Bab 2 Seseorang

5 2 0
                                    

Aku tidak bermaksud menyimpulkan kalau dunia ini kejam, aku hanya menuruti aturan. Seperti halnya saat ini, aku sedang berdiri di antrian minuman, menyilangkan tangan di dada dan menggesek-gesekkan kaki kiriku ke lantai, menunggu. Ada saatnya ketika semua yang aku inginkan tidak dapat kuraih secepat menenggak minuman kaleng.
Setelah giliranku, aku berbicara pada kasirnya. Memesan untuk dibuatkan satu cup moccacino dengan fla yang banyak diatasnya.
Aku kembali kepada teman-temanku, yang memandangiku dari meja pengunjung.
“Bagiku, hubunganku dengan Varda tidak ada kemajuan,” kataku sesampainya di meja. Aku bisa merasakan pikiran teman-temanku yang membisikkan pikiran negatif kepada satu sama lainnya.
“Sayang sekali,” tukas Winny, lalu kembali mengaduk-aduk minuman miliknya. Terlihat lebih rileks setelah dia menyunggingkan senyumannya, walaupun aku tahu itu terpaksa.
“Dia akan terlihat kacau kalau kau memutuskan sepihak,” ucap Tris bersandar pada kursi kayunya. Rambutnya di potong pendek seperti laki-laki dan berponi warna merah kali ini. Pekerjaannya sebagai asisten pengarah produksi di salah satu Production House, membuat gaya hidupnya sedikit nyentrik, dan lebih menonjolkan sisi maskulinitasnya walaupun sebenarnya dia adalah seorang perempuan.
Minumanku datang, dan aku menyesapnya.
Varda takkan menerima jika harus berakhir seperti ini, pikirku menimbang.
Aku lelah harus mengerti dirinya, yang sering merengek meminta perhatian, yang selalu main perempuan dan dia belum mengerti kalau aku mulai berpikir dewasa. Terakhir aku berkomunikasi dengannya adalah ketika pesta ulang tahun pernikahan Winny dan Dick, suaminya, dua minggu yang lalu.
“Aku tidak suka sikap acuh tak acuhmu,” kata Varda waktu itu.
Aku bisa saja menikamkan pengaduk strawberry jam ini ke jantungnya. Seperti dia tidak begitu saja, pikirku. Tentu saja aku takkan melakukannya. Pengaduk minuman itu terbuat dari plastik dan ujungnya sama sekali tidak seruncing celurit yang biasa petani pakai untuk memotong padi.
“Dan, aku tidak tahu kenapa kau bersikap seperti ini akhir-akhir ini,” sambung Varda seperti menggeram, menahan kemarahannya.
Mungkin Varda tidak menyadari kalau dirinya kekanak-kanakan di usia tiga puluh tahunnya, panggilannya adalah Varda si penakluk perempuan.
Aku melihatnya marah tapi Varda tidak menyadari kalau dirinya sedang marah. Setidaknya aku membiarkan ketenangan dan kedewasaan meliputi hati dan pikiranku. Aku tersenyum, berharap senyuman itu dapat menenangkan hatinya juga.
“Kau memang tidak pernah memperhatikanku,” protes Varda ketika tak ada suara bahkan satu patah kata pun keluar dari mulutku.
“Tenang Var....” Aku mendekatkan wajahku pada wajahnya. Hanya berjarak satu senti sehingga aku bisa mencium aroma rambutnya.
“Aku menyesal Ze...,” kata Varda, yang jelas hanya basa-basi.
Aku bersedekap di atas blezer abu-abu agar terlihat tenang. Saat itu aku teringat betapa bodohnya aku mencintainya, bahkan aku mengetahui kalau aku diduakan dengan teman sekantornya dari departemen pemasaran, hanya karena dia perhatian, penurut dan langsing tentunya. Saat itu aku mengacuhkannya karena dia bisa mendapatkan siapa saja di dunia ini jika hanya ingin sebuah perhatian. Aku sudah muak dengan caranya tebar pesona kepada semua perempuan.
“Apakah ini karena aku jarang mengirim SMS bahkan meneleponmu?”
“Bukan begitu.” Varda terlihat tulus dan terpukul, seperti yang sering ditampilkan pria tinggi modis berkulit putih di sebuah video klip.
“Kau sama sekali tidak berusaha meningkatkan hubungan kita, yang artinya....”
Yang artinya kita sudah dua tahun berhubungan dan aku masih belum membicarakan sesuatu yang mengarah ke jenjang yang lebih serius. Come on, aku seorang perempuan. Aku menunggu seorang laki-laki memulai pembicaraan itu. Sayang sekali laki-laki seperti Varda tidak menggunakan kesempatannya dengan baik.
Aku tidak menggubrisnya dan malah memperhatikan kerumunan orang yang asyik mengobrol di sekeliling Winny.
“Dan, kupikir, seandainya hubungan kita punya masa depan, mestinya kau ikut andil dalam merencanakan hubungan ini ke tahap selanjutnya,” kata Varda.
“Tentu saja hubungan kita mempunyai masa depan, Varda...,” kataku mencoba mendinginkan kemarahannya. Kalau saja kamu tidak bermain api denganku. Lanjutku dalam hati. Alih-alih berkata jujur, aku malah membodohinya, “Kita punya rencana membangun bisnis bersama, menyatukan teman-teman kita jika perlu, karena kau tahu, Tris sangat menyukai Dave, temanmu.”
“Hanya itukah yang kau pikirkan tentang aku?” Suara Varda meninggi.
“Aku hanya teman kencan untuk semua bisnismu?”
“Tentu saja tidak,” kilahku dengan memalingkan wajah.
“Sama sepertimu aku juga yakin bahwa bagimu aku tidak lebih dari sekedar teman ponselmu,” lanjutku.
Varda membuka mulut sesaat dan kembali menutupnya. “Yah tentu saja. Aku tak ingin kau berpikir aku adalah cerminan mantanmu.  Kau sukses, kau dewasa....” Aku mendengarkan. Aku berani bertaruh Varda tidak akan mengatakan. Kau cantik, kau langsing, dan kau pintar.
“Dan kau akan jadi Ibu yang hebat,” lanjutnya. Jawabannya sontak membuat hatiku berdesir. Tapi aku yakin itu hanya rayuan. Dan aku tidak akan lengah.
“Terima kasih, tapi itu berlebihan,” sahutku.
“Itu romantis,” katanya.
“Yah,” balasku.
Varda mendesah dan meraih kedua tanganku.
Aku membiarkannya bertindak romantis seperti apa yang dipikirkannya.
***

Perfect-LessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang