Bab 8 Lamaran

8 2 3
                                    

Varda menemuiku di taman bermain dekat alun-alun kota. Setelah mendiamkannya cukup lama. Akhirnya akumenerima permintaannya untuk bertemu denganku. Namun aku yang menentukan tempatnya. Tempat yang terbuka namun tetap tenang. Dulu taman ini adalah tempat kami mencurahkan perasaan masing-masing. Perasaan senang, sedih, kecewa, bangga, bahagia, dan marah. Seingatku, dulu sangat menyenangkan.
“Maaf membuatmu menunggu lama, aku mengantri untuk mendapatkan ini.” Varda membawakanku satu gelas moccacino penuh fla diatasnya, kesukaanku.
Aku mengambilnya, “Seharusnya kau tidak perlu seperti ini.” Aku meletakkan gelas moccacino itu di bangku kosong, di sampingku.
“Aku memang berniat mengajakmu untuk bertemu di tempat dan suasana yang tenang,” katanya.
“Hmmm....” Aku tahu ini hanya buaian belaka.
“Aku sudah memikirkan tentang kita.” Varda mulai berbicara lagi, melonggarkan dasi dari kerah kemejanya.
“Tak ada kita, Varda,” tukasku.
“Tidak pernah ada kita, hal terbaik yang pernah kau lakukan untukku adalah kau mengencani seorang perempuan kurus tepat di depan mataku. Mestinya aku berterimakasih karena kau telah menunjukkan itu padaku, tapi itu masih membuatku marah padamu,” lanjutku dengan sedikit menggeram.
“Aku tahu, aku tahu, aku pantas menerimanya.” Varda menarik simpul dasinya, terlihat lebih berantakan daripada yang pernah aku lihat sebelumnya.
“Itu hal paling bodoh yang pernah kulakukan,” lanjutnya.
“Begini, soal di restoran waktu itu....” Varda memperhatikan tingkahku, tetapi aku tetap tenang.
“Waktu itu aku sengaja bertemu dengannya untuk mengucapkan salam perpisahan, kau ingat, aku telah berjanji padamu untuk menjadikanmu satu-satunya dalam hidupku.” Dia melihat ke arahku, namun aku tetap tenang.
“Yang kau lihat saat itu, jika saja kau tahu Ze, itu bukan yang aku inginkan.” Varda melirikku, namun aku tersenyum seolah itu memang suatu keharusan.
“Percayalah padaku, Ze....” Varda meminta aku untuk mempercayainya, sedangkan aku sendiri sedang mengalami krisis percaya diri.
“Bisakah aku mempercayaimu setelah semua ini?” tanyaku pada Varda, mencoba menenangkannya atas apa yang akan aku putuskan saat ini.
“Dengar, aku serius.” Varda merogoh saku mantelnya, dan menyodorkan sebuah kotak padaku.
“Ini bukti keseriusanku.” Dia perlahan membuka kotak itu. Tapi dia berhenti ketika mendengar ucapanku.
“Itu bukan cincin kan?” tanyaku.
“Ya,” kata Varda. Jadi dia membuka keseluruhan kotak itu. Di dalamnya ada sebuah cincin kecil berwarna perak berhiaskan permata kecil di depannya.
Kemudian Varda berlutut di depan kakiku. Menyodorkan cincin itu, memperliatkannya padaku, jelas aku melihatnya, dan aku yakin orang lain di sekitarku juga melihat itu.
“Kau melamarku?” tanyaku setengah kaget, melihat sekeliling memastikan jika semua orang tidak melihat kami dan akan sibuk dengan kegiatan masing-masing.
“Ya, aku melamarmu saat ini, di sini, jangan bilang kau tidak ingat taman ini. Ini taman kita, Ze,” kata Varda beringsut lebih dekat di depanku, Varda terdengar mengeraskan suaranya, sehingga aku yakin semua orang bisa mendengarnya kali ini.
“Setelah menikah, kehidupan kita akan sangat indah, Ze. Aku tidak keberatan jika kita akan segera memiliki anak, kita bisa – “
Aku memotongnya, “Aku tak ingin anak....” Aku tidak melanjutkan kalimatku, berpikir sejenak untuk merangkai kata-kata yang cocok untuk dilontarkan.
“Tentu saja kau ingin anak,” tukas Varda.
“Kau dilahirkan untuk menjadi Ibu.”
“Maksudku belum,” kataku menatap ke arah cincin itu.
“Varda, ini bukan jenis lelucon yang bisa membuatmu senang hari ini. Pernikahan adalah hal yang sangat serius, bukan hal coba-coba bahkan main-main seperti yang kau pikirkan saat ini.”
“Aku tahu kau mencintaiku,” katanya masih dengan posisi berlutut. Cincin itu masih di dalam kotaknya, di atas tangannya.
“Kau tahu, hatiku bukan sakelar yang bisa kau hidupkan dan matikan sesukamu.” Aku mencoba setenang mungkin dihadapannya, meskipun aku ingin sekali mencakar wajahnya ketika dia menampilkan wajah memelasnya.
Aku tidak ingin dikendalikan oleh cintanya, hanya aku dan hanya boleh aku yang bisa memegang kendali atas hidupku.
Sepertinya Varda merasa sia-sia atas apa yang telah ia lakukan, berlutut. Dia berdiri lagi, dan duduk tepat di sebelahku. Menyimpan kotak cincin itu di tengah-tengah kami.
“Ze, aku tahu kau berhubungan dengan Yoka.”
“Oh ya?” ujarku dan membatin, dasar kau buaya busuk mengenaskan, kau masih menuduhku berhubungan dengan orang lain sementara kau bercumbu dengan perempuan lain?
“Mestinya kau jangan berhubungan apa pun dengannya,” ujar Varda, kali ini dia terlihat serius.
“Jangan pernah lagi.”
“Kenapa? Dia laki-laki yang baik,” kataku.
“Kau tidak tahu apa sebenarnya niat Yoka.”
“Tentu saja aku tahu,” ujarku meski sebenarnya aku tidak tahu pastinya niat apa itu, aku pun menyeruput moccacino-ku.
“Kau tidak tahu, dia bisa melakukan apa saja.”
“Begitulah kesan yang kudapatkan.” Aku menyusupkan tanganku ke saku mantel.
“Ze, kau tidak serius menanggapiku,” kata Varda menoleh ke arahku, menatap mataku tajam.
“Astaga, tidak,” tukasku berdiri.
“Aku belum ingin menikah, bukan, aku tidak ingin menikah denganmu.” Aku membungkuk membawa gelas moccacino-ku. Dan pergi. Meninggalkan Varda sendiri dengan kotak cincin di sampingnya.
***

Perfect-LessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang