Bagaimana perasaanku pada Livia, akan kuceritakan di sini.
Waktu itu, hari pertama masuk sekolah.
Hari pertama masuk, kuharap semuanya berjalan dengan lancar, kata batinku.
Seorang laki-laki dengan rambut ikal dan kacamata masuk ke gerbang sekolah."Hoi! Berhenti kamu!" kata salah satu anggota OSIS.
Para anggota OSIS-lah yang bertugas untuk mengecek pakaian para calon siswa baru.
Aku berhenti. Gawat! Jangan-jangan karena sepatu ini.
Aku ingat, saat sepatu hitamku kehujanan sehari sebelum masuk sekolah. Terpaksa, aku memakai sepatu lain, warna coklat tua. Tapi tentu saja hitam dan coklat tua adalah dua warna yang berbeda."Aduh! Maaf kak!" tiba-tiba seorang gadis menyela.
"Hmm..kaos kaki kamu kependekan. Tapi, bukan kamu.."
Belum selesai dia bicara, gadis itu menyela lagi, "iya kak! Tapi jangan hukum aku!" Dia langsung menarik kaos kakinya sampai setinggi lutut.Hmm.. kesempatan.
Buru-buru aku pergi dari sana.
"Ehh..kamu.." anggota OSIS itu mau pergi mengejarku, tapi gadis itu menahannya lagi.
"Kak, aku sudah aman kan? Aku pergi ya?"
"Eh.. tunggu. Kamu harus catet pelanggaran kamu dulu.."
Tapi terlambat, gadis itu sudah pergi.
Aku hanya terkekeh geli, melihat anggota OSIS itu kebingungan sendiri.Di kelas.
Aku melihat gadis itu lagi.
Dia sedang bercanda dengan temannya.
"Livia, ternyata kamu di kelas ini lagi?? Aku bosen sekelas sama kamu terus.." kata temannya.
"Apa sih, Jen?! Harusnya seneng dong kita sekelas lagi.." kata gadis itu.
Aku mencuri dengar pembicaraan mereka, hmm..namanya Livia ya.Entah sejak kapan, aku mulai memperhatikan Livia.
Gadis manis yang supel, sedikit bodoh, dan cerewet. Dia selalu membicarakan tentang pangerannya, pangeran yang selalu muncul dalam angannya.
Sosok laki-laki yang selalu dia puja, aku berharap untuk menjadi sosok laki-laki itu.Dia juga baik. Berkali-kali dia membantuku.
Waktu tugas prakarya, aku lupa membawa dakron untuk tugas membuat boneka.
Livia langsung menawarkan dakronnya, "ini untuk kamu. Jangan sampai ketahuan Bu Yana, nanti kamu bakal diomelin sepanjang pelajaran."
Aku hanya tersenyum sambil menerima dakronnya.Dia juga pernah membantuku membawa buku.
Bu Rini menyuruhku membawa buku PR sekelas ke ruang guru.
Terpaksa, aku membawa semua buku itu. Sendirian.
Dengan terhuyung-huyung, aku berusaha membawa buku-buku itu ke ruang guru.
Livia yang melihatku, langsung menawarkan bantuan.
"Aku bantu ya?" katanya sambil mengambil setengah dari buku yang kubawa.Hal itu semakin membuatku suka dengan Livia.
Setelah itu, kami naik ke kelas 2.
Aku beruntung. Aku sekelas lagi dengan Livia.
Keberuntunganku bertambah, setelah pembagian tempat duduk. Aku duduk di belakang Livia.
Ini kesempatanku untuk mendekati Livia, kata batinku.Mungkin kalian akan berpikir kalau aku adalah laki-laki cupu, yang sama sekali tidak berusaha untuk mendekati gadis yang kusuka.
Tapi, ini pertama kalinya aku jatuh cinta. Jadi wajar saja, karena ini adalah yang pertama.Kesempatan itu akhirnya datang.
Saat itu Livia kesusahan karena lupa membawa kertas A3.
Aku langsung memberikannya kertas A3. Sebagai imbalannya, aku bisa berbicara dengan Livia. Meski hanya satu dua kata.Tapi, aku kecewa ketika dia menanyakan namaku ke temannya.
Apa selama ini dia tidak pernah menyadari keberadaanku? Apa dia juga lupa saat dia selalu membantuku, saat dia memberikan dakronnya, saat dia membantuku membawa buku?
Tapi, aku bertekad agar dia bisa menyadari keberadaanku.Aku selalu ada saat dia butuh bantuan. Setidaknya, aku sudah berusaha.
Tapi semua itu menjadi percuma. Saat pangerannya datang ke kelas kami. Pangeran yang selalu dia dambakan, yang seharusnya hanya ada di angannya, tapi sekarang ada di dekatnya.Aku takut Livia akan semakin melupakanku.
Aku segera menembaknya, berharap Livia bisa menerimaku.
Meski baru beberapa hari, tapi kami sudah cukup dekat, bukan? Aku sudah cukup berusaha untuk mendekatinya.Tapi semua menjadi jelas.
Saat Livia menghindariku, dia hanya takut untuk menolakku.
Aku sudah tahu. Tapi hanya takut untuk menerima kenyataan, kalau Livia memang tidak menyukaiku.Sekarang, semua sudah jelas.
Livia sudah menolakku, aku berusaha untuk menerimanya
Asalkan ada Rey, asalkan Livia bisa bahagia, aku akan merelakannya.Perasaan ini, sudah bertahan selama satu setengah tahun.
Meski bukan akhir yang bahagia, tapi aku bersyukur bisa merasakan perasaan ini. Aku bersyukur karena kamu, Livia, yang menjadi bagian dari kisah cintaku.~bersambung~
KAMU SEDANG MEMBACA
Pangeran dalam Angan
Romance"Apa tipe laki-laki idaman kamu?" Itulah pertanyaan yang paling disukai Livia. Laki-laki tampan, selalu perhatian, dan setia. Sosok laki-laki yang sempurna bagai pangeran. Laki-laki yang selalu muncul dalam angan Livia. Sampai tiba-tiba, sosok pange...