Keesokan harinya Elliya merasakan hal berbeda, Genta tak mengganggunya sama sekali sampai siang, ia merasa tenang bekerja bahkan beberapa kali menerima perwakilan dari perusahaan rekanan yang telah lama bekerja sama, juga beberapa laporan dari beberapa divisi yang harusnya Genta yang menerima.Saat sore tiba sekretaris Genta masuk ke ruangannya.
"Ibu ini kalau bisa dihadle sekalian." Lia memberikan agenda sore ini yaitu memimpin rapat dengan para manajer. Elliya mengerutkan keningnya.
"Kemana bosmu?"
"Sakit Bu, tidak masuk."
"Oh."
Elliya mengangguk dan Lia menghilang di balik pintu. Sekilas Elliya ingat kejadian semalam. Ia khawatir apa sakitnya Genta akibat perlakuannya semalam, karena ia melihat Genta yang kesakitan lalu keluar dari apartemennya begitu saja, hingga jasnya sampai saat ini masih di apartemen.
Elliya meraih ponselnya, mencari nomor Genta namun mengurungkan niatnya yang hendak menghubungi Genta.
Elliya melalui satu hari itu tanpa gangguan Genta. Namun seharian pula ia khawatir Genta sakit karena dirinya.
.
.
.Dua hari lewat sampai akhirnya Genta masuk, bekerja seperti biasa namun sama sekali tak mengganggunya. Elliya merasa tenang, namun ia cukup terganggu dengan perubahan sikap Genta yang tak lagi mengganggunya.
Hingga Lia masuk ke ruangannya, memberikan sebuah kartu berwarna beige padanya.
"Dari Pak Genta Bu."
"Oh iya."
Elliya melihat undangan reuni di akhir pekan nanti. Kembali berpikir apakah ia akan datang atau tidak. Ia akan kembali ke kota yang telah ia lalui sejak kecil. Banyak kenangan di kota itu, ia tumbuh besar di sana. Sekali lagi Elliya melihat undangan itu, sampai pada kesimpulan, ia akan datang.
.
.
.Genta kaget saat Elliya tiba-tiba masuk ke ruangannya dan memberikan jasnya yang sudah rapi dalam kemasan yang terlihat jika telah dicuci. Elliya meletakkan begitu saja di meja Genta. Lalu berbalik dan melangkah menuju pintu. Tapi ia mendengar bunyi remote control pintu yang membuat pintu terkunci. Elliya berbalik menatap wajah Genta tanpa ekspresi.
"Aku mau keluar, aku tidak main-main."
"Kau kira aku main-main? Kau tak minta maaf setelah memperlakukan aset berhargaku seperti itu? Kau tak tahu sakitnya seperti apa."
"Minta maaf? Kau saja yang membuat aku kesakitan seumur hidup tak minta maaf lalu aku harus minta maaf hanya gara-gara perbuatanmu sendiri yang tidak sopan, jangan perlakukan aku seperti wanita-wanita yang biasa kau tiduri, aku tak biasa bersentuhan dengan laki-laki."
"Jangan asal bicara, aku bukan laki-laki yang dengan mudah tidur dengan sembarangan wanita, aku akui memang bukan hal aneh aku berhubungan seperti itu, tapi hanya dengan dua wanita, pertama pacarku saat awal berkuliah dan mantan tunanganku itu, aku bisa dengan mudah mendapat wanita yang aku suka saat aku ingin, tapi aku bukan tipe laki-laki yang asal masuk, ingat itu!"
"Lalu apa maumu, mengapa kau kunci pintu ini, aku mau keluar."
"Silakan tapi dengan satu syarat, akhir pekan ke Surabaya bersama aku."
"Untuk apa aku harus menuruti maumu, kamu bukan siapa-siapaku."
"Aku pemilik perusahaan ini, kau harus patuh padaku, kau aku gaji dari uang perusahaanku."
"Aku bisa berhenti jika aku mau."
"Jangan coba-coba, kau tak akan pernah keluar dari perusahaan ini, ingat pesan Om Halim."
KAMU SEDANG MEMBACA
Do You Remember? (Sudah Terbit)
RomanceCover by @DepaCBS Up juga di dreame Pertemuam kembali Elliya Prameswari dengan seseorang dimasa lalu melecut semangatnya bahwa ia harus membuktikan jika ia bisa melebihi orang yang telah membullynya hingga efek pembullyan itu ia rasakan sampai sekar...