Kesetanan

97 25 1
                                    

Naruto

Masih pukul 15.21, aku meninggalkan lapangan untuk mencari Hinata.

Di lantai dua, kelas 11-3, meja gurunya sering ada bunga hidup. Hari ini yang dipajang adalah bunga satsuki di dalam botol kaca bekas jus. Papan tulisnya masih ada coret-coretan matematika, gambar lingkaran dan persegi panjang. Ada tas, buku catatan, pulpen.

"Hinata?" Tidak ada orang di kelas. Kakashi juga tidak ada. Aku menutup pintu kelas yang tadinya kubuka tanpa mengetuknya. "Di mana dia?"

Kecurigaanku mengarah ke ujung lorong. Ada suara-suara dari toilet, seperti perempuan menangis dan lain-lainnya. Jangan-jangan Hinata ... diserang hantu Sakura?

"Hinata?"

Oh, benar! Toilet perempuan terbuka pintunya. Di depan wastafel, semua orang yang akan terlibat olimpiade saling memandang, kecuali Hinata dan Kakashi.

Aku tidak bisa mendengar jelas apa yang dikatakan dosen bangsat itu. Kakashi memeluk pacarku, membelai kepalanya ... dia melakukan apa?

"Hinata!!" Aku rebut tangan lemas pacarku dan menariknya ke pelukanku. Kakashi bajingan! Dia merebut apa yang jadi milikku. "Jangan sentuh dia lagi!"

Kepalaku dipenuhi bayang-bayang Hinata melakukan hal yang tidak-tidak dengan Kakashi. Berpelukan ... berciuman ... kemudian—tidak! Tidak mungkin kalau ada tiga murid lain yang juga latihan.

"Hinata, jawab! Hei!" Sinar matanya seperti timbul tenggelam. Wajahnya pucat, ototnya lemas. Seketika badannya berat. "Kenapa kamu mau putus, hah? Jawab aku!"

Seolah pertanyaanku lebih penting dari kesadarannya, aku terus mengguncang tubuhnya. Aku marah, tentu saja, dan dia tetap harus menjawabnya atau aku akan terus menuntutnya sampai kapanpun.

Kemudian, Hinata benar-benar pingsan.

Seumur hidup aku melakukan hal bodoh, baru sekarang aku benar-benar bodoh. Tahu kalau dia akan kolaps. Tahu kalau Kakashi-sensei tidak berbuat apa-apa padanya. Tahu kalau ada sesuatu di toilet sekolah, yang mungkin menyerang Hinata. Dan aku tetap menanyainya macam-macam.

Aku ikut jatuh, berlutut di atas ubin, sedang Hinata masih di tanganku. Kakashi dan tiga murid lainnya masih di sini. Terdengar suara-suara seperti; "Bawa dia ke klinik!" atau "Cepatlah!" atau "Pacarnya tolol banget!"

Tak lama, mereka benar-benar mengambil Hinataku. Kakashi yang menggendongnya.

Seperti saat Hinata mengatakan putus, aku terdiam. Aku tetap di toilet sekolah, setengah terduduk dan menunduk, seolah kepalaku bisa jatuh kapan pun. Sudah satu kesalahan lagi aku lakukan, tapi tidak tahu bagaimana memperbaikinya.

Kesadaran meninggalkanku, lama, seperti ruh terbang ke alam lain kemudian kembali setelah satu umur bumi berlalu. Begitu bangkit, aku menjadi diri yang lain. Bukan Uzumaki Naruto, tetapi entah siapa.

Mata menyaksikan apa yang dilakukan oleh tangan dan kaki, tapi tidak bisa berbuat lebih. Begitu juga kali ini. Aku menerkam, menyerang, menghantam dan menerjang keempat orang yang membawa Hinata.

Jiwaku tak lagi di sini. Aku berubah, menjadi seperti ... monster. Tubuh manusia memang mudah menghajar manusia lainnya. Telingaku mendengar tawa maniak dan tak lama tenggorokanku sakit. Dari situ aku tahu kalau suara tawa itu bukan dari orang lain.

Kemudian, semuanya merah, merah, merah, bagai darah.

MONSTER ITU TIDAK ADA DI TOILET SEKOLAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang