O.1

2.8K 287 45
                                    

September, 2020

Dunia Chenle terasa jungkir balik dalam waktu sekejap. Sebelumnya ia hanyalah mahasiswa perantauan semester akhir yang sedang mempersiapkan skripsi.

Semua berubah ketika ia menerima panggilan telepon dari sang paman yang memberitahu jika kedua orang tuanya terlibat kecelakaan pesawat saat akan mengunjunginya di Seoul.

Chenle tidak tahu menahu soal itu. Ia bahkan sempat tidak percaya dan nyaris mengumpat kepada sang paman karena begitu marah.

Apa pamannya ini tengah bermain-main? Kematian bukanlah sebuah candaan terlebih ini menyangkut orang tuanya.

Dan sekali lagi ia dipukul kenyataan kala sang paman di seberang sambungan telepon ikut berteriak emosi berusaha meyakinkan keturunan semata wayang keluarga Zhong itu.

Chenle masih mengingat bagaimana sensasi sesak yang tiba-tiba menyergap dada juga kedua tangannya yang tiba-tiba mengalami tremor hebat.

Ia kehilangan arah.

Pamannya bercerita detail lain entah apa Chenle tidak mendengarnya. Ia meletakan smartphone keluaran terbaru di lantai dengan dirinya yang kini duduk seraya menutup kedua telinga rapat.

Pandangannya kosong.

Semua ini terlalu tiba-tiba baginya. Bagaimana bisa ini terjadi? Semalam ia baru saja bertukar canda tawa dengan orang tuanya melalui panggilan video.

Lalu apa-apaan kabar yang diterima barusan?

Apa Tuhan sedang bermain-main padanya?

Suara sang paman memanggil meminta jawaban tetapi Chenle tidak kunjung merespon. Pelupuk matanya terasa penuh dan otaknya terisi berbagai kilas balik kenangannya bersama keluarga kecil bahagia bagaikan film rusak.

"Mama... Baba..."

Chenle mulai terisak. Ia meremat helaian surai hitamnya erat dan menunduk dalam. Melampiaskan rasa sakit di dadanya yang masih bisa belum menerima kenyataan.

"Ini bohong...."

Isakannya kian keras dan berubah menjadi jeritan histeris. Sambungan telepon yang masih terhubung itu membuat si paman dapat mendengar apa yang diteriakan dan ditangisi oleh Chenle.

Samar-samar Chenle dapat mendengar jika pamannya menyuruh ia untuk menunggu. Ia tidak peduli dan tidak mengerti juga apa maksudnya sehingga memilih untuk abai setelah membanting ponselnya.

Ia kembali larut dalam kesedihan. Chenle menatap ruang tengah apartemennya yang temaram dengan derai air mata. Pigura berisi potret ayah dan ibunya menjadi tujuan.

Ia berlutut di hadapan dan meraihnya lembut. Chenle menatap pigura itu sejenak lalu memeluknya. Perasaan sesak kian menyiksa dada.

"Kalian berbohong padaku... Bukankah kalian akan datang saat aku lulus dari universitas?"

"Kenapa kalian mengingkari janji itu dan meninggalkanku sendirian?" Jeritnya histeris lalu tanpa sadar melempar pigura itu hingga membuat kacanya tercerai-berai.

"Pembohong... PEMBOHONG!"

Jeritan itu berubah menjadi raungan menyedihkan. Chenle tidak menyadari jika telapak kakinya menginjak pecahan beling yang tersebar. Rembesan darah mulai keluar dari kakinya dan mengotori lantai.

Chenle terlalu sibuk di dalam tangisan kehilangannya sehingga ia tidak menyadari bahwa ada seseorang masuk ke unit apartemennya.

Lelaki itu memakai jas kerja hitam dan bertubuh tinggi tegap juga wajah tampan idaman setiap wanita.

Iris lelaki asing itu membulat dan bergerak cepat ke arah Chenle yang ingin menggores nadinya dengan pecahan kaca yang ada.

Pria dengan senyum menawan itu menangkup tangan Chenle yang masih memegang beling dan melukai tangannya sendiri.

Tatapan keduanya bertemu dan seulas senyum tipis nan hangat menyambut indera pengelihatan si manis Zhong.

"Jangan menyakiti diri, mulai sekarang kamu akan selalu bersama denganku"

.

[  ]

.

Pagi hari di Mansion Keluarga Jung.

Chenle terbangun dengan tubuh luar biasa pegal. Di sela kegiatannya sebagai mahasiswa yang sedang menyusun tugas akhir ia juga diwajibkan melayani kebutuhan sang suami mengingat statusnya sekarang bukanlah lagi seorang lajang.

"Jaehyun-hyung..." panggilnya lembut kepada sang pasangan yang masih betah memeluk pinggulnya.

"Aku harus memasak sarapan untuk anak-anak. Bisakah hyung hentikan kegiatan berpura-pura tidurmu itu?"

Chenle mendengus kesal dan tentu saja membuat sang suami tertawa pelan lalu membuka mata kemudian. "Kurasa setiap kita selesai bercinta moodmu akan selalu buruk hm?"

"Kau melakukannya tidak tahu waktu, hyung! Hari ini aku ada jadwal bimbingan dan Jisu- mm tidak bukan apa-apa"

Jaehyun menaikan sebelah alisnya. "Jisung berulah lagi? Kali ini apa yang dia lakukan?"

Chenle menggeleng. "Bukan hal yang besar. Kurasa itu umum dia lakukan sebagai remaja yang sedang pubertas"

Sang suami menghela napas. "Sesekali bersikaplah keras dengannya. Ia bukan anak kecil lagi, dia sudah delapan belas tahun"

Lagi, Chenle menggeleng. "Sepertinya bukan itu masalahnya, hyung... Kurasa Jisung hanya belum bisa menerimaku... Tapi tak apa, aku akan berusaha mendekatinya dan memulai sebagai teman"

Jaehyun mengangguk lalu merengkuh tubuh Chenle ke dalam pelukan. Tubuh mereka yang tidak dibalut sehelai benang pun hanya tertutupi oleh selimut tebal.

"H-hyung... K-kau harus bekerja..." Chenle mendesis kala Jaehyun memulai aksinya untuk menggerayangi tubuh sintal sang isteri. Tersenyum miring kepala keluarga Jung itu berbisik rendah di telinga Chenle.

"Satu ronde?"

.

.

.

[ ]

ㅡ ao's note below ㅡ

ini bakal slowup banget huhu dan bakal ngebut upnya kalo kisah cinta remaja yang sebelah udah tamat ;')

[lapak hujat, mengumpat, dkk]

guilty pleasure of sinsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang