Diam

157 29 5
                                    

Naruto

Sakura yang malang. Tiga hari lalu, ia menyilet lengan kirinya di toilet perempuan di lantai dua. Tidak ada yang menolong. Tidak ada yang menangisi. Tidak ada yang peduli. Semuanya masa bodoh.

Dia mati sendirian. Dia mati di tempat yang kotor dalam keadaan kotor. Ada daun-daun kering di rambutnya. Badannya basah, bau air kolam. Kemungkinan disiram temannya, atau didorong sampai tercebur.

Korban bully yang bunuh diri. Klasik.

Pukul 15.09 ketika aku menunggu Hinata selesai latihan untuk olimpiade matematika. Aku sendiri baru selesai melatih sepak bola untuk anak chūgakko yang ada di sebelah sekolahku sendiri. Biasanya dia baru keluar kelas ketika langit mulai gelap.

Kira-kira setengah jam lagi, Hinata akan turun dari lantai dua, biasanya bersama Kakashi-sensei, seorang dosen matematika murni yang diminta sekolah untuk mengajar Hinata dan beberapa teman lain yang juga latihan olimpiade.

Angin sore, apalagi habis latihan sepak bola, benar-benar membuatku mengantuk. Rumput di lapangan jadi senyaman kasur di kamar. Aku menguap dan memejamkan mata, tapi tidak tahu berapa lama. Begitu aku buka mata, Hinata sudah di hadapanku. Sepertinya aku tidur tanpa sadar kalau aku tidur.

"Capek banget sampai harus tidur di bawah pohon?" katanya. Kemudian aku bangkit dan duduk. sedang dia masih berdiri. Aku bisa melihat sosoknya dari bawah sini, begitu cantik seolah dia adalah dewi yang wajib kusembah setiap matahari terbit dan terbenam.

"Maafkan aku." Dengan rasa kantuk yang masih menurunkan tegangan otot mata, aku berdiri dan bersandar di batang pohon.  

Dia memulai lagi. "Naruto, aku ingin mengatakan sesuatu." Aku tidak menjawab. Kalau ia mau bicara, tinggal tumpahkan saja. Aku akan mendengarkan dengan baik, seperti biasanya. "Ano, tentang Sakura, sebaiknya kita tidak membicarakannya lagi."

"Kenapa?" Selama ini, dia semangat sekali membicarakan Sakura, dan sialnya aku ikut-ikutan penasaran. Penasaran saja, tidak lebih.

Benarkah kalau aku sekadar penasaran?

"Tenten ...," sahutnya pelan dan , "dia bilang, ada hantu di toilet perempuan. Rambut hantunya pink."

"Khe. Kualat itu namanya."

Biasanya, jika aku menanggapi tidak serius atau sarkastik, Hinata akan—entah itu menendang, memukul kepala dengan gulungan kertas, atau bibirnya mengerucut. Tapi kali ini, kepalanya tertunduk, matanya menatap rumput yang ia duduki.

Tidakkah ini semakin menarik? Jangan-jangan Sakura tahu kalau dirinya sering jadi bahan gosip. Jangan-jangan dia mau menarik orang lain agar mati bunuh diri seperti dirinya.

Dan Hinata tetap diam. Diam seperti orang mati. Diam seperti Sakura.

MONSTER ITU TIDAK ADA DI TOILET SEKOLAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang