"Kemaren gue ketemu ayah lagi, Mik," kata Arsa begitu duduk di hadapanku.
"Terus gimana?" tanyaku penasaran.
"Ayah nelpon Tante Mira dan bilang dia ingin ketemu sama gue. Akhirnya gue datang ke kafe yang diminta ayah."
Mulutku terus mengunyah makanan, tapi aku mendengarkan ceritanya dengan serius. Ini merupakan bagian penting dari hidup Arsa.
"Setelah gue dan ayah menghabiskan makanan, dia minta supaya gue jangan datang lagi ke rumahnya karena dia sudah punya keluarga sekarang. Dan keluarga barunya tidak tahu kalau sebelumnya ayah sudah memiliki anak."
Aku tersedak mendengar ceritanya. Buru-buru aku minum supaya makanan yang nyangkut di kerongkonganku dapat meluncur sampai ke usus.
"Maaf ya, Sa," kataku sambil mengelap mulut.
"Nggak apa-apa, Mik. Lu aja yang dengar kaget, apalagi gue yang ngalamin."
Aku setuju dengan perkataannya. Ayah yang selama ini dicari malah tidak ingin menemui anaknya sendiri. Ayah macam apa itu?
"Terus respon lu gimana, Sa?"
"Awalnya gue protes. Gue bilang sama ayah kalau gue udah nyari dia sejak lama. Masa setelah ketemu, gue malah nggak bisa ketemu dia lagi, tapi ayah tetap ingin agar identitas lamanya nggak ketahuan. Dia nggak mau keluarganya berantakan."
"Tapi dia buat hidup lu berantakan, Sa."
"Mau gimana lagi, Mik. Dia tetap nggak mau ngakuin gue sebagai anaknya. Sebelum pergi dia ngasih gue uang, tapi gue tolak. Gue cuma minta supaya dia peluk gue. Habis itu gue pergi dari kafe."
"Terus lu iklas, Sa?"
"Mungkin dengan berjalannya waktu gue akan bisa menerima semuanya. Ada saat di mana kita menginginkan sesuatu, tapi tidak bisa mendapatkannya... karena itu bukan milik kita. Dan mungin ayah bukan buat gue, Mik."
Arsa menunduk sambil menghela napas. Kata-katanya membuatku tersentuh. Aku ingin punya keluarga utuh, tapi aku tidak mendapatkannya. Mungkin karena itu bukan milikku.
"Mik, gue minta maaf sebelumnya. Tanpa persetujuan lu, gue cerita ke Bu Lia tentang malam itu."
Aku menatap bola matanya.
"Maaf ya, Mik. Gue nggak tahan liat lu disiksa terus. Apalagi peristiwa malam itu sudah sangat keterlaluan, Mik. Lu berhak untuk menjalani hidup yang lebih baik."
Aku meletakkan sendok dan menutup kotak makanku.
"Sa, lu kan tahu kalau gue nggak mau ada orang lain yang tahu tentang keluarga gue. Lu mikir nggak, kalau lu lapor ke Bu Lia, hidup gue akan tambah berantakan? Kalau Bu Lia tahu, dia pasti akan panggil gue. Habis itu dia panggil ayah. Bisa aja ujung-ujungnya malah berurusan sama polisi. Kalau udah begitu, sekolah gue akan berantakan, Sa. Apalagi sebentar lagi kita mau ujian. Terus kalau ayah ngamuk sama gue gimana, Sa?"
"Kalau akhirnya lu mati di tangan ayah lu sendiri sebelum kelulusan gimana?"
Aku tecekat mendengar perkataannya. Aku tidak pernah berpikir sampai ke sana. Aku hanya berpikir untuk bertahan sampai kelulusan. Kalau aku mati di tangan ayah, aku tidak bisa mengejar mimpiku dan juga tidak bisa bertemu ibu.
"Sebaiknya lu cerita aja sama Bu Lia. Dia pasti akan bantu lu, Mik. Gue udah duluan ngerasain, jadi gue yakin dia juga akan melakukan hal yang sama ke lu. Gue cerita tentang ayah sama Bu Lia. Dan dia nguatin gue untuk berbesar hati dan menerima semuanya."
***
Aku turun dari angkot yang kunaiki di depan toko Kak Dira. Aku berjalan kaki dari halte ke rumah. Sejak peristiwa malam itu, aku semakin memperlambat jalanku untuk sampai ke rumah. Terkadang aku berhenti di taman dan duduk di ayunan. Kadang aku juga menghabiskan waktu dengan makan nasi goreng atau bakso di dekat rumah. Pokoknya aku tidak mau cepat-cepat sampai rumah. Kejadian malam itu masih membekas di ingatanku. Luka ditanganku yang masih belum sembuh benar menjadi pengingat pada malam ayah menjualku.
Bila mobil ayah belum terparkir di garasi, aku berani masuk ke rumah, lalu buru-buru ke kamar dan mengunci pintu. Aku sengaja tidak menyalakan lampu agar ayah berpikir kalau aku belum pulang. Dia memang tidak pernah peduli aku ada di rumah atau tidak, tapi lebih baik aku berjaga-jaga. Kalau mobil ayah sudah di garasi, biasanya aku akan menunggu sampai tengah malam, baru aku masuk ke rumah. Aku berangkat sekolah sepagi mungkin, sebelum ayah bangun. Sejak peristiwa malam itu, aku belum bertemu ayah sama sekali. Dia juga tidak mencariku.
Aku hampir sampai di rumah. Mobil ayah tidak ada di garasi, tapi di depan pagar aku melihat mobil Om Tambun terparkir. Mendadak pintu mobil terbuka dan Om Tambun keluar. Aku membalikkan badan dan berjalan dengan cepat.
"Mika, ayahmu masuk rumah sakit," teriak Om Tambun.
Langkahku terhenti. Aku membalikkan badan. Begitu aku melihatnya, rasa jijik padanya kembali muncul.
"Jangan bohongi saya, Om. Saya tahu Om mau berbuat jahat sama saya lagi."
"Saya nggak bohong, Mika. Ayo kita ke rumah sakit sekarang." Om Tambun melangkah maju.
"Diam di situ, Om! Jangan coba-coba dekati saya lagi!"
"Ayo kita ke rumah sakit sekarang, Mika. Ayahmu butuh kamu."
"Om cukup bilang ayah di rawat di mana. Saya akan ke sana sendiri."
"Kita pergi sama-sama saja, Mika. Biar cepat sampai di rumah sakit."
"Nggak, Om. Kalau memang ayah benar-benar di rawat di rumah sakit, Om cukup kasih tahu di rumah sakit mana ayah di rawat."
Akhirnya Om Tambun memberikan nama rumah sakit tempat ayah dirawat. Tanpa mengucapkan terima kasih, aku langsung berlari meninggalkannya. Aku harus waspada. Bisa saja dia berbohong tentang ayah. Bisa saja sebenarnya dia mau balas dendam karena aku tidak melayaninya malam itu.
Aku berlari menuju rumah Arsa dan memintanya mengantarku ke rumah sakit. Hari belum terlalu malam sehingga dia mendapat izin dari Tante Mira untuk menyetir mobil. Aku menyenderkan kepala di kursi dan memerhatikan lampu-lampu jalan yang menerangi malam.
"Ayah lu sakit apa, Mik?"
"Nggak tahu, Sa. Tadi gue nggak tanya. Gue udah buru-buru pingin kabur. Gue takut si Om mau ngelakuin yang nggak bener ke gue."
"Semoga ayah lu nggakk kenapa-kenapa ya, Mik."
Aku menatapnya tajam.
"Jangan marah lagi kayak waktu itu," ucap Arsa.
Aku tersenyum tipis. Aku sendiri sebenarnya bingung, harus senang atau sedih karena ayah sakit. Namun, ada sedikit harapan juga dalam hatiku supaya ayah mati secepatnya, supaya dia tidak menyiksaku lagi.
Kami tiba di rumah sakit. Setelah memarkirkan mobil, Aku dan Arsa berjalan ke bagian informasi.
"Selamat malam, Suster. Apa benar Bapak Stefan Handoro di rawat di sini?"
"Saya cari dulu datanya."
Tak berapa lama suster memberitahu kalau ayah masih berada di IGD. Aku dan Arsa langsung menuju IGD begitu mendapat informasi tentang letak ruangan itu. Aku melihat setiap tempat tidur yang hanya dibatasi dengan tirai kain. Setelah melewati beberapa tempat tidur pasien, akhirnya aku melihat ayah terbaring. Jarum infus tertancap di lengannya. Matanya terpejam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Stitch Our Scars (SOS) [COMPLETED]
Romantizm(TAMAT) Cerita ini berkisah tentang dua kakak beradik yang sering mengalami kekerasan di rumahnya. Perilaku ayahnya membuat Arun dan Mika ingin mendapatkan kebebasan. Seiring berjalannya waktu, Arun, sang kakak, berhasil kabur dari rumah, tetapi Mi...