H A P P Y R E A D I N G
"Kita bisa jadi teman, sahabat, keluarga, bahkan saudara yang tak sedarah."
Walau dalam keadaan terbaring di rumah sakit, Aku tetap membaca buku paket pelajaran. Karena selesai libur ujian semester kenaikan kelas akan berlangsung, aku tidak ingin Aldi merebut kedudukanku.
Aku tau, ini memang terdengar egois dan kasar. Namun, Aku membenci siapapun yang mengambil kebahagiaanku. Jika dia memang Aldi, maka aku harus membencinya. Kenapa? Karena aku tak suka.
Ceklek.
Pintu ruangan terbuka, tampak Aldi berdiri dengan senyum simpul yang terukir di sudut bibirnya. Di tangannya ada sebuah bingkisan lucu, entah itu isinya apa.
Aku cukup salut dengannya. Sudah beberapa kali aku kasar, membentak, bahkan memerintahkannya untuk pergi dari hadapanku. Namun apa yang terjadi? Ia tidak jera.
"Pagi, Nisa. Jangan marah-marah dulu ya, aku susah payah lho datang ke sini dari desa," ucapnya sembari menggaruk tengkuk, lalu berjalan menghampiriku.
"Aku gak minta, kamu datang," ujarku memalas.
Kulihat Aldi berupaya tenang dan tetap tersenyum, walaupun aku masih jutek dengannya. Ia memberikan bingkisan lucu itu padaku.
Kutatap matanya dengan dengan kedua alis yang terangkat.
"Buka aja dulu, itu pemberian dari Dokter Arnold dan aku."
Oke, baiklah. Kusobek kertas bingkisan itu, lalu kubuka kotak yang entah berisikan apa. Setelah kulihat isinya, dahiku mengerut. "Kisah Nabi Ayub?" tanyaku heran.
"Iya, Nabi Ayub as." Aldi mengangguk mantap, ia menarik kursi lalu duduk di sampingku.
Aku benar-benar bingung dengan maksudnya.
"Kamu tau Nabi Ayub, 'kan?" Aldi berbalik tanya padaku.
Aku mengangguk, aku tau Nabi Ayub. Dia adalah seorang Nabi yang mempunyai kesabaran luar biasa, ketika Iblis meminta Allah swt untuk mengujinya dengan memberi musibah. Mulai dari kemiskinan, kematian anak-anaknya, hingga penyakit ganas yang menimpanya selama 18 tahun.
"Kalau kamu tau, maka kamu harus bersyukur ujian yang diberikan Allah untukmu hanyalah ujian kecil. Cobalah belajar dari Nabi Ayub, beliau begitu sabar menghadapi semuanya walau hanya ditemani sang Istri."
"Aku bukan Nabi Ayub, jadi jangan sama-samakan aku dengan dia," bantahku. Saat mendengar Aldi seperti meremehkan semua penderitaanku.
"Aku gak nyamain kamu sama Nabi Ayub, aku cuma mau kamu belajar dari Beliau. Bagaimana caranya bersabar, tanpa harus berburuk sangka pada Allah."
Mendengar ucapan Aldi, hatiku sakit, remuk, bagai ditusuk belati, sakit sekali. Itu merupakan tamparan kuat bagiku. Aku memang salah, salah atas segalanya. Aku mengatakan Allah tidak adil, tidak sayang, bahkan tidak ada di dunia ini.
Air mata kembali lolos di pelupuk mataku. Aku salah, aku berdosa. Apakah Allah masih mengampuniku?
"Jangan nangis, itu gak akan menyelesaikan segalanya."
"Aldi ... maafin, aku." Kutatap lekat-lekat kedua mata Aldi. Dia sangat tenang, teduh, tidak ada kesedihan di sana.
"Udah, jangan gitu. Nisa gak salah kok, ayo sini!" Aldi merentangkan tangannya, ibarat kakak yang ingin mendiamkan adiknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jemput Aku, Tuhan [OPEN PO]
General Fiction[Follow sebelum membaca, biar berkah:) Part lengkap] SEGERA TERBIT! [NO COPASS! GUE NYUSUN IDE SAMPAI TAMAT BUTUH WAKTU LAMA, MASA IYA LU TEGA MAIN JIPLAK AJA] Ini kisahku. Kisah yang mungkin membuat hati siapapun merasa iba, sesak dan ingin menangi...