H A P P Y R E A D I N G
Malam ini, tante Melia dan paman Haris datang untuk menjengukku. Kemungkinan besar, mereka merasa bersalah karena sudah membiarkan aku sendiri ke rumah sakit.
Kulihat tante Melia tersenyum hangat sembari meletakkan boneka kesayanganku di atas meja, sedangkan paman Haris baru saja masuk.
"Bagaimana keadaanmu?" tanya paman Haris disertai senyum tipis.
"Seperti yang paman lihat," jawabku agak sedih, karena tubuhku semakin kurus kering.
"Apa tante perlu, membelikannya lotion?" Tante Melia menawarkannya, tapi aku menggeleng lemah. "Tidak perlu tante, Nisa senang dengan kulit yang sekarang."
Tante Melia pun duduk di sampingku, sembari memegang tanganku. Sesekali dielusnya puncak kepalaku seperti yang sering di lakukan ayah dan ibu.
Aku senang, tante Melia perhatian dan sebaik ini padaku.
"Paman dan tantemu, akan menginap di sini," ucap paman Haris.
Kedua sudut bibirku langsung membentuk lengkungan cukup lebar, aku senang atas ucapan paman Haris. Setidaknya aku tidak sendirian di sini.
Paman Haris pun duduk di sofa panjang yang berwarna hijau muda itu, meluruskan kakinya untuk beristirahat sebentar. Sedangkan tante Melia masih tetap di sampingku.
Kulihat wajah paman Haris, di sana tergambar cukup jelas gurat lelah. Pasti, menggantikan posisi ayah tidak mudah.
"Nisa, tidurlah sayang. Tante di sini menjagamu, pamanmu memang lelah karena seharian bekerja," ucap tante Melia mengusap rambutku.
Kulihat raut wajah tante Melia berubah menjadi kecemasan hebat, saat melihat jarinya yang dipenuhi helai rambutku yang rontok. Tante Melia menoleh padaku dengan tatapan sendu.
"Tidak apa-apa, ini hanya rambutmu yang patah," ucapnya meyakinkan diriku.
Susah payah kutahan rasa takutku, aku berusaha untuk berpikir positif. Dan tidak ingin berburuk sangka lagi pada Tuhan.
"Tante, Nisa bakalan sembuh gak?" Pertanyaan itu yang selalu menyerangku.
"Tentu sayang, kamu akan sembuh." Lagi, tante Melia mengusap puncak kepalaku dan hal tadi terulang kembali. Banyak helai rambut yang tersangkut di setiap jemarinya.
Ya Tuhan, tubuhku gemetar hebat. Aku takut, takut jika kehilangan mahkota yang sudah kurawat sejak kecil.
"Tidurlah, tante di sini."
Aku mengangguk, perlahan kupejamkan mataku. Beberapa menit kemudian aku tidak merasakan apa-apa lagi.
"Akhirnya, kalian semua sudah lengah," ucap Melia tersenyum semirik.
Perlahan ia melepas genggaman tanganku dari lengannya, ia mulai berdiri dan melangkah secara diam-diam. Entah kenapa, tanpa sengaja Tante Melia menyenggol kursi yang ada di sampingnya. Dan membuat suara cukup besar.
Aku terusik, tapi aku tidak bangun. Sekilas kulirik jam yang menggantung di tembok, hampir pukul sebelas malam.
'Tante Melia ke mana, tengah malam begini?'
Beribu-ribu pertanyaan menyerang kepalaku. Seharusnya tante Melia istirahat bukan keluar di jam seperti ini.
Kucabut selang infus yang menempel di lenganku, itu lumayan sakit. Kulirik paman Haris yang tertidur pulas di sofa, Aku tidak tega membangunkannya. Dengan terpaksa, aku mengikuti tante Melia keluar sendirian.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jemput Aku, Tuhan [OPEN PO]
General Fiction[Follow sebelum membaca, biar berkah:) Part lengkap] SEGERA TERBIT! [NO COPASS! GUE NYUSUN IDE SAMPAI TAMAT BUTUH WAKTU LAMA, MASA IYA LU TEGA MAIN JIPLAK AJA] Ini kisahku. Kisah yang mungkin membuat hati siapapun merasa iba, sesak dan ingin menangi...