PROLOG

24.6K 3.1K 149
                                    

Mena berpikir kalau dia mungkin sedang dikutuk oleh dewa. Hampir tidak pernah ada hari dimana dia bisa menutup matanya dengan tenang di malam hari. Karena ketika dia terjaga, dia selalu melihat orang di sekitarnya sebagai musuh yang selalu mengincar kematiannya. Ketika dia terlelap, dia merasa tengah berada di gerbang akhirat Osiris dan menunggui jantungnya yang tengah ditimbang oleh Thoth. Seringkali dalam setiap mimpinya, jantungnya dinilai lebih berat dari sehelai bulu, sehingga akhirnya Dewa Ammit yang berkepala aligator melahap jiwanya dengan sukacita.

Dia tidak pernah percaya kalau kematian akan menjadi akhir yang baik baginya. karena Jiwa penjahat akan dimangsa oleh Ammit. Dia mungkin sama buruknya dengan para musuhnya. Meskipun sebagai perempuan, selalu ada keraguan dan setitik welas asih dalam setiap perbuatannya. Dia masih merasa bersalah karena pernah meracuni sepupunya ketika hari ujian menulisnya yang penting tahun lalu. Meskipun sepupunya yang keji hanya mengalami muntah-muntah, dan bersumpah akan menghancurkannya setelah dia mengetahui perbuatannya, Mena menyesal dan kehilangan selera untuk berbuat jahat.

Kata pengasuhnya, sifat keji biasanya diturunkan. Seperti sepupunya El-kab yang berulang kali mencoba membunuhnya. Ayahnya adalah salah satu penasihat Firaun yang dirumorkan gemar berburu dengan memaksa para budaknya memakai tanduk domba di kepalanya. Dia memerintahkan para budaknya untuk mengembik dan berlari sebelum dia membidik leher mereka dengan panah.

Situasinya juga sama seperti sepupu-sepupunya yang lain, atau pamannya dengan orang tua dan lingkungan yang sama jahatnya. Mereka minim empati dan serakah akibat ditempa dalam situasi penuh konflik perebutan kekuasaan dan siklus balas dendam yang berulang.

Sang putri sendiri, sejak balita diasuh di Lingkungan para pendeta yang berusaha menjauhkannya dengan aura kebencian dan perseteruan di Thebes, ibukota Mesir saat ini. Di usia empat belas tahun dia kembali tinggal di istana, dekat dengan sang Firaun ayah kandungnya agar dia bisa belajar langsung cara menjadi Firaun yang baik.

Keberadaannya sama sekali tidak diharapkan. Dia seorang wanita. Ratusan tahun sudah berlalu sejak pertama kalinya Mesir memiliki wanita sebagai Firaun, namun tetap saja kalangan elit cenderung menolaknya. Tidak peduli walaupun wanita kini sudah memiliki hak kepemilikan properti dan bisa menjadi pendeta, jenis kelaminnya adalah kendala.

Mena selalu merasa tengah berjalan di atas bara api setiap berkeliling di Thebes. Dia cemas kalau ada pembunuh bayaran yang mungkin tengah bertengger di salah satu atap bangunan dan membidik kepalanya dengan panah. Mungkin tidak akan seekstrim itu, mereka akan membuat kematiannya sealami mungkin. Seperti menjatuhkan batu besar ke kepalanya atau memasukkan ular berbisa ke bak mandinya. Dia sudah mengalami semuanya dan beruntung kepalanya masih utuh karena para dewa mungkin masih kasihan kepadanya.

Seperti saat ini, salah satu musuhnya mungkin ingin membuat Firaun dan semua orang percaya kalau putri mereka tenggelam di sungai Nil.

Sang putri sedang menaiki perahunya mengarungi sungai Nil yang sedang cukup dalam musim ini ketika semua ini terjadi. Sebagai seorang putri, dia juga sering muncul untuk memantau kesejahteraan rakyatnya. Sebenarnya alasan utamanya adalah, dia perlu rutin tampil di publik sebagai pembuktian kalau dia masih sehat dan belum mati serta pantas menjadi Pharaoh berikutnya.

Beberapa jam yang lalu, salah seorang pelayannya menyajikan susu unta dengan tetesan madu selama dia berlayar di atas perahu. Suasana riang dan penuh ramah tamah telah membuatnya lengah. Dia meminumnya, padahal dia selalu minum dari gelas yang dibawanya sendiri. Dia juga melihat-sebelum dia kehilangan kesadarannya-kalau para orang yang tadi menjamunya dengan akrab, tersenyum ketika dia jatuh dari perahu.

Kendati dirinya kerap ditimpa kemalangan dan berulang kali hampir mati, sepertinya para dewa tidak benar-benar membencinya. Atau mereka hanya suka melihatnya menderita? Dia tidak tahu. Tapi dia sekali lagi selamat, tubuhnya yang kuyup ditopang oleh sebatang kayu berongga yang membusuk. Dia bernafas kembali. Kalau bukan karena keberuntungan yang luar biasa, pasti karena campur tangan dewa penguasa sungai Nil. Siapapun akan mati kalau jatuh ke sungai ketika dalam keadaan pingsan.

Gadis itu yakin dia masih hidup, dia masih merasakan detak jantungnya. Dia juga yakin sedang tidak berlayar di sungai akhirat Osiris, apalagi melihat dewa Ammit dengan kepala aligatornya yang menakutkan. Dia hanya melihat air dan rumput ilalang.

Namun dia juga melihat kawanan burung Ibis berkerumun di sekitar sana dan ada seseorang di sana. Mungkin dia nelayan yang sedang memanen ikan dari perangkapnya.

Mena baru saja mau membuka mulutnya dan meminta tolong. Namun urung setelah menyadari kalau orang itu mengenakan pakaian layaknya bangsawan, bertubuh tegap dengan sorot mata tajam sekaligus tenang. Sejak awal dia sudah melihat sang putri, namun dia diam seakan menunggu gadis itu mulai bicara. Mena gentar, orang itu mengenakan sesuatu di kepalanya. Topeng burung Ibis.

"Dewa Thoth?" Rintihnya pelan. Dia pun mulai ragu akan keyakinannya. Apakah dia masih hidup atau sudah mati? Thoth adalah dewa yang menimbang dan memutuskan apakah jiwa seorang manusia akan bergabung dengan para leluhurnya atau berakhir menjadi santapan Dewa Ammit?

"Kau mengenaliku? Apa yang dilakukan oleh seorang putri dari Thebes di sini yang jauh dari singgasana nyamanmu?" Dewa Thoth bertanya, meskipun dia mengetahui jawabannya. Tidak ada yang berenang dengan pakaian lengkap seperti Mena sekarang.

"Saya dijebak," gadis itu susah payah menjelaskan.

"Kemarikan tanganmu, kita ke daratan untuk mengeringkan badanmu," kata Thoth lagi.

Mena menerima uluran tangannya yang terasa lebih dingin dari air sungai Nil. Mena menyadari kalau jemarinya sudah berkerut pertanda dia sudah cukup lama terendam di air. Bibirnya menggigil dan tubuhnya gemetar.

Thoth membungkusnya dengan selembar kain linen lebar bermotif untuk menghangatkannya kemudian mengangkat sang putri seakan dia seringan bantal bulu angsa. Mena pun meliriknya dan menyadari kalau di balik topeng itu dewa Thoth memiliki rambut pirang dan mata sebiru langit. Mena memiliki setitik keraguan kalau dia mungkin bukan Thoth namun instingnya berkata lain.

Thoth menurunkannya di tanah yang kering, kemudian berjalan menjauh.

"Tunggu dewa Thoth!" Mena memanggil. Thoth berbalik seraya menyebarkan aura keagungan. Dia memandang Mena sekali lagi.

"Jadikan aku Firaun!" Katanya lagi.

"Putri Thebes, bukankah kau memang akan menjadi Firaun?"

"Tidak, aku mungkin akan mati sebelum Firaun saat ini tidur dalam keabadian, aku tidak punya sekutu yang bisa kupercaya di Thebes," Mena mengejar, bersimpuh ke kaki Thoth dengan gestur menghiba.

"Putri Thebes? Kau ingin bertransaksi denganku?"

"Engkau adalah Dewa Thoth, dewa kebijaksanaan yang menyimpan seluruh rahasia alam semesta di kepalamu. Bantu aku menjadi Firaun, aku akan membangunkan kuil yang megah untukmu di Thebes dan aku sebagai Firaun akan melakukan apapun keinginanmu," ucap si gadis dengan nada putus asa.

"Aku tidak menginginkan apapun darimu Putri Thebes," Thoth menanggapi dingin.

"Tapi kalau kau mau menjadi istriku, aku mungkin akan mempertimbangkannya," kata Thoth lagi. Mena terkesiap. Dia tidak pernah tahu kalau kaum dewa bisa menjalin hubungan dengan manusia.

"Ketika kamu mati, kamu tidak akan menjadi dewa melainkan menemaniku sebagai istriku di alam para dewa," Thoth menjelaskan lagi.

"Saya-" sang putri mulai ragu. Dia siap mengorbankan apapun selama dia masih hidup. Tapi kalau Thoth menginginkannya mengorbankan jiwanya, Mena tidak tahu apakah dia bisa menjalaninya.

"Kamu tidak usah khawatir, aku akan memperlakukanmu dengan baik," kata Thoth lagi.

Gadis itu gentar, menikahi pria berkepala burung Ibis tidak pernah terlintas di kepalanya. Namun dia mungkin tidak akan bertemu lagi dengan Thoth. Ini adalah satu-satunya kesempatannya. Mungkin para dewa memang menginginkannya. Mereka mengirimkan Thoth untuk membantunya. Memiliki sekutu seorang dewa tentunya memiliki harga yang tidak murah.

"Saya akan melakukannya, saya akan menjadi istri anda di alam dewa. Namun saya bebas memilih siapa yang akan menjadi suami saya ketika saya masih hidup," katanya lagi.

"Baiklah," dewa yang mengenakan topeng setengah wajah itu tersenyum. Dia mencengkram pelan bahu sang putri dan dengan jemarinya yang dingin; dia meraih dagu gadis itu. Dewa jangkung itu membungkuk dan merenggut kesucian bibirnya. Memberi gadis itu pengalaman yang tidak pernah dirasakannya. Mena gemetar karena takut sekaligus merasa bersalah karena cenderung menyukai apa yang dilakukan Thoth terhadapnya.

"Kontrak sudah dibuat, Putri Thebes, kini jiwamu adalah milikku," ucap Thoth tenang sambil menyeka bibirnya.

The Queen Of EgyptTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang