Musketeer ; Park Jisung

45 2 0
                                    

Sebelum baca, gua mau ingetin tolong jangan salah kaprah sama yg gua ketik. Ambil pesan tersiratnya. Yaaaa walaupun cerita pendek ini rada2 halu, kwkw...

WAJIB SAMBIL DENGER LAGU MY EVERYTHING-NCT U, BIAR NGENA KESAN CERITANYA, OKS? 😉
*btw lagunya buaguss bgt woyyy

✨ happy reading ✨









Aku tergugu memandangnya. Di sana ia tersenyum simpul. Ya Tuhan, lihatlah! Senyum itu masih sama. Mata sipit itu. Pipi mochinya.

Tidak. Aku sudah berkomitmen tidak boleh ada air mata. Ta-tapi, siapa yang bisa menutupi rasa rindu ini? Meruai. Menjalari syaraf. Memberi sinyal; kau harus datang kepadanya!

Aku berlari. Terharu. Mengelap air mata yang tadi sempat menetes. "Jisung-ah!"

Lelaki itu mematung. Gemetar membuka kedua lengannya lebar-lebar.

Brukk..

Aku menubruknya. Langsung tenggelam dalam pelukan Jisung. Pelukan seorang pejuang senja. Seorang musketeer hatiku. Yang sudah lama pergi. Yang sudah lama tak memberi layang.

Hangat berada dalam dekapannya. Nyaman bersandar di dada bidangnya. Deru napasnya terasa jelas. Jisung pelan membelai rambutku. Menciuminya sekali dua kali.

"Sudah berapa lama aku pergi hingga Hana-ku berubah setinggi ini?" gumamnya.

Aku mengangkat kepala. Menaikkan kedua alis dan sudut bibir. "Terhitung lima tahun kau pergi. Meninggalkan kedua orang tuamu. Meninggalkan kota kecil ini. Segala kenangannya. Dan meninggalkan..." kata-kataku tergantung. Tidak sanggup melanjutkan.

"Dan meninggalkanmu..." ia tersenyum manis. Mencolek hidungku. "Maaf."

Sekali lagi, ia membuatku menangis haru. Melihat bangga lencana-lencana yang tersemat di baju hijau tuanya. Juga topi berets militernya.

"Kau tidak cantik saat menangis, jadi kumohon berhentilah!" titahnya, membujuk dengan aegyo. Ah, lelaki imut.

Jisung melepas salah satu lencana yang tersemat di dada kirinya. Lencana emas berbentuk bintang dengan lambang panah di tengahnya. Ia meraih lantas membuka telapak tanganku. Menaruh lencana itu di atasnya. Menyuruhku untuk menggenggamnya erat-erat. "Aku persembahkan ini untuk Hana-ku tersayang. Dari musketeer hatimu yang telah lulus ujian panah kemiliteran." Jisung mencium tanganku yang sudah mengenggam lencana itu. "Jangan berhenti memanah, Hana. Pahami tujuanmu. Pelajari faktor yang mempengaruhinya agar busurmu tepat mengenai titik itu. Tetaplah berlatih dan berjuang! Sebab kau sendiri yang menggenggam masa depan."

Aku mengernyit tidak mengerti. "Apa maksudmu? Jangan berbelit-belit!"

Jisung menangkup wajahku. Menatapku lekat-lekat. Menghela napas. "Jaga dirimu baik-baik, Hana. Salam untuk orang tuaku."

"Hey, kau ini bicara apa?"

"Aku tidak bisa menetap lama di sini. Aku harus pergi," ujarnya, lemah.

"Pergi lagi? Kau baru tiba di sini, Park Jisung!"

"Maafkan aku. Aku harus pergi sekarang."

"Tidak! Tidak bisa!"

Terlambat. Tubuh lelaki itu perlahan menghilang. Seperti hologram. Aku berusaha meraihnya, tetapi tidak bisa. Menembus.

Jisung tersenyum untuk terakhir kalinya. Melambai padaku. "Aku bangga padamu, Hana. Tetaplah berbahagia! Dan, selamat tinggal!"

...

"JISUNG!!" aku terbangun. Mengusap wajah. Ah, rupanya hanya mimpi. Sakit. Melejit voltase menyakitkan itu.

Di sisi lain, aku berterimakasih pada Tuhan yang telah berbaik hati pertemukan aku dengan Jisung. Lelaki yang gugur lima tahun lalu di medan perang. Lelaki kuat nan gagah. Meski pemalu, tetapi wibawanya besar. Lelaki yang amat kusayangi. Entah semenyebalkan apapun ia, Jisung akan ber-aegyo agar aku memaafkannya. Dan aku selalu lemah kalau ia sudah begitu.

Sakit mengenang masa lalu. Ingin aku membuangnya jauh-jauh, tetapi urung. Tidak tega tepatnya. Sudahlah, toh tidak ada gunanya merutuki.

Aku meraih kacamata di meja samping tempat tidur. Memakainya. Sedetik. Empat detik. Terbelalak. Ya Tuhan lencana itu! Bagaimana bisa ada di sini? Lencana persis seperti yang ada di mimpiku!

Aku gemetar mengambilnya. Berjalan menuju kaca lantas menyematkannya di dada kiriku. Indah. Aku nampak gagah. Sama gagahnya seperti Jisung. Kedua sudut bibirku tertarik. Puas.

"Kau tahu, lencana ini tidak apa-apanya dibanding perjuanganmu di medan perang waktu itu. Kau lelaki hebat, Park Jisung. Aku bangga telah mengenalmu!" gumamku. Meski segala yang kukatakan barusan sia-sia. Jisung tidak akan mendengarnya. Sampai kapan pun.

Kenangan tetaplah kenangan; memori yang terekam dalam ingatan dan sanubari. Merespon kata "rindu" untuk memberontak. Namun, kita bisa apa? Itu semua kan sudah berlalu.

00:00
Rabu, 25 November 2020










Aaaaaa kangen bgt mau nyapa kaliannn 😭😭

INI AFFAHHH MISKAHH??!!! 😭 bujank2 gw ganteng bgttt asdfghjkl

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

INI AFFAHHH MISKAHH??!!! 😭 bujank2 gw ganteng bgttt asdfghjkl

INI AFFAHHH MISKAHH??!!! 😭 bujank2 gw ganteng bgttt asdfghjkl

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

INI LAGI JIJI PARKK!!!!!!! MANA BABY FACE KAMUUU, NAK 😭

Jantung kalian baik2 aja kan lihat kedua puluh tiga bujank kita?

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 29, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Random NCT DreamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang