Bab 4 Janji

5 2 0
                                    

Tris merengut ketika akhrinya aku menanyakan apa dan kemungkinan siapa itu Bilham. Kami bertiga berkumpul di cafe Kis, aku menyerah dan setuju untuk bertemu di sana, dan aku terlambat beberapa menit.
“Sebenarnya kau mencintai Varda atau tidak?” tanya Tris.
Aku tidak berpikir panjang, “Apa hubungannya dengan apa yang aku tanyakan?”
Winny mengernyit mencoba mengingat sesuatu. “Mungkin tidak ada hubungannya dengan itu, tapi bagaimana dengan Varda?”
Winny tampak terkejut, “Mungkin saja,” kata Winny.
“Tepat sekali, jika kau mencintainya kau pasti akan mengingat apa itu Bilham.”
“Aku mencintainya,” pekikku hampir terdengar membentak.
“Mencintai Bilham?” tanya Winny membelalakkan matanya.
“Varda,” ucapku lemah.
Tris memutarkan matanya ke kiri dan ke kanan “Memangnya siapa itu Bilham? Kenapa kau penasaran tentang itu?”
“Kau tahu...,” kata Winny sambil memutar-mutarkan sedotan minumannya sehingga berbusa.
“Bilham yang dimaksud Ze itu adalah tamu istimewa yang diundang Bos kami ke perusahaan...,” lanjutnya. Kemudian, menyedot minumannya.
“Dan, Ze, mengacaukan semuanya.” Winny berhenti sampai disitu.
“Oh....” Tris terlihat kaget.
“Astaga!” lanjutnya dengan menangkupkan tangannya di atas kepalanya.
“Sungguh?” tanyanya penasaran.
“Sebenarnya tidak seperti itu,” sergahku.
Aku menengadah mencari suatu kalimat yang pas untuk menjelaskan semuanya.
“Lalu?” Winny penasaran.
“Aku hanya mengenalinya beberapa waktu yang lalu, dan itu sungguh adalah perkenalan yang buruk.”
“Kemudian dia balas dendam, begitu?”
“Tidak, tidak, tidak ada balas dendam.”
Winny mendesak kesimpulan yang jelas, “Jadi?”
“Aku hanya canggung, dan salah tingkah.”
“Jelas posisimu adalah kau punya kesalahan terhadapnya, atau dirinya kelewat tampan dan mempesona untukmu.”
“Atau kedua pilihan itu benar adanya.” Winny menyimpulkan sepihak. Menyedot minumannya lagi tapi tidak sampai habis.
“Oke semuanya benar, kalian benar.” aku ingin segera terbebas dari semua tuduhan.
“Kembali pada topik utama kita, apa yang kau tahu tentang Bilham?” tanyaku sesaat setelah mengakhiri semua tuduhan yang ditujukan padaku.
“Kau tidak tahu sama sekali atau kau tidak bisa mengingatnya?” Tris membuatku bingung dengan pertanyaan yang dijawab pertanyaan.
Aku mencomot acar sosis yang dicampur mayonnaise, memejamkan mata, kemudian menggelengkan kepala.
“Ayolah, Ze!” perintah Winny menyemangati.
“Aku sama sekali tidak ingat, bahkan mungkin tidak tahu...” Mungkin kelihatannya seperti menyerah sebelum berperang, tapi sungguh aku tidak bisa mengingatnya.
“Baiklah, coba tanyakan itu pada Varda...,” tukas Tris akhirnya.
“Aku yakin dia akan memberitahumu dengan mudah.” Tris menambahkan.
“Aku tidak yakin kau sahabatku,” seruku kesal.
Semuanya tertawa terbahak, kecuali aku. Dahiku merengut kemudian ikut tertawa meringis.
“Oke, Bilham, kau tahu, Bilham itu nama perusahaan tempat kekasihmu bekerja.” Tris memberitahuku.
“What?”
“Oh.. My.. God!” seru Winny yang sama terkejutnya denganku.
Tris mengangkat kedua tangan sampai ke atas bahunya menggambarkan ungkapan terserah jika kau tak percaya, tanpa suara.
“Bilham Design Advertisement,” kataku lirih menyebutkan perusahaan tempat Varda bekerja.
“Wow... Amazing!” ungkap Winny mempercayainya.
“Mungkinkah laki-laki itu pemiliknya?” tanyaku pada Tris si serba tahu.
“Itu pasti,” dengan ketidaktahuannya, Winny menjawab dengan tegas.
“Semua kemungkinan bisa terjadi, Ze...,” tandas Tris.
“Ya Tuhan....” Aku meletakkan kepalaku ke meja. Mencoba mengingat kembali pertemuan dengan laki-laki itu sampai kemarin saat dia meminta tas yang secara tidak sengaja terbantingkan pada wajahnya.
Aku mengangkat kepalaku melihat ke sekililing, memastikan apa yang diucapkan Tris benar-benar nyata. Aku melihat si kasir, Kis, memperhatikan meja kami, tepatnya memperhatikanku. Apa yang aneh dariku? Apa dia mengenaliku?
Mataku kembali pada Tris dan Winny. Sesekali mencuri pandang ke arah Kis yang ada di kasir. Masih memandang ke arah kami.
***

Ketika aku pulang ke rumah, Varda sudah menungguku di kursi depan. Dia memberikan seulas senyum ketika aku melihatnya. Dengan enggan aku membuka pintu, kemudian Varda mengikuti di belakang.
“Bagaimana kabarmu?” tanyanya setelah menyimpan jaketnya di tiang gantungan, seperti biasa.
Aku mendengar tapi tidak menjawabnya. Pocky mengeong dan memutar-mutar pada kakiku.
“Bagaimana pekerjaanmu?”
“Apa ada yang menyusahkanmu?”
“Jawab aku?” katanya dengan nada bertanya.
Aku menoleh kearahnya, mataku yang berbicara, mengkonfirmasi apa yang dikatakannya.
“Jawablah, Ze!” ulangnya dengan nada perintah namun terdengar seperti memelas.
Aku masih bungkam. Memberi makan Pocky adalah satu-satunya alasanku untuk tetap tidak menjawab pertanyaannya. Kemudian aku menyibukkan diri mencuci piring dan tanganku di wastafel.
Aku mendengar TV dinyalakan. Dan tidak mungkin Pocky yang melakukannya.
Aku menerawang mungkinkah laki-laki itu Bosnya Varda?
Terkejut ketika seseorang menepuk bahuku dari belakang.
“Ze....” Varda memanggil namaku dari samping, menyandarkan bahunya ke lemari.
“Aku bertanya padamu.”
Varda mendekapkan tangannya ke dada.
“Ya, apa?”
“Kau tidak menjawabku, bahkan sekarang kau bertanya apa?”
“Oke, aku tidak baik-baik saja, pekerjaanku kurang baik, dan ada yang menyusahkanku kemarin.” Aku menjawab semua pertanyaannya dengan jujur atas keadaanku saat ini.
“Apa yang terjadi?” Varda menggiringku ke kursi depan TV. Menepuk-nepuk kursi dengan tangannya.
“Kemarilah!” ajaknya.
“Ceritakan semuanya!” lanjutnya tidak sabar ingin mendengar ceritaku.
Aku menggelengkan kepala, tidak mau menjelaskan bahkan bercerita apa pun saat ini.
“Oh... Tuhan, sampai kapan kau akan seperti ini?” kata Varda terdengar menggeram, giginya menggertak sesaat setelah selesai menyelesaikan kalimatnya.
“Sampai aku bosan dengan keadaan seperti ini,” elakku mencoba berdamai dengan situasi tanpa banyak berkata.
“Oke, sekarang aku tidak ada hubungan apa-apa dengan wanita itu....”
“Teruskan”
“Bahkan aku meminta Bos untuk memecatnya,” lanjut Varda meyakinkan aku dengan memegang tanganku.
Bos? Bosmu yang bernama Bilham maksudnya?
“Bos? Siapa Bosmu?”
“Kau tidak akan mengenalnya.”
“Oke, cepat selesaikan jika kau bisa.” Aku memujinya jika Varda memang akan melakukan apa yang dia katakan.
“Aku sudah malas mendengar kau terus merengek,” tukasku memotivasinya jika memang itu yang akan ia lakukan.
“Apakah itu semacam motivasi untukku?”
“Itu keluhan.”
“Baiklah, aku anggap itu sebagai motivasi untuk menyemangatiku....” Dia tersenyum.
“Dan, hubungan kita akan menghangat kembali.”
“Terserah....”
“Kau tahu, aku sangat yakin hubungan kita akan membaik dan meningkat setelah keadaan ini selesai.”
“Yakinilah....” Aku berdiri dan kembali ke dapur, menyalakan keran agar terlihat sibuk.
Varda mengikutiku, memelukku dari belakang.
“Dengar...,” katanya.
“Mulai saat ini aku pastikan kau akan terus mendengar aku mengucapkan ini....” Aku berusaha keluar dari rangkulannya.
“Aku sangat sangat sangat mencintaimu dan ingin memilikimu.” Kemudian mengecup rambutku.
Aku menutup mataku mencoba mengembalikan kesadaranku, aku menggeleng dan perlahan melepaskan pelukannya.
“Varda....”
“Ze....”
Aku berbalik, dia menatapku, dan aku menatapnya. Dia laki-laki yang sangat tidak baik dulunya, dan mungkin aku ikut berkontribusi mengubahnya menjadi laki-laki yang penurut dan baik hati. Tapi entah kenapa aku merasa dia akan kembali pada sosok Varda yang dulu yang terdengar seperti kebiasaanya. Dia sering mempermainkan wanita, juga punya kekasih yang menumpuk, dia bahkan raja segala raja clubbing, dia juga pecandu rokok dan alkoholic.
Ketika menatapnya, perasaan iba muncul. Aku sungguh ingin meyakininya juga, mempercayai perkataannya, namun hanya sebatas ingin yang pada kenyataannya adalah tidak.
Mungkinkah perasaan suka, sayang, dan cintaku terhadapnya mulai memudar?
Varda mendekatkan wajahnya, mencondongkan tubuhnya kepadaku, mencoba menciumku. Aku segera memalingkan wajah sehingga bibirnya hanya menyentuh pipiku. Kemudian dia mengecupnya. Dia menjauhkan kembali wajahnya yang hanya berjarak beberapa senti di depanku.
Varda melangkah mundur, mungkin menyadari apa yang aku rasakan saat ini.
“Aku harus pergi,” ucapnya ketika meninggalkan dapur.
“Ya, pulanglah!” Aku mengangguk. Varda melangkah melewati kamarku dan ruang ruang tamu.
“Ze....” Varda membalikkan badan.
“Kumohon, percayalah padaku.”
“Aku mencoba,” tukasku ketika mengantarnya ke halaman, berjalan di belakang menuju mobil miliknya.
Varda mencoba meminta dukungan dariku dengan meraih tanganku. Aku membiarkannya.
“Istirahatlah!” Aku menghimbau padanya, dan membuka pintu depan mobil Varda. Kami saling memandang dalam keheningan yang bersahabat.
Varda masuk ke dalam mobil dan duduk di belakang setirnya. Aku memandang mobil itu hingga menghilang di belokan.
***

Aku menunggu laki-laki itu sebelum waktu tepatnya tiba. Aku tidak tahu tepat pukul berapa aku turun dari bis. Aku hanya tahu, hari itu hari Minggu dan senja akan berakhir. Jadi aku menunggunya kira-kira pukul tiga.
Biasanya, aku duduk di halte adalah untuk menunggu bis yang tepat untuk menaikinya. Dulu, aku berpikir menunggu di halte seperti ini adalah seperti aku menunggu seseorang yang benar-benar tepat untuk memilikinya, dan sekarang aku benar-benar mengalaminya, tapi bukan untuk memilikinya. Tepatnya adalah dia akan memiliki tas kesayanganku yang menjadi tas kesialanku semenjak hari bertemu dengannya.
Berkali-kali aku melirik jam tanganku dan langit yang memayungiku. Sudah dua jam aku menunggunya, dan kini senja mulai menghilang.
Aku memutuskan untuk pulang yang hanya menempuh jarak tiga ratus meter dari sana. Tapi tiba-tiba sebuah mobil memepet langkahku. Aku terjebak.
Seseorang turun dari kursi kemudi dan menghampiriku.
“Apakah kau tidak ingat kapan kau turun dari bis hari itu?” tanyanya di depan mataku.
“Bilham?”
“Kenapa kau memanggilku dengan nama belakangku?”
“Aku....” Aku terbata, apa yang menjadi dasar bagiku sampai memanggilnya seperti itu?
“Aku hanya menyukainya,” jawabku akhirnya.
“Ugh... kau menyukai nama Bilham?”
“Ya.”
Dia tersenyum, matanya menyipit, pipinya merona dan ada satu hiasan lesung pipi di sebelah kanannya.
“Kau belum menjawab pertanyaanku.”
“Aku sudah menjawabnya,” elakku dengan gusar, aku tidak tahu akan secanggung ini.
“Kau tidak ingat tepat pukul berapa kau turun dari bis?” Dia mengulang pertanyaannya dengan kalimat yang berbeda.
“Siapa yang akan mengingat hal sepele seperti itu?” tanyaku, memberikan seulas senyum.
“Aku mengingatnya.”
“Ya, jelas sekali...,” kataku.
“Menggambarkan kau memang telah merencanakan ini dari awal,” lanjutku sembari memperhatikan sekeliling. Aku mendengus kesal melihatnya terus tersenyum ke arahku.
“Pendek sekali pikiranmu,” tampiknya.
“Aku tidak tahu, itu hanya pikiran picikku saja.”
“Jangan jahat padaku.” Tangannya menyentuh kap mobil.
“Kenapa?”
“Kau tidak tahu, kita akan sering bertemu setelah ini,” kata laki-laki itu enteng.
“Apa?”
“Aku tidak tahu, kau punya masalah dengan pendengaran.”
“Bukan itu maksudku, kenapa kita akan sering bertemu?”
“Jelas tadi kau bertanya apa, seperti kau ingin aku mengulangi ucapanku.” Dia tersenyum meremehkan, namun tetap terlihat manis.
“Kau seharusnya langsung bertanya kenapa, bukan apa,” lanjutnya terus mempereteli-ku dengan kata-kata yang tidak penting.
“Yah, apa pun itu,” tukasku mempersingkat keadaan.
“Tapi kenapa?” Aku bertanya sambil mendekap dadaku sendiri.
“Karena kita akan sering berbisnis di kantormu.”
“Ugh... aku tidak yakin Bos akan mengizinkannya....” Aku memberikan tanggapan untuk melemahkannya.
“Dia jarang sekali mengizinkan kami karyawannya bertemu orang-orang penting sepertimu.” Aku menambahkan agar dia menyerah mempermainkanku.
“Aku tidak berniat bertemu karyawan lain, aku hanya ingin bertemu denganmu.”
“Baiklah, terserah.”
“Okkey....” Menekankan hurup K sehingga terdengar meyakinkan. Sesaat setelah itu, aku melihatnya memasukkan kedua tangannnya ke saku celana.
“Begini, mungkin di kantor aku akan sangat sibuk, jadi kau tidak punya waktu untuk bermain-main denganku.”
“Siapa bilang aku akan bermain-main denganmu?”
“Aku hanya menebak,” elakku memicingkan alis.
“Tebakanmu seratus persen salah.” Dia menyandarkan punggungnya ke sisi kiri mobil.
“Lalu?”
“Aku sudah bilang, kita akan berbisnis.”
“Bisakah kau percepat saja?” Aku mengembalikan pembicaraan pada tujuan awal pertemuan kami.
“Naiklah, aku akan mengantarmu pulang.” Dia menegakkan kepalanya. Membukakan pintu mobil.
“Aku akan berjalan saja, rumahku hanya beberapa ratus meter dari sini.”
“Masih akan memakan waktu lama, cepatlah, kalau tidak....”
“Apa? Kalau tidak, apa?” tanyaku terdengar mendesak, tanganku masih aku silangkan di depan dada.
“Kalau tidak, kita janjikan lagi pertemuan seperti ini minggu depan.” Tangannya masih memegang pintu mobil.
“Baiklah, setelah ini kita selesai.”
“Menurutmu?” Matanya terus bermain-main denganku. Dan aku tidak begitu menyukainya.
***

Perfect-LessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang