Hari dimulai dengan ayam yang berkokok dipagi hari. Orang-orang mulai bangun dan memulai pekerjaannya masing-masing. Begitupun dengan ketujuh kembar yang berada didalam rumah ini. Mereka melakukan aktivitasnya seperti biasa.
"Cepat sarapannya." Pemuda bermanik ruby itu menyajikan sarapan diatas meja. Dibantu oleh saudara kembarnya yang bermanik keemasannya. Pemuda lain bermanik biru mengambil sarapan tersebut dan mulai makan dengan riang. Sembari terkekeh jahil dan menganggu sang kakak tertua.
"Kenapa terburu-buru? Sekarang kan weekend." Pemuda lain beriris aqua bertanya dengan tenang sembari memakan sarapannya. Pemuda disebelahnya yang beriris merah sontak mengangguk setuju. "Yeah! Weekend!" Sembari mengangkat-angkat ayam gorengnya dengan bangga.
"Solar nggak makan?" Pemuda bermanik hijau zamrud memperhatikan kembarannya yang sibuk membaca buku. Pemuda itu sontak menutup bukunya dan menatap kembali kakaknya dengan manik kelabu miliknya. "Iya ini baru mau makan."
"Wah! Anak-anak ayah udah berkumpul aja nih." Terdengar sosok lain yang turun dari lantai atas. Tentu saja Amato yang turun mendengar kegaduhan dilantai bawah.
"Ayah aja yang bangun telat." Terdengar cibiran kecil dari mulut si bungsu. Amato terkekeh mendengarnya dan ikut nimbrung bersama ketujuh anak kembarnya.
"Bunda mana?" Duri yang sedari tadi melihat kiri kanan akhirnya bertanya pada ayahnya. Ayahnya yang hendak menyuap sesendok nasi pun berhenti sejenak. "Bunda sudah berangkat shubuh tadi. Katanya ada urusan."
Mendengar itu, yang lain hanya mengangguk dengan jawaban ayahnya.
"Urusan apa sehingga harus berangkat subuh? Apalagi ini weekend." Sang kakak tertua yang sudah melepas apron kini duduk disebelah Taufan dan ayahnya.
Bukannya menjawab. Ayahnya memasang tampang minta ditabok.
"Ada deh. Kok kalian kepo sih?"
Halilintar menggeram kesal. Ia ingin menabok sebelum ingat bahwa ini adalah ayahnya. Dosa nanti.
Blaze selesai duluan dan langsung beranjak dari duduknya. "Bang upan! Duri! Main yuk."
"Ayo!" Baru saja Duri dan Taufan juga ikutan hendak beranjak. Solar langsung menahan Duri begitupun Halilintar yang menahan lengan Taufan.
"Kalian udah gede. Masih juga mau bermain-main?" Halilintar tak kunjung melepaskan pegangannya pada lengan Taufan. Sehingga Taufan pun mulai berkeringat dingin karena pegangan Halilintar seperti hendak mematahkan tulang.
"Bener. Mending bang Taufan sama bang Blaze belajar gih. Ntar gak lulus-lulus." Solar memasang tampang mengejek. Membuat Blaze hendak melempar wajah adik bungsunya itu dengan tulang ayam. Tapi Ais jelas lebih dulu menyingkirkan piringnya jauh agar tidak terjadi hal lainnya.
"Duh Hali. Lepasin itu cengkramanmu. Lihat adikmu keringat dingin begitu." Amato menunjuk-nunjuk Taufan yang sedari tadi hanya terdiam. Halilintar ikut melihat kesamping dan mendapati Taufan tengah berkeringat dingin. "Oh."
Setelah itu ia melepaskan pegangannya.
Taufan langsung menghela nafas setelahnya. Ia kemudian beranjak dari duduknya dan menghampiri televisi. Blaze sendiri langsung mengejar Taufan dan ikut duduk disebelahnya. Begitu juga dengan Duri sembari bersenandung riang.
Yang lain hanya menggeleng kecil memperhatikan kelakuan saudara mereka yang tingkah kekanakannya belum berubah juga. Sedangkan Amato yang selaku ayah hanya terkekeh kecil.
Beginilah kehidupan mereka sehari-hari. Tidak ada yang berubah. Meskipun sebuah hal kecil telah menghilang sejak dua tahun yang lalu.
"Dia tidak ada kabar ya?"
KAMU SEDANG MEMBACA
『 Save Them 』 BoBoiBoy ✔
Fanfiction【 Completed 】 『 BoBoiBoy x Reader as Cousin 』 ⊱ ────── {.⋅ ♫ ⋅.} ───── ⊰ ➢ Kabar pahit datang, orang tua sepupumu menghilang dalam sebuah kecelakaan. Sebuah surat yang berupa wasiat terakhir dari sang paman itu pun meminta dirimu untuk mengurus ketu...