“Apa kita akan berhasil?” Aku memulai pembicaraan saat Mr. Sam keluar dari toilet.
“Aku sekarang takut pergi ke toilet,” rengek Mr. Sam dengan suara lirih.
“Apa kata sutradara Leo mengenai iklan ini?” lanjut Mr. Sam mengakhiri keluhannya.
“Dia menunda-nunda kontraknya, sepertinya dia meminta uang lebih,” ungkapku menjelaskan garis besarnya.
“Kita tidak bisa menaikkannya lagi. Usahakan selesaikan dengan harga itu.”
“Bahkan orang itu belum terlihat di kantor siang ini.”
“Siapa?” tanya Mr. Sam, mendekatkan wajahnya. Terlihat menua jika dilihat dari dekat.
“Maaf, maksud saya orang yang mendanai untuk mempromosikan iklan ini.”
“Dia sedang menangani urusan lain, setelah makan siang nanti, kau harus menemuinya.”
“Apa?” Mataku hampir keluar dari kelopaknya.
“Akan kukirimkan alamatnya lewat SMS,” katanya sambil berdiri, duduk di mejanya dengan kedua tangan disakunya.
“Ya, Bos.” Aku menuruti perintahnya.
“Kau sudah menyiapkan skenarionya? Aku harus segera membacanya,” tanya Mr. Sam mengingatkanku betapa banyak pekerjaan yang harus aku lakukan semenjak orang itu datang.
“Saya harus mendiskusikannya lagi dengan sutradara Leo,” tukasku membuat alasan.
“Kau harus membereskannya sekarang ini, jika tidak, kapan aku punya waktu untuk membacanya?”
Kapan aku punya waktu untuk mengerjakannya? Ini bukan tugas karyawan perusahaan keuangan, pikirku.
“Apa ini tugas perusahaan keuangan?” tanyaku pada Mr. Sam.
“Jika kau akan melakukan hal seperti itu, tolong diskusikan dengan kami,” lanjutku mengabaikan jika aku akan dimarahinya setelah ini.
“Itu sebabnya aku sedang mendiskusikannya denganmu sekarang,” bentaknya namun tidak terdengar marah.
“Bos tidak hanya punya saya, Bos punya banyak karyawan lainnya.” Ungkapku mengeluarkan kekesalan.
“Kau satu-satunya karyawan yang bisa aku andalkan,” katanya.
“Ugh....” Aku memejamkan mata, mengangguk-angguk mencoba menetralisir atas semua yang dikatakannya.
Aku keluar dari ruangannya dengan lemas, kembali ke mejaku dengan langkah gontai. Kali ini bukan kata-kata motivasi yang keluar dari mulut Mr. Sam. Kau satu-satunya karyawan yang bisa aku andalkan, kalimat itu terngiang-ngiang di telingaku. Jelas kalimat itu sangat membebaniku.
Ponselku berdering, sudah dua hari ini aku mengabaikan panggilan Varda bahkan menghindarinya. Saat ini aku sedang menyibukkan diri dengan pekerjaan baruku dan sebentar lagi aku akan melupakannya.
Tepat setelah jam istirahat makan siang selesai, aku menerima SMS dari Mr. Sam mengenai tempat keberadaan orang itu berada. Sebuah restoran terkenal di pusat kota, tidak akan sulit mencarinya.
Aku memarkirkan mobil tepat di bawah lampu besar pinggir jalan. Berjalan dengan langkah panjang menuju restoran yang dituju, Heavy Eat. Aku mencari sesosok Bilham diantara kerumunan orang yang sedang melahap makan siangnya. Yes! aku menemukannya, lebih cepat lebih baik.
Aku menghampirinya, dengan berkas yang aku dekap di depan dada.
Mengeluarkan kursi dan langsung mendudukinya. Ponselku terasa bergetar di dalam saku blezerku. Aku mengabaikannya.
“Ayo laksanakan ini dengan cepat, aku harus mengerjakan pekerjaan lain di kantor, belum lagi skenario yang harus aku buat untuk iklan ini.” Aku memutuskan untuk berterus terang dengan nada kesal.
“Santai, kita harus makan siang terlebih dahulu, aku yang membayar,” ajaknya dengan wajah tersenyum. Oh My God! kenapa dia harus tersenyum?
Ponselku bergetar lagi, aku merogoh ke saku dan melihat layar, Varda, lagi-lagi dan untuk kesekian kalinya. Raut wajahku terlihat sedang tidak bersahabat, aku memberengut menyimpan lagi ponselku.
“Angkat dulu teleponmu sebelum kita makan,” katanya mendongakkan kepala, matanya menangkap layar ponselku. Aku menggeleng, ragu.
“Tidak perlu,” tolakku akhirnya.
“Kita pesan saja.” Bilham membaca menu, matanya bergerak ke atas dan ke bawah bahkan terlihat berputar.
Aku sudah menyelesaikan makan siangku di kafetaria sekitar kantor, tapi menolak tawarannya untuk makan enak di restoran mewah? Rasanya tidak mungkin.
“Pesanlah!” Bilham menyodorkan buku menu.
Aku meneguk ludah sendiri, Bilham tersenyum di depanku, mungkin dia melihatnya.
Aku memilih seafood, rebusan ayam dengan mentega, salad tanpa mayones, dan satu gelas strawberry shake with sugar ice tea.
Lagi-lagi Bilham menatapku lalu tersenyum. Masa bodoh dengan berat badanku, pikirku.
“Kau sungguh akan memakan habis semuanya?” tanya Bilham terheran dengan semua pesananku.
“Tentu saja, kenapa? Kau berubah pikiran untuk tidak membayarnya?”
“Oh tidak, bukan begitu, hanya saja....” Bilham menggantungkan kalimatnya. Aku memelototinya, menyuruhnya untuk segera melanjutkan kalimatnya.
“Hanya saja tubuhmu tidak menampilkan itu.”
Aku mengernyitkan dahi. “Aku memang gendut, karena aku suka makan.”
“Bukan itu maksudku....”
“Lalu?” tanyaku penasaran.
“Tubuhmu terlihat biasa tapi cara makanmu luar biasa.” Bilham terkekeh dengan ucapannya sendiri.
Aku tidak menampilkan ekspresi apa-apa sekarang, entah senang atau kesal, aku tidak tahu pastinya. Karena, selain Tris dan Winny ada satu orang lagi yang tidak melihat betapa memalukannya tubuhku. Setidaknya itu yang dipikirkan Varda dan ibuku.
Makanan datang, aku sungguh tidak sabar untuk melahapnya. Semuanya terlihat lezat dan dengan platting yang indah, aku sampai tidak rela merusak keindahannya. Tapi apa boleh buat, makanan memang diciptakan untuk dimakan.
Makanan itu aku lahap dengan cepat, dan habis dalam sekejap. Aku tidak pernah mengabaikan makanan terlalu lama.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Perfect-Less
ChickLitThe perfection is living by your own standards, not your mother's or anyone else's Orang-Orang disekelilingku selalu menginginkan hidupku yang sempurna. Ibuku dengan pernikahanku, kekasihku dengan berat badanku, dan Bosku dengan pekerjaanku. Mereka...