Bab 6

132 13 31
                                    

Hari-hari berlalu. Bella merasa resah. Ia terus memikirkan apa yang harus dikatakan kepada Dimas. Sampai pada akhirnya setelah satu minggu berlalu, diputuskannya untuk memberi jawaban secara langsung. Sabtu itu kala jadwal Dimas pada siang hari kosong, Bella meminta pemuda itu untuk menemuinya setelah latihan. Sekitar satu jam menjelang berakhirnya latihan, Bella merasa tambah gelisah. Sampai-sampai ia banyak melakukan kesalahan karena sulit berkonsentrasi saat menghadapi waktu pertemuan yang semakin dekat. Jam J pun tiba. Bella mencoba untuk tenang dengan duduk santai di ruang ganti. Satu jam sudah berlalu, nggak biasanya Dimas terlambat, pikir Bella. Apakah ia memutuskan untuk nggak mau menemuiku lagi? Namun di WA, Dimas bilang bahwa ia akan datang. Bella terus berpikir. Perasaan tidak menentu ikut menghinggapinya. Tidak mau hilang.

"Bella, kok belum dijemput? Dimas biasanya sudah sampai sebelum selesai latihan, kan?" Mbak Rita mendekatinya dan duduk di samping gadis itu.

"Ya, Mbak. Aku juga heran. Mau telpon, tapi .... Nggak ah. Ntar ganggu. Dimas kan lagi nyetir," desah Bella murung.

"Yah, sudahlah. Nonton TV aja daripada manyun. Aku belum mau pulang. Mau nyantai dulu. Habis meeting dengan coach tadi." Mbak Rita menyalakan TV. Wanita berkacamata itu mencari-cari channel siaran yang menarik. "Nah, ini aja deh acara musik."

Satu lagu berakhir. Acara itu diselingi breaking news yang disiarkan secara langsung.

"Hah!" jerit Bella secara tiba-tiba sambil berdiri. Matanya menyimak berita tentang kecelakaan beruntun di area dekat tempat latihannya.

Peristiwa itu telah terjadi dua jam yang lalu. Salah satu mobil yang tersorot kamera wartawan adalah mobil silver dengan plat kendaraan yang tidak asing lagi baginya. Mobil Dimas. Kendaraan itu tampak ringsek.

Bella menahan cairan kristal yang sudah membendung di pelupuk mata. Ia mencoba untuk terus menyimak berita itu. Mbak Rita menenangkannya dengan cara mengusap punggung gadis itu. Setelah berita yang hanya lima menit disiarkan itu selesai, Bella berlari keluar ruangan. Mbak Rita mengejarnya dan berhasil menggapai tangannya.

"Kamu mau ke mana, Bella?" tanyanya.

"Aku mau ke rumah sakit yang tadi disebutkan, Mbak." Bella menghapus air matanya yang sudah mulai mengalir. Ia mencoba berpikir optimis bahwa Dimas selamat dari kecelakaan itu, walaupun mungkin terluka parah.

"Aku antar. Ayo Bella, naik mobilku sekarang!" ajak Mbak Rita sambil menggandengnya.

Mereka bergegas menuju mobil. Tak lama kemudian, mobil itu bergerak menuju rumah sakit. Sebenarnya tujuan mereka dekat. Tapi, karena jalan sangat macet akibat kecelakaan itu, membuat waktu tempuh bertambah lama.

Empat puluh lima menit kemudian, mereka berhasil sampai di sana. Setelah memarkirkan mobilnya, Mbak Rita dan Bella berlari menuju counter informasi untuk menanyakan perihal para korban. Suasana di sana sangat riuh karena keluarga para korban juga sedang berkumpul untuk menanyakan hal yang sama. Agar tidak salah memberi informasi, petugas memberikan sejumlah pertanyaan tentang orang yang yang dimaksud dan mencocokkannya dengan data yang ada. Nama Dimas termasuk salah satu korban meninggal dunia. Pecah tangis Bella mendengar jawaban petugas itu. Mbak Rita langsung memeluk tubuh Bella yang bergetar menahan emosi dari dalam dirinya. Ia pun turut meneteskan air mata. Kata-kata menguatkan dibisikkan oleh orang yang dianggapnya kakak itu.

"Sekarang gimana, Mbak?" Bella menghapus air mata yang terus mengalir di pipinya.

"Ayo, kita ke rumahnya! Kamu pernah ke sana?" Mbak Rita mengusap pipinya yang juga basah dengan air mata.

Bella menggelengkan kepalanya dengan lemah. "Nggak pernah. Namun, Dimas pernah bilang nama kompleksnya."

"Baiklah. Kita pakai Google Maps. Nanti sampai di sana, kita tanya sekuriti perumahan. Ok, Bella?" Dengan mata yang masih basah, Mbak Rita mencoba tersenyum kepada lawan bicaranya.

Hai Cantik! [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang