16 - Kesunyian

2.9K 624 87
                                    

H A P P Y  R E A D I N G













Hari ini, sepi.

Tidak ada Dokter Arnold, tidak ada Aldi sahabat baruku.

Paman Haris? Sudah dua hari ia tidak ke sini, apakah dia berhasil mengejar tante Melia? Jika iya, aku pasti senang.

Bagaiman jika tidak?

Kucoba mengambil ponselku, membuka sebuah aplikasi berwarna hijau. Lalu kucari nama Vivi, aku sangat rindu dengannya.

Kukirim pesan singkat wa pada nomor Vivi, barangkali dia tidak sibuk dengan hari liburnya di Bali.


Vivi (friend ter❤)


|Bagaimana, kabarmu Vi? Aku kangen sama kamu.


Ya ampun, aku baru aja mau hubungin kamu. Baik, kamu gimana?|


|Makin buruk, Vi. Mungkin kamu tinggal tunggu kabar kematian aku aja😂


Ketahuilah emot itu adalah topeng yanga sering kugunakan untuk menutupi kesedihan yang sesungguhnya.

Ngomong apa sih, kamu itu kuat. Ngapalin rumus Fikisa sama Kimia aja gampang, masa ngelawan penyakit itu lemah. Harus kuat dong💪|

Vivi, dia selalu bisa membuatku merasa bangkit. Aku tersenyum tipis, kuusap bulir bening yang hampir jatuh di sudut mataku.

Kembali kukirim pesan pada Vivi.


|Makasih❤ Vivi emang terbaik, kapan pulang?


Harapanku Vivi segera pulang, pasti dia akan menjengukku setiap hari. Hanya untuk datang mengiburku saat sepi begini.

Aku sedih, Nisa. Kata ayah, Vivi bakalan pindah ke Bali. Kemungkinan besar gak bakal balik lagi ke Yogyakarta😢|

Tidak! Jangan Vivi, cukup sudah yang lain pergi.


|Vivi, kamu tega banget ninggalin aku dalam keadaan mau sekarat gini?😂


Udah dulu ya, ayah mau ngajak aku keluar bentar. Byebye😍😙|

Pada akhirnya, semua akan meninggalkan kita dalam keadaan jatuh. Dan hanya Tuhan yang setia di sisimu sampai akhir hayat sekalipun.

Tiba-tiba pintu terbuka, paman Haris datang.

Ia mengulas senyum tipis, dan langsung mengusap puncak kepalaku dengan penuh kasih dan sayang. Kulihat di tangannya ada sebuah tas hitam, entah isinya apa.

Paman Haris pun membuka tas yang ia bawa, dan ternyata isinya adalah sertifikat rumah yang sempat dibawa lari oleh istrinya, tante Melia.

"Ambil, jaga baik-baik. Karena bisa jadi, dia akan kembali untuk mengincar ini," ucap paman Haris menyerahkan sertifikat rumah itu padaku.

"Terus, tante gimana?"

"Jangan pikirkan dia. Intinya sertifikat ini sudah kembali, dan juga. Paman harus kembali ke desa dulu untuk melihat ternak bebek, kasian Aldi kerja sendirian."

Oh, jadi itu sebabnya Aldi tidak datang ke sini lagi. Aku pun mengangguk mantap, mengiyakan ucapan paman Haris.

"Paman udah kirim uang ke rekening kamu, jumlahnya itu ada dua juta. Kamu bisa pakai untuk pengobatan," ucap paman Haris mengusap kepalaku.

Aku kasian melihat paman Haris, dia harus rela banting tulang mencari rupiah demi pengobatanku. Aku benar-benar merasa berhutang budi padanya, walaupun dia adalah pamanku sendiri.

Jemput Aku, Tuhan [OPEN PO]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang