Prolog

160 27 38
                                    

"Mata hati kini sudah menjadi hambar layaknya besi. Bahkan rasa peduli 'lah hilang dari dalam diri. Ruang delusi menjadi kelam. Pikiran terbuka seketika bungkam."

-KalimatYangTertinggal-


Di balik tirai hujan sore ini, pohon-pohon kelapa itu layaknya perempuan sedang mandi. Gemulai daunnya seperti rambut yang terhempas lembut oleh bantuan angin. Pondasi pohon itu menggambarkan tubuh yang sempurna, jenjang dan berisi. Kini mereka menari dan melambai. Seakan memberi gambaran bahwa, "Kami sangat menikmati ini."

Awan menumpahkan beban semakin besar dan cahaya ligat darinya berangsur-angsur mulai terlihat oleh netra. Mengingat di mana canda tawa terukir bersama. Namun ... kini semuanya hanya meninggalkan luka dan derita.

Ruang berkaca diisi dengan meja dan kursi kayu, tersusun dengan sempurna menambahkan kesan mewah tercampur padu. Ya, di sinilah aku menikmati itu semua. Lenturnya jari dengan sebuah naskah yang harus kuselesaikan. Rasa nyaman sangat terasa, ditambah dengan secangkir teh yang sesekali kuteguk. Suara derasnya hujan menambah suasana menjadi indah, airnya menyegarkan dan bau khas tanah dengan lembut masuk ke indra penciumanku.

Derap langkah perlahan terdengar dari luar, menyusun irama dengan kecepatan langkah yang sama. Rasanya suara itu semakin dekat, benar saja dia berhenti tepat di sampingku. Dengan lembut bibirnya mulai mengeluarkan suara, "May, aku di sini ...," Tangan hangatnya tiba-tiba menguatkan pundakku, "kau, masih ingat denganku?"

"K-kau." Benik mataku seketika berkaca-kaca. Rasanya ingin kutumpahkan tangisan ini, tapi sepertinya itu sia-sia. "Kau masih mengingatku, 'kan?" tanyanya sekali lagi.

"Maaf, aku harus pergi."

Terpintas sebuah ingatan di mana orang-orang yang kusayangi kini 'lah pergi, karena sebuah teka teki yang sulit untuk dipahami.

Kalimat yang tertinggalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang