Bab 3 Pertemuan

5 2 0
                                    


Aku memberi makan Pocky. Dia terlihat kelaparan ketika aku memberinya semangkuk makanan kucing, lalu melahapnya sampai habis.
Terdengar suara bel pintu berbunyi dari depan rumah. Aku mengintipnya dari jendela, yang kulihat di sana Varda menempelkan wajahnya ke kaca, membuat embun yang tebal di sana.
Aku membukakan pintu untuknya, dia merapat masuk menanggalkan jaketnya di tiang gantungan.
Pocky tidak terlalu akrab dengan Varda, bahkan terlihat memusuhinya. Setiap kali Varda datang, dia mengerang keras dan ekornya dia acungkan ke atas. Tapi Varda tidak memperdulikannya.
Rasanya aneh, setelah hamper satu bulan tanpa komunikasi, Varda terlihat biasa saja menghadapiku, begitu juga denganku, seolah semuanya teratasi dengan membungkam mulut masing-masing.
Dia membawa dua kresek berwarna putih hitam. Yang satu berisi makanan tanpa kalori dan satu lagi minuman kaleng tanpa gula. Menyimpannya di meja makan dan sisanya ia simpan di dalam lemari pendingin.
Kursi mengeluarkan suara berdecit ketika Varda menariknya dari bawah meja.
“Duduklah!” katanya. Aku membawa dua buah piring dan gelas, lalu mengisinya dengan air putih.
“Temani aku makan.”
Makanan yang sehat memang baik untuk tubuh, tapi dia terlalu berlebihan. Aku menyodorkan piring padanya. Dan duduk di depannya.
“Tidakkah kau ingin mengucapkan satu hal padaku?” tanyaku setelah Varda menyuapkan makanan ke mulutnya yang penuh.
“Aku ingin kau makan.”
“Kau makan saja makananmu!” Aku kesal karena Varda menyodorkan sepotong roti dengan kalori yang terbunuh padaku.
“Karena itu kau selingkuh dengan perempuan kurus, sementara aku gendut dan menyebalkan.”
“Kita harus hidup sehat, semua orang tahu itu.”
“Bahkan kau harus mengendalikan makananku seperti ini? Lebih baik aku hidup di penjara, Varda. Setidaknya mereka tidak membawakanku makanan seperti ini.”
Aku mendengus ke arah roti itu. Sungguh menyebalkan jika setiap hari aku bertemu dengannya, pasti aku harus memakan roti tanpa rasa itu.
Sebuah roti tanpa rasa dilahapnya habis, jari-jarinya yang penuh dengan remah-remah roti disapu dengan lidah, dia menikmatinya.
Makanannya habis, sementara aku belum sesuap pun memakan roti tanpa rasa itu. Aku terlalu takut untuk memakannya, ketakutanku seperti melihat buaya yang hendak melahapku.
Varda mengambil roti bagianku dan menyuapkankannya ke dalam mulutku. Dengan malas aku mengunyahnya. Jujur saja aku tidak suka makanannya, aku hanya ingin makan bebas semauku tanpa ada yang membatasinya. Aku tidak peduli dengan berat badanku yang tidak stabil. Pipiku akan merekah dan tanganku akan terlihat seperti petinju kelas berat aku tidak peduli.
“Makanlah dengan santai, nikmati makananmu seperti kau menikmati keacuhanmu.”
Aku melotot dengan mulut penuh roti. Aku mengubur dalam-dalam niatku untuk diet sehat menuruti kemauannya.
Oh Tuhan! roti ini seperti air saja, hanya saja lebih tebal.
Varda duduk di depan TV menyingkirkan Pocky yang tengah meringkuk di sana. Aku tahu kenapa Pocky sangat tidak menyukainya, dia berlaku sangat tidak sopan pada tuan rumah. Ya, Pocky tuan rumahnya.
“Sebenarnya ada apa denganmu?” Varda mengeluarkan kekesalan dalam hatinya.
“Tidak ada tanda-tanda SMS masuk darimu, bahkan tidak ada dering telepon darimu,” lanjutnya.
“Kau tidak seharusnya menunggu aku mengirim SMS padamu....” Aku berhenti sejenak untuk mengambil napas.
“Kau bisa memulainya lebih dulu,” tandasku mengakhirinya.
“Bisakah kau menghilangkan egomu itu?” Varda meninggikan suaranya
“Sudah dua tahun, kita seharusnya saling mengerti, bukan saling menyalahkan.”
“Aku tidak menyalahkan, aku hanya mempertanyakan.” Emosinya tertahan.
“Atau kau sudah menemukan penggantiku?”
“Varda....”
“Ze....”
“Lihatlah dirimu, kau menyalahkanku dan bahkan menuduhku melakukan apa yang telah kau lakukan.”
“Aku sudah minta maaf, aku menyesal.”
“Yah, penyesalan yang terlalu cepat berakhir.”
“Sudahlah ini takkan berhasil” Varda menyerah pada perdebatan ini.
“Menurutku juga begitu.”
“Aku selalu mencintaimu....” Varda mendekatkan tubuhnya ke tubuhku. Aku melangkah mundur dan menyentuh dinding.
“Aku akan menenangkan diri, tenangkan juga dirimu.” Dia melanjutkan dan memelukku. Mencium rambutku dan mengelus punggungku. Aku tak membalasnya.
Setelah mengambil jaket, Varda menutup pintu, kemudian terdengar suara mobilnya yang menjauhi rumahku.
***

Perfect-LessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang