"Bahagiaku sederhana, melihatmu tersenyum itu sudah cukup."
Setelah membeli kertas origami, aku langsung buru-buru ke rumah sakit untuk menemui Aldi. Hari ini sebenarnya ada materi tambahan, tapi ... ah, sudahlah. Satu hari tidak ikut tidak akan akan bodoh juga.
"Selamat siang!" Aku berseru bahagia, saat melihat Dokter Arnold dan Aldi tengah berbincang. Keduanya tampak seperti anak dan ayah.
"Nisa, apa yang kamu bawa?" tanya Dokter Arnold dengan kedua alis yang terangkat.
Aku tersenyum, mengangkat kantong plastik itu lalu kukeluarkan apa isinya. Dua pcs kertas origami pesanan Aldi. Dokter Arnold tersenyum, ia pun beranjak dari duduknya.
"Eh, dokter mau ke mana?" tanyaku, mencoba mencegahnya agar tidak pergi.
"Kalian ngobrol aja dulu, dokter ada pasien."
Aku pun hanya bisa mengangguk, setelah itu Dokter Arnold keluar. Dan tersisa aku dan Aldi, aku menoleh padanya sembari tersenyum lebar. Lalu dibalasnya dengan senyuman hangat.
"Kenapa?" tanyaku dengan raut heran.
"Enggak."
Kuembuskan napas berat, kemudian duduk di samping Aldi. Lalu kukeluarkan dua pcs kertas origami yang kubeli tadi. Pandanganku kembali fokus pada Aldi, dia hanya diam. Tidak seperti biasanya.
"Kok diam, ini aku udah bawain kertas origami." Aku berusaha membuat Aldi kembali ceria.
"Aku lagi mikir, gimana caranya aku pergi tapi Nenek dan Koko gak sedih dan gak terbebani."
Wah, sontak saja aku langsung melotot. Menatapnya tajam dengan napas menderu-deru. Bagimana bisa dia mengatakan hal sebodoh itu. "Gak akan ada yang pergi!" tukasku lagi, dengan mata berapi-api.
Anehnya. Ia malah tersenyum, menepuk-nepuk punggung tanganku. "Ayo, kita sulap kertas origaminya."
Akhirnya senyumku kembali. Dia mencoba merubah topik kali ini, tapi ... ya sudahlah. Daripada membahas soal tadi, itu membuat darahku naik.
"Ingat ya, di setiap kertas origami ini ada untaian kata. Dan kamu buka saat mulai memasuki kelas dua belas nanti." Aldi pun kembali sibuk dengan pulpen dan kertas origaminya.
"Hah! Kenapa harus kelas dua belas, kenapa gak sekarang sekarang?" tanyaku penasaran.
"Karena itu syaratnya," ucapnya disertai senyuman khas, lalu mencubit gemas pipiku yang mulai terisi.
Aku hanya diam, menatap Aldi yang sibuk menyulap kertas origami menjadi burung dan kupu-kupu. Entah, kenapa dia suka sekali membuat dua hewan itu. Biasanya dia akan membuat bunga juga.
"Tumben, biasanya buat bunga," komentarku. Membuatnya berhenti sejenak, kemudian melanjutkan kembali.
"Tau filosofi kupu-kupu dan burung?" Pertanyaan itu tiba-tiba membuatku terdiam, berpikir sejenak. Dan nyatanya, aku tidak tau.
Aku menggeleng serta senyum canggung.
"Kupu-kupu, melambangkan perjalanan hidup yang penuh perjuangan hingga mencapai puncak keindahan hidup."
Lalu Aldi tersenyum. "Seperti itulah perjalanan hidup Nisa, penuh perjuangan dan cobaan. Namun, akan ada saatnya keindahan itu datang."
"Percaya sama aku, semuanya akan berakhir bahagia. Aku doakan agar Tuhan cepat mengangkat penyakitmu," lanjutnya.
Aku tersenyum. Menatap Aldi dengan pipi yang terasa panas. Dia begitu cerdas membuatku selalu tersenyum malu.
Namun, suasana hatiku kembali sedih. Pasalnya, hari senin depan pembagian hasil ulangan dan Aldi hanya mengikuti satu jenis mapel. Aku tidak begitu yakin dia bisa naik kelas dua belas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jemput Aku, Tuhan [OPEN PO]
Fiction générale[Follow sebelum membaca, biar berkah:) Part lengkap] SEGERA TERBIT! [NO COPASS! GUE NYUSUN IDE SAMPAI TAMAT BUTUH WAKTU LAMA, MASA IYA LU TEGA MAIN JIPLAK AJA] Ini kisahku. Kisah yang mungkin membuat hati siapapun merasa iba, sesak dan ingin menangi...