“Ini tas yang kau inginkan.”
Bilham menerima tas itu, dia mengaduk-ngaduk seperti mencari sesuatu didalamnya.
“Kau yakin tidak meninggalkan sesuatu didalamnya?” tanyanya masih mencari entah apa sesuatu itu,
“Tentu saja tidak...,” geramku, terlihat sekali dia mencoba mempermainkanku.
“Dan, kau boleh memilikinya.” Aku memutuskan untuk memberikan tas itu padanya, lagipula aku mempunyai banyak tas kesayangan.
“Oh terima kasih, aku tersanjung.”
“Sama-sama dan semoga luka di pelipis matamu segera membaik.”
“Terima kasih lagi.”
Aku hendak membuka pintu mobil penumpang, ingin turun dan secepatnya menghilang dari hadapan laki-laki itu.
“Sebentar, akan kubukakan,” katanya segera keluar dari kursi kemudi.
Dia berlari menjangkau pintuku, aku melihatnya dari dalam mobil.
“Kau seharusnya tidak melakukan ini,” kataku tersanjung.
“Tapi terima kasih.” Aku memberikan senyum padanya, kali ini mungkin senyum yang terlihat cantik.
“Aku hanya bersikap sopan,” katanya.
“Mungkinkah aku harus membalas dengan secangkir kopi?” Aku menanggapinya dan berharap dia menolakku dengan sopan.
“Oh, tentu saja.” Dia menerima tawaranku dengan mata berbinar. Kenapa aku menawarkannya kopi? Aku terjebak.
Aku mencari-cari kunciku di dalam tas, mengulur waktu agar dia membatalkan keinginannya menerima tawaranku.
Bilham terlihat menunggu di kursi depan rumah. Tangannya memutar-mutar vas bunga yang terbuat dari bambu. Aku tidak tega melihatnya.
“Oh, akhirnya aku menemukan kunciku.” Aku memperlihatkan kunci, tampak senang.
“Baguslah....” Bilham tersenyum lega.
Aku memutar kenop kunci, kemudian pintu terbuka.
“Masuklah!”
Bilham tampak melihat-lihat kondisi rumahku. menerawang ke langit-langit, mengusap dinding, melihat fotoku yang tergantung di sana, dan membelai fotoku bersama Varda, dia tidak terlihat kaget, dia hanya tersenyum.
“Duduklah di sana!” Aku menunjuk pada kursi tamu, tapi dia mengekorku menuju ruang tengah. Terlihat Pocky sedang meringkuk di atas kursi, yang berada di depan TV. Bilham mencoba membangunkannya dengan memainkan ekornya. Tapi Pocky tetap terjaga, dia masih menikmati kepulasannya.
Aku memanaskan air, dan menyeduhkan kopi untuknya. Samar-samar terlihat Bilham mengelus-elus bulu Pocky sampai Pocky merubah posisi tidurnya.
Aku menghampiri Bilham dan menyerahkan kopi ke tangannya.
“Kopinya masih panas,” ujarku.
“Ya, kopi akan terasa nikmat hanya dengan menyesap asapnya.” Dia memberitahuku.
“Aku baru tahu, padahal aku pecinta kopi.”
“Kelihatannya kau belum menjadi coffeholic.”
“Kenapa kau berpikir seperti itu?”
“Aku coffeholic.”
“Begitu, ya?” tanyaku. Aku menyesap aroma moccacino-ku. Rasanya memang menyegarkan. Bukan menyegarkan dalam arti sebenarnya, namun dalam sekejap otakku meregangkan kerutan-kerutannya.
Kalau seandainya kopi itu adalah pantai, aku sudah tenggelam didalamnya.
“Begitu nikmatnya?” tanya Bilham mengagetkanku.
“Ehemm....” Aku mengangukkan kepalaku.
“Kau memelihara kucing?”
“Sebenarnya ya, tapi kebanyakan temanku tidak menyukainya.”
“Termasuk kekasihmu?” tanyanya menekan kata kekasih di bibirnya.
“Apa?” tanyaku, bukan maksud ingin dia mengulangi pertanyaannya.
“Kau tahu....”
“Sebenarnya, ya.” Kemudian aku membungkam.
“Kucing itu obat anti stres.”
“Tepat sekali, tapi lebih dari itu bagiku.”
“Terlihat dari kau mengizinkannya tidur di kursi dan membiarkannya menonton TV di sini.” Lagi-lagi Bilham mengelusnya.
Dia terkekeh dan aku tertawa.
Aku melirik Pocky di sebelah Bilham, dia tampak tersenyum dalam tidurnya. Mungkin dia menyadari ada yang mengerti dirinya, selain majikannya yang telah hidup dua tahun bersamanya.
Semacam sihir, aku bisa begitu nyaman dengan seseorang yang asing bagiku. Masing-masing dari kami tidak terlihat canggung, namun sesekali ada perdebatan dalam mengkomunikasikan sesuatu.
“Mr. Sam sangat mengerti karyawannya.”
“Menurutku juga begitu, ketika kami melakukan kesalahan, dia akan menasihati kemudian memotivasi kami, dan dia akan menceritakan banyak pengalamannya,” kataku setuju atas pernyataannya tentang Mr. Sam.
“Terdengar membosankan kadang-kadang jika harus sering mendengar dia menceritakan pengalamannya secara berulang-ulang,” lanjutku sedikit mengeluh.
“Aku menyukainya...,” balas Bilham.
“Semacam vitamin yang bisa mengembalikan semangat kerjaku.”
“Yah, kau memang gila kerja.”
***
![](https://img.wattpad.com/cover/250181459-288-k457719.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Perfect-Less
ChickLitThe perfection is living by your own standards, not your mother's or anyone else's Orang-Orang disekelilingku selalu menginginkan hidupku yang sempurna. Ibuku dengan pernikahanku, kekasihku dengan berat badanku, dan Bosku dengan pekerjaanku. Mereka...