Bab 1 Berkunjung

11 2 0
                                    

Semua orang yang hidup di dunia ini, khususnya perempuan menginginkan hidup yang sempurna. Memiliki wajah yang cantik, tubuh yang langsing, seseorang yang sangat mencintai mereka dan hidup kaya. Tapi, kehidupan yang sempurna hanya milik dongeng. Dan,  aku tidak semuluk mereka yang memang telah hidup sempurna dari lahir. Aku hanya ingin hidup cukup dengan bahagia. Karena, dari umur tujuh tahun, sejak dibelikan buku dongeng tentang Cinderella impianku adalah hidup bahagia. Dan, seandainya saja bahagia itu ada di dalam lemari pakaianku, maka aku bisa mengambil baju kebahagiaan itu setiap harinya.
Aku duduk di depan komputer dan mulai membaca satu persatu email di inbox-ku. Namun, suara riek… riek… mengganggu telingaku. Entah kenapa kursi ini sudah tidak nyaman lagi. Lalu aku pun membersihkan debu yang menempel pada besi yang menumpunya. Aku memang harus membersihkan kamarku yang aku sendiri lupa kapan terakhir kali aku  membersihkannya. Aku mengambil pena, dan notes tempel kemudian menulis, siapa pun boleh membersihkan kamarku tanpa kecuali. Lalu menempelkannya di dinding yang penuh dengan notes tempel dan tulisan-tulisanku yang lain, seperti ungkapan kebahagiaan, kekesalan, dan pesan, yang aku sendiri lupa kapan terakhir menulisnya.
Aku kembali pada layar komputerku. Menyandarkan tubuhku ke sandaran kursi dan memandang keluar jendela menatap langit. Warna langit terlihat ganjil, biru bercampur abu-abu, seperti ingin tersenyum namun terpaksa harus menangis.
Mataku tertuju pada gambar-gambar di dinding kamar. Kemudian aku melirik kalender yang sudah kadaluarsa, tahun 2018, sudah dua tahun yang lalu, pikirku. Aku melihat tanggal-tanggal yang sengaja aku tandai disana. Tapi, tidak ada yang istimewa. Sesaat kemudian aku mengabaikannya.
Aroma masakan ibu dari dapur menyadarkanku, pertanda jika hari ini akan segera berakhir. Pun pertanda kalau aku harus keluar kamar dan membantunya, namun hatiku tak mengizinkannya. Tapi aku menyerah dan membuka pintu lalu melangkah keluar meninggalkan meja, kursi dan komputer yang masih menyala. Aku melihat ayahku menonton TV, seperti biasa tangannya mencengkeram remote, seolah remote itu akan kabur karena kehabisan oksigen dan meninggalkannya. Aku tidak menggubrisnya, ia terbatuk kecil menyadari aku keluar kamar, dan mungkin ia sedang menatap punggungku saat ini. Sekali lagi aku hanya mengabaikannya.
Aku menghampiri ibuku di depan kompor yang terlihat kehabisan gas. “Kau harus membantuku memasak setidaknya diwaktu libur seperti ini,” katanya, lalu ibu menoleh kemudian mendekatiku dan menyodorkan piring kotor. Setidaknya aku tahu apa yang harus aku lakukan, aku harus mencuci piring, mangkuk dan gelas-gelas kotor itu.
“Keluarlah dari kamarmu, Zeya!” bisiknya. Namun seperti berteriak menurutku.
“Yah, seperti ini,” lanjutnya sembari menuangkan minyak oreng ke dalam pan penggorengan. Alih-alih aku menyalakan keran air dan membersihkan piring-piring itu dari buih sabun. Sekarang ibu sedang menggoreng sosis, aku bisa mendengar suara letupan lemak dan melihat ibu menuangkan saus ke dalam pan penggorengan, aku berpikir kalau aku tidak akan bisa memasak seperti dirinya. Aromanya begitu lezat, dan terlihat indah ketika ibu menyajikannya di piring. Yah, satu-satunya keahlianku tentang dunia makanan adalah hanya memakannya.
“Panggil Ayahmu dan tanya apakah dia mau makan buah atau acar?!” ujar ibu.
“Kita punya banyak wortel dan mentimun, buat dia berminat untuk memakannya,” lanjutnya. Namun, ketika aku hendak membuka mulut terdengar suara Zola dari arah garasi, sepatu ketsnya mengeluarkan suara berdecit menginjak lantai saat dia melompat-lompat melewati gudang. Ibuku menoleh ke arahnya, tapi aku tidak.
Dia membungkuk dan berbisik padaku, “Aku tak peduli apakah kau akan berbicara padaku atau tidak.” Aku menoleh dan mendapatinya tepat di sebelah pipiku.
“Aku tahu kau cuma pura-pura tidak peduli,” katanya, lalu dia menyeringai lebar.
Ibu terkekeh mendengarnya kemudian aku berkata, “Panggil Ayah dan tanya apakah dia mau makan buah atau acar? kita punya banyak wortel dan mentimun, buat dia berminat untuk memakannya.” Aku mengulangi perkataan ibu, tapi aku tidak yakin apakah itu persis sama dengan perintah ibu kepadaku.
“Aku merindukanmu,” katanya, sembari meninggalkan dapur dan terdengar suara lompatan menuju ruang tengah.
Setelah makan malam, aku membiarkan diriku berbaur dengan mereka. Kami menonton acara TV kesukaan ayah dan ibu. Aku tidak banyak mengomentari berita yang kami tonton, tidak ada yang menarik. Berita sekarang hanya opini, sebagian memang fakta namun tanpa bukti. Bagiku dan Zola permainan akan dimulai pada hari esok. Ya, hari Minggu. Dimana semua orang sepertiku merayakan hari kebebasan. Permaian yang dimulai setelah matahari terbit sampai ia tenggelam kembali.
Aku keluar dari perkumpulan keluarga, melangkah ke kamar lalu menutup pintu. Sayup-sayup terdengar suara ayah, ibu dan Zola tertawa dan saling mengeluarkan ocehan ringan pada acara yang mereka tonton. Aku menutup mata, melipat tanganku di dada dan mulutku menyunggingkan senyum, menghela napas panjang dan menggapai komputerku kembali, dan kemudian menulis.
***

Perfect-LessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang