H A P P Y R E A D I N G
"Maaf, aku salah tentangnya."
Malam ini udara begitu pekat dan dingin, membuatku tak berani untuk keluar karena penyakit ini. Kuputuskan untuk duduk di ruang tamu sederhana ini, yang hanya di isi tiga kursi kayu yang sudah terlihat usang. Dan satu buah meja kayu.
Aku tertegun, melihat nenek sedang memasak di dapur. Usianya yang sudah cukup tua itu, seharusnya dipergunakan untuk istirahat bukan bekerja. Karena merasa tak enak hati, kuhampiri nenek itu. Siapa tau aku bisa membantunya. "Nek, masak apa?"
"Ini, masak nasi, buat persiapan besok," ucapnya tersenyum tipis.
Hatiku sepeti disayat-sayat pisau, lalu ditaburi garam dan jeruk. Sangat perih sekali, melihat betapa susahnya kehidupan nenek ini. Ketika makan tadi, nenek dengan sederhananya menyajikan sepiring nasi putih, tahu, tempe dan ikan. Hanya itu, hanya itu yang kami makan.
Namun, dengan sangat mudahnya nenek tetap tersenyum. Sedangkan aku? Aku masih kufur atas nikmat Tuhan, membuang rezekinya yang tidak aku sukai.
Sudahkah kita bersyukur hari ini?
"Nek, mending nenek istirahat. Kan masaknya bisa subuh," saranku, karena tak tega melihat kondisinya yang semakin tua.
"Nak Nisa, mending tidur aja. Nenek mah udah biasa ini, kalau gak kayak gini nenek sakit badan biasanya."
MasyaAllah sekali, dengan usianya yang sudah setua dan serapuh ini. Nenek masih mampu bekerja sampai larut malam, aku? Jangankan bekerja, mencoba mencuci piring saja penyakit ini sudah ingin membunuhku.
"Pergilah, nenek lihat kamu lelah."
"Iya, nek."
Kulangkahkan kakiku menuju kamar anak kecil tadi, kulihat ia sudah tertidur pulas. Aku pun tidur di sampingnya, secara dia masih kecil juga tidak akan mungkin macam-macam denganku.
****
Aku terbangun, saat mendengar suara ayam yang berkokok pagi. Cahaya matahari menerobos setiap celah kecil rumah nenek. Aku beranjak dari tempat tidur, tapi di sampingku sudah tak ada anak kecil tadi.
Saat aku keluar, ternyata mereka sedang membuat nasi yang dibungkus dengan daun pisang lalu diberi lauk ikan seadanya.
"Nek, buat apa?" tanyaku ikut gabung.
"Eh, nak Nisa udah bangun. Ini, mau buat nasi bungkus untuk dijual," ucapnya, sembari membungkus nasi itu.
"Nisa, boleh bantu gak?"
"Emang nak, Nisa bisa?"
Aku terkekeh, mengusap tengkuk yang tiba-tiba dingin. Aku memang tak bisa melakukannya, tapi jika mencoba tidak ada salahnya kan?
Kuambil daun pisang yang sudah di potong sesuai ukurannya itu, lalu kutaruh satu sendok nasi ke dalamnya, setelah itu ikan seadanya. Kuikuti cara nenek melipat dan mengikatnya, dan ... aku bisa walau tak serapi nenek.
"Wah, ternyata bisa," ucap nenek tersenyum bahagia, sembari mengusap punggungku. Aku jadi teringat nenekku dan paman Haris, mereka semua pasti khawatir denganku.
"Nek, cucu nenek masih lama gak?" tanyaku tiba-tiba.
"Sebentar lagi pasti sampe, tadi katanya singgah sebentar beli oleh-oleh untuk adiknya," ucap nenek mengusap puncak kepala anak kecil di sampingnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jemput Aku, Tuhan [OPEN PO]
General Fiction[Follow sebelum membaca, biar berkah:) Part lengkap] SEGERA TERBIT! [NO COPASS! GUE NYUSUN IDE SAMPAI TAMAT BUTUH WAKTU LAMA, MASA IYA LU TEGA MAIN JIPLAK AJA] Ini kisahku. Kisah yang mungkin membuat hati siapapun merasa iba, sesak dan ingin menangi...