|7| Kegelapan

13 2 0
                                    

#Backsound : NCT UMy everything 🎧

#Tekan bintang terlebih dahulu sebelum membaca ya - cuma ngingetin kok :)

Selamat membaca💚





✓✓✓

Tidak terasa waktu bergulir begitu cepat. Langit senja berwarna jingga itu kembali menyapa, yang tak lain adalah waktu pulang sekolah.

Hal monoton ini entah mengapa semakin lama terasa sangat membosankan. Mungkin karena aku semakin tua agaknya. Haha bercanda..

Aku pernah membaca sebuah tulisan, katanya dewasa itu menyakitkan, tidak seperti angan-angan semasa sekolah dasar.

Dan opini itu, benar adanya. Aku baru merasakannya sekarang. Bahkan sebelum ini pun aku sudah paham. Hanya pura-pura tidak peduli.

Aku menghela napas dengan kasar, sembari menendang beberapa kerikil yang memasang badan di depan langkah. Hingga suara sepatu yang terdengar hampa itu menjadi backsound perjalanan pulang sore ini.

Srak.. sruk..

Kala itu pikiranku sedang menyibukkan diri. Banyak sekali bayangan yang muncul di benak. Orang tuaku, hidupku, kebahagiaanku, kesedihanku, AARGGHH!

Bosan mendengar bisikan sukma ini. Ingin sekali rasanya mengajak pikiran bernegosiasi. Karena aku tau dia bahkan tak pernah kehabisan topik. Walau manusia tidur pun, otak tetap saja berpikir. Memikirkan mimpi.

Tapi katanya lagi, kalau pikiran kosong malah mudah kerasukan jin tomang.
Huftt.. Bimbang rasanya.

Aku menghentikan langkah sejenak, melihat ke arah 90° sebelah kanan badanku. Langit senja itu indah. Tanpa berkata pun, dia pasti tau kalau dia begitu indah. Bahkan banyak sekali orang yang iri kepadanya.

Dunia yang begitu kejam sebenarnya menyimpan jutaan keindahan sebagai obat bagi luka manusia. Hanya pemikiran manusianya saja yang terlalu pendek hingga menganggap hidupnya tak berguna. Seperti aku. Seringkali aku berpikir hidup ini tak pantas untukku, aku bahkan tidak mendapat kebahagiaan dari keluargaku. Lalu kenapa aku ada? Pikirku.

Tapi, setelah mengenal Saka. Aku menyadari betapa pentingnya hidup ini. Aku tak hidup sekedar untuk manusia. Melainkan aku hidup untuk Tuhanku juga. Walau terkadang aku berpikir berkebalikan, tapi aku selalu ingat hidup ini bukanlah candaan. Bukan juga kesalahan sang maha pencipta.

Aku hanya perlu memahami betapa pentingnya keberadaanku, untuk diriku sendiri–

"Woyyy! Maemunah jalan sendirian ntar kalo ada om-om digebet loh"

Suara yang mengejutkan itu spontan menghentikan lamunanku, aku tau siapa dia.

Bibirku terangkat sebelah spontan setelah kudengar candaannya, aku berbalik, "Saka lagi," ledekku dengan suara malas.

Saka tertawa, lalu aku membalas ledekannya, "Biarin, kalo om-om nya kaya kan bisa gue porotin, hahaha" balasku.

Saka beralih memegang dada bidangnya, "Astaghfirullah ukhti, insyaf, jangan bilang lo nanti mau ikut casting sinetron azab pelakor." Candanya.

"Sinetron azab gajinya juga lumayan bisa buat sebulan." Aku terus saja meladeninya, karena mengobrol dengan Saka membuat pikiran lebih tenang.

"Dih mata duitan," kembali dia mengolok.

"Daripada mata belekan" aku tak henti-hentinya meladeni saka hingga akhirnya dia menyerah.

"btw mau langsung pulang?" Alihnya.

"Iya" balasku singkat

Dia bergumam, "Ke sungai lotus dulu yuk, ngadem pikiran" ajaknya.

"Kayaknya gabisa deh, gue harus pulang sekarang"

Andai bukan karena ingin mengetahui keberadaan orang tuanya, kata iya yang akan dilontarkan Ratna tadi.

Saka mengernyitkan dahinya, "oke gue anterin pulang"

Kami berjalan, berdua. Saka terus saja melontarkan candaan kepadaku, hingga perutku sakit dibuatnya. Aku rasa Saka harus bekerja sebagai pelawak nantinya setelah kami lulus sekolah. Dia benar-benar ahli dalam hal ini.

Perjalanan kami terasa begitu ringan, dengan Saka alasannya. Dan tak terasa kami sudah sampai saja di depan rumahku.

Namun, kesan pertama yang kami lihat adalah kegelapan.

Benar. Rumahku gelap gulita walaupun sekarang masih sore.

Saka sekilas melihatku setelah kedua matanya berkeliling menatap rumah, "Mau gue temenin dulu?" Tawarnya.

Aku menorehkan senyum tipis kepadanya, "Nggak usah Saka, gue gapapa kok. Mending sekarang lo pulang, kasian nyokap lu sendirian"

Kembali, Saka bersikap penurut. Dia memahami ucapanku, menyuruhnya pergi adalah sebuah alasan untuk menenangkan diri. Sendirian.

Kulihat senyum kecil terlukis di wajahnya. Aku yakin dia sebenarnya tau pikiranku.

"Okeee, habis ini langsung mandi, jangan lupa makan malam. Terus besok pagi gue tungguin disini, jam setengah 7 lo udah harus dandan cantik biar gue ga lama nunggunya," terangnya panjang lebar.

Aku menorehkan senyum lumayan lebar kepadanya, sembari mendorong pelan pundak Saka agar dia segera pergi, "Iya bawel, udah sana buruan pulang."

Tak lama setelahnya, dia berlalu pergi. Dan lagi, aku menghela napas tatkala melihat rumahku yang tampak tak berpenghuni. Kenapa rasanya seperti aku dibuang di kardus ini sendirian.

Aku mulai membuka kunci pagar, dan masuk perlahan ke dalam rumah. Rasanya bahkan tidak bisa dijelaskan.

Hati ini juga terasa sesak, seperti ingin menangis tapi tetap bersikap sok tegar.

Ceklekk...

Aku melihat rumahku masih sama seperti tadi pagi, saat aku berangkat ke sekolah. Barang-barang itu masih berceceran, seperti tak tersentuh siapa pun.

Apa benar sekarang aku dibuang?

Oleh orang tuaku sendiri?













Ratna Ayudia
Arsaka Hanggana

To Be Continued-

#Cerita ini hanya fiktif belaka, apabila terdapat kesamaan nama, tempat, dan kejadian mohon dimaafkan :)




Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Dec 08, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Senyummu yang BerkabutTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang