Monster

131 24 4
                                    

Hinata

Akan kuceritakan apa yang terjadi dari perspektifku. Sakura memang muncul di hari itu dengan wujud monster—aku menyebutnya monster karena dia seperti manusia, separuh hancur tubuhnya (tidak perlu kuingatkan bagaimana kepalanya), tapi perawakannya masih Sakura.

Aku tidak ingat dia bicara apa saja, tetapi aku merasa dilempar. Kaca-kaca pecah, suara teriakan di mana-mana dan aku tidak bisa melihat apa-apa. Tidak jelas sama sekali. Aku juga dengar teriakan Naruto, tapi kemudian tidak tahu lagi, tiba-tiba aku sudah di kamar rumah sendiri.

Tanggal 23, artinya sudah dua hari aku absen ditambah Sabtu dan Minggu. Hari ini aku berhenti istirahat dan sekolah lagi. Kelamaan libur membuat otak beku dan itu buruk untuk kesiapan menghadapi olimpiade.

Aku berangkat saat matahari masih bundar dan daun-daun masih basah oleh embun. Masih sepi di sekolah. Ketika sampai di kelas, Naruto sudah ada di sana.

"Naruto ... aku ...." Aku tidak tahu harus mengatakan apa. Ingin sekali aku meminta maaf, tetapi dia sama sekali tidak merespon. Naruto menatap lurus ke papan tulis, sama sekali tak mengacuhkanku. "Maafkan aku."

Dia masih diam, masih dengan posisinya sampai pelajaran pertama lewat. Pelajaran kedua juga lewat. Waktu istirahat, dia pergi dan tidak kembali sampai jam pulang.

Tidak apa-apa, aku dan Naruto tidak pacaran lagi. Terserah dia mau melakukan apa. Aku sudah tidak mau tahu lagi.

Hari Senin pukul tiga sore, sedikit ekskul yang jalan, lorong-lorong sekolah sepi, juga dengan lapangannya. Hanya studio tari saja yang aktif dan—tentu saja—kelas-kelas tambahan untuk olimpiade.

Kebetulan sekali Kakashi-sensei baru sampai di sekolah, jadi selesai aku beli makanan di kantin, kami naik ke lantai dua bersama-sama. Sensei menanyai kabarku, juga bagaimana Naruto—ia melepas napas yang sangat lega ketika kujawab, "Naruto baik-baik saja."

"Saya khawatir kalau-kalau pacarmu mengamuk lagi." Mungkin Sensei lupa kalau dia sendiri yang menyuruhku putus. Dia masih menyebut Naruto pacarmu. "Kemarin waktu kamu pingsan, dia menyerang saya," sambungnya lagi sambil menunjukkan rahang kirinya yang lebam.

Kalau soal Naruto menyerang orang lain, aku tahu. Orang pingsan bisa saja matanya tidak melihat apa-apa, tapi telingaku masih tajam. Saat itu, Naruto tertawa dan tawanya mengingatkanku pada tokoh-tokoh psikopat.

"Kamu tidak percaya, Hinata?" tanya Kakashi-sensei.

Jujur, aku berharap kalau itu bukan dia, tapi pernyataan Kakashi-sensei mengonfirmasi kalau suara itu memang Naruto. Aku menggeleng sebagai jawaban; iya aku percaya, tapi tidak ingin.

Aku mengaku, "Sebenarnya, Sensei .... Aku masih sayang dia."

"Haha! Tentu saja, tentu saja. Kalian putus mendadak." Di luar dugaan kalau Sensei malah tertawa renyah sekali. Aku senang, paling tidak, dia mengerti perasaanku. "Memang berat, tapi sudah kukatakan padamu kalau dia—oh, Naruto!"

Uzumaki Naruto, murid laki-laki dari kelas 11-1. Cowok paling lucu dan atletis seantero sekolah. Nilainya biasa saja, tapi jangan tanya prestasi olahraganya.

Tapi Naruto yang kukenal tidak tahu di mana. Di hadapanku, ada sosoknya, tapi bukan dia. 'Naruto' yang ini sedang memegang bat dan kepala ... tanpa tubuh—yang terbelah dan berambut pink.

Dari bekas potong kepala, darah menetes ... tes ... tes ... ke lantai. Darah asli; di lantai, di bat, di seragamnya dan wajahnya.

Naruto yang dulu punya warna mata biru. Kini sorotnya tajam seolah ... ingin membunuh. Dan aku bersumpah, seluruh matanya jadi merah. Merah laksana darah.

"Mundur, Hinata!" Tak sadar aku, Sensei sudah memasang kuda-kuda, posisinya sangat agile. Dia bertahan. "Sudah saya bilang, monster itu tidak ada di toilet."

Seketika, jawaban-jawaban bermunculan. Sakura mati, lalu menjadi monster dan menyakiti orang-orang. Kemudian, Naruto memenggal kepala monster itu dan sekarang ada di hadapan kami. Oh, jelas sudah!

"Lari, Hinata!"

Jika Naruto membunuh monster, lantas makhluk apa dia?

Selesai

MONSTER ITU TIDAK ADA DI TOILET SEKOLAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang