26 - Rumah Pohon

2.4K 466 64
                                    

H A P P Y R E A D I N G


































Selesai di kebumikan, Aldi memilih untuk menyendiri di rumah pohon. Aku bahkan tidak berani mengganggunya. Karena biasa cowok itu paling sensitif kalau hatinya benar-benar kacau.

Kubiarkan Aldi berada di rumah pohon. Aku duduk di tepi pantai, menikmati semilir angin sore yang begitu sejuk. Sesekali aku mendongkak untuk melihat keadaan Aldi.

Aku bisa melihat jelas, matanya menatap kosong ke lautan. Ia tidak bergeming sama sekali saat beberapa daun menerpa wajahnya.

"Aku tau, Aldi. Gimana sakitnya kehilangan orang yang tersayang."

Kulirik jam yang melingkar di tanganku, hampir menujukkan pukul empat sore. Namun, Aldi masih enggan beranjak dari sana. Aku khawatir dengan keadaanya yang sedang tidak sehat itu.

"Al, kita pulang aja!" teriakku, sembari melambaikan tangan padanya. Namun, Aldi enggan untuk menoleh.

Kuputuskan untuk menghampirinya ke rumah pohon. Dengan hati-hati kunaiki satu persatu anak tangga. Lalu sampailah di atas. Aldi masih duduk diam menatap kosong ke depan.

"Gak baik, terlalu larut dalam kesedihan," tegurku, menepuk bahunya.

Reflek ia langsung menoleh dengan senyum tipis, terlihat jelas itu sangat terpaksa sekali. Akupun duduk di sampingnya. "Pulang, bentar lagi sore ini," ucapku entah sudah yang keberapa kalinya.

"Lihat matahari tenggelam dulu," ucapnya dengan mata yang fokus ke depan.

Baiklah. Demi kebahagiaannya aku menurut saja dan memilih diam, sembari memainkan ponselku.

"Benar, sesuatu yang indah itu hanya sementara." Tiba-tiba Aldi mengatakan itu, tepat saat matahari mulai terbenam. Semburat jingganya sangat indah menghiasi langit sore.

Aku tersenyum. Menghirup udara yang begitu sejuk dan damai. "Tapi besoknya mereka datang lagi," ucapku.

Lalu Aldi menoleh padaku. Mengacak gemas puncak kepalaku. "Berarti di dunia ini tidak ada yang kekal, semua akan pergi dan tergantikan yang baru."

Aku mengerutkan dahi, tidak paham dengan maksud ucapan Aldi barusan. Namun, ia langsung mengubah topik pembicaraan. "Malam ini, mau gak. Ke sini lagi? Kita lihat bintang jatuh."

"Mau banget, soalnya aku belum pernah ke sini kalau malam. Pasti cantik banget," ucapku begitu antusias.

Lalu ia tersenyum.

"Pulang yuk, kita istirahat dulu," ucapku lagi.

Aldi akhirnya mengangguk, kemudian menarik tanganku untuk berdiri. Lalu mulai menuruni anak tangga satu persatu, tanpa melepaskan genggamannya di tanganku. Aldi aneh sekali.

****

Sampai di rumah, aku kaget. Pasalnya di ruang tamu paman Haris sedang duduk diam bersama tante Melia. Wanita yang sudah membawa lari sertifikat rumahku.

Entah kenapa, tiba-tiba emosiku naik. Kedua tanganku mengapal, rasanya ingin memaki wanita jahat itu. Namun kutahan, aku tidak boleh kelepasan.

"Nisa!" Paman Haris berseru, membuat tante Melia menoleh padaku dengan ekspresi ketakutan.

"Ada apa, ini?" tanyaku datar, menatap tajam pada tante Melia.

Paman Haris menyuruhku untuk duduk dan tenang lebih dulu. Sedangkan tante Melia tampak ketakutan. Ia menunduk saat aku mencoba melihatnya lagi.

Jemput Aku, Tuhan [OPEN PO]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang