Chapter 1

1.4K 97 4
                                    

Desau kencang angin menerpa wajah para penumpang kapal yang baru tiba di Pelabuhan Denumald, membuat telinga beberapa orang berdenging sesaat.

Kicau panjang burung camar pun turut menghiasi kedatangan kapal besar yang datang dari Negeri Cina. Lambaian tangan orang-orang yang didominasi oleh masyarakat kelas menengah semakin bersemangat seiring kapal besar itu mulai menepikan tubuhnya di ujung dermaga.

Para penumpang kapal turun berdesakan, tidak memberikan ruang bagi orang lain hanya sekedar untuk bernapas. Bermacam-macam ras keluar dari kapal ini untuk mengadu nasib di negeri orang yang katanya sejahtera.

Wei Ying mengusap kasar mata kanannya sambil menguap kecil. Tubuhnya terasa bergoyang-goyang tak karuan sejak kapal ini berhenti di dermaga. Mata abunya mengintip dari balik taplak meja lusuh tempatnya bersembunyi. Menyelinap mengikuti keluarga besar, mencari roti dan air minum bekas, lalu mencari tempat sembunyi yang aman.

Bocah yang baru menginjak 12 tahun itu kembali mengintip dan mengawasi sekitar, memastikan tidak ada orang yang melihatnya lalu merangkak keluar dengan memeluk roti curiannya. Sayang, kerah belakangnya ditarik dan tubuhnya dibuat melayang oleh pria tambun dengan bekas luka sayatan dari ujung alis kiri sampai pipi kanannya. Melotot menatap Wei Ying yang hendak kabur setelah menyelinap.

Pria itu berteriak keras sehingga membuat percikan saliva ke wajah bocah malang itu. Masih sambil mengangkat tubuh Wei Ying, tangannya yang bebas menuding-nuding di depan hidung Wei Ying. Sementara bocah itu hanya menggeleng dengan mata yang berkaca-kaca, takut dan tak mengerti sepatah kata pun bahasa yang dilontarkan.

"Dasar bocah Asia kurang ajar!" dengus pria tambun itu lalu melempar Wei Ying keluar pintu. Membuat tubuh kecilnya berguling-guling di tangga pintu keluar kapal.

Beberapa orang yang melintas menatapnya iba, tapi tak sedikitpun ada niat untuk membantunya. Akhirnya Wei Ying menjauh dari dermaga dengan roti hancur yang bahkan belum dimakan setengahnya. Ia berjalan tanpa arah hingga langkah membawanya ke sebuah pemukiman suram dan kumuh. Kelerengnya berbinar sesaat melihat kehidupan orang-orang yang tak jauh berbeda dengannya. Belum ada empat kali ia melangkah, harapannya pupus kala suara gonggongan anjing mengagetkannya. Menatap lapar roti daging yang dipeluk Wei Ying.

"Ja-jangan ....." lirihnya berjalan mundur. Dua anjing liar dengan liur yang sudah mengantung membuat bulu kuduknya meremang berdiri. Sudah cukup di negeri nya ia harus bertahan hidup melawan anjing, ia tidak ingin lagi merasakan hal yang serupa di negeri orang.

Wei Ying langsung mengambil langkah seribu menjauhi anjing-anjing lapar tersebut. Menyadari langkahnya justru menjauhi pemukiman membuat Wei Ying mengutuk dan menyalahkan anjing-anjing liar yang mengejarnya.

Matanya dengan cepat memindai tempat pelarian yang bagus. Sebuah pohon yang terlalu tinggi pun menarik minatnya. Wei Ying menggigit rotinya dan mulai melompat ke atas pohon. Cakaran anjing pada betis kanannya tak membuatnya menjeda, dengan kaki terseok, ia memaksakan dirinya menempati puncak dimana para anjing itu tak lagi menggapainya.

Delapan menit berlalu para anjing masih menggonggong di bawahnya. Selama itu pula belum ada orang yang sekadar lewat untuk menolongnya. Berteriak pun percuma, ia tak tahu bahasa sini dan suaranya nyaris serak karena kelelahan.

Tiba-tiba, suara-suara anjing menciut takut. Mereka menatap bocah berwajah galak yang membawa banyak kerikil pada kain bajunya. "Pergi, kalian! Dasar anjing nakal!"

Tanpa sadar, bibir Wei Ying membentuk senyuman lebar setelah menyadari bahwa penolongnya itu satu bangsa dengannya. Setelah anjing-anjing itu pergi, sang penolong berteriak padanya, "Anjingnya sudah pergi! Kau bisa turun!"

Kemudian sang penolong tersentak dan kembali mengucapkan sesuatu yang justru Wei Ying tidak mengerti dengan nama yang sama.

Dengan lincah, Wei Ying melompati dahan-dahan pohon. Saat sudah berada diatas tanah, ia membalas, "Terima kasih sudah membantu! Gunakan bahasa kita saja, aku tak mengerti bahasa disini. Namaku Wei Ying!"

Ephemeral ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang