu."

"Boleh saya lihat hasilnya Pak? Maksud saya berapa nilai akhir saya sama dia."

Sesampainya di kelas Pak Suryo memperlihatkan surat yang didapat dari dinas pendidikan yang berisi nilai hasil seleksi.

"Ini, malah nilai Elliya lebih tinggi dari kamu, sama-sama passing grade sebenarnya tapi nilai Elliya lebih unggul dari kamu."

Genta mengangguk, mengucap terima kasih dan segera duduk di bangkunya. Sekilas ia melirik cewek dekil yang duduk paling depan. Genta heran apa yang bisa membuat cewek itu lebih unggul dari pada dia, yang Genta tahu dan yakin makan saja pasti kurang dan tidak bergizi mengapa dalam nilai apapun selalu melebihi nilainya.

Saat istirahat tiba Genta menghampiri Elliya, menggebrak bangkunya hingga tubuh kurus itu berjengkit kaget.

"Heh! Kamu pake dukun ya pake aji-aji biar lebih unggul dari aku? Jangan harap kamu melaju mulus, kamu akan bikin malu nama sekolah kita yang terkenal keren dan banyak siswa pandai di sekolah ini."

Elliya menatap Genta yang masih saja ngoceh.

"Ayo jawab, kenapa diam saja nggak jawab?"

"Ngapain juga kamu ngurusin cewek kumal kayak dia, yuk ah kita ke kantin, kamu naksir apa gimana sih, ayo ah." Imelda, pacar Genta, menarik tangan Genta agar mengikutinya ke kantin.

"Siapa yang mau naksir cewe kurus kering, dekil, dada rata, bisanya main dukun aja biar lancar nyikut aku."

"Minta sama Allah akan lebih baik dari pada minta sama dukun, aku nggak punya siapa-siapa, masuk ke sekolah ini juga karena jalur prestasi jadi nggak ada yang aneh kalo aku bisa ngalahkan kamu."

Genta yang terlanjur melangkah, menghentikan langkahnya dan berbalik.

"Nggak usah banyak ngomong, kita lihat aja nanti, siapa yang bisa melaju sampai ke tingkat nasional bahkan internasional."

"Kita lihat aja, siapa yang lebih unggul.

Genta berbalik, ia menatap Elliya dari atas ke bawah dengan tatapan mengejek.

"Jangan sok anak babu, jangan dikira aku nggak tahu kamu tinggal di rumah megah itu karena bapak sama ibu kamu jadi babu di sana, heh sok banget gayanya, dengerin ya, Upik abu kayak kamu selamanya nggak akan bisa memperbaiki nasib, ntar kita lihat sepuluh atau lima belas tahun lagi bakalan jadi babu di rumahku kamu, denger itu cewek sok gaya gak jelas dada rata!"

Genta meninggalkan Elliya yang mematung, dadanya berdegup kencang, ucapan Genta benar-benar menyinggung harga dirinya. Bukan karena ia anak pembantu lalu tak bisa bercita-cita tinggi, bukan karena anak pembantu ia bisa dimaki seenak perutnya.

Dalam hati Elliya berjanji sepuluh atau lima belas tahun lagi akan ia tunjukkan pada siapapun yang telah melecehkannya bahwa ia bisa lebih dari mereka yang kaya raya, akan ia tunjukkan bahwa siapapun makhluk di dunia ini berhak hidup layak dan bahagia.

Elliya mengusap air matanya dan kaget saat pundaknya ditepuk seseorang, ia menoleh ternyata Panca, teman sekelasnya yang duduk tepat di belakangnya.

"Nggak usah kamu dengerin, dia sebenarnya iri sama kamu, kok bisa kamu selalu lebih dari dia, maklum anak orang kaya, segala dia punya, gak ada yang nyaingin dia kan di rumahnya, kan anak tunggal dia, sampe apa-apa maunya ya cuman dia yang unggul di sekolah, dikira ini sekolah dia apa?"

"Kenyataannya memang papa dia donatur terbesar di sekolah ini, aku dengernya gitu."

"Oh ya?!"

👣👣👣

1 Desember 2020 (03.47)

Do You Remember? (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang