02;

131 21 3
                                    

Sekitar lima belas menit pemuda bermarga Choi itu selesai membersihkan diri. Pakaiannya telah berganti dengan sepotong kaus hitam longgar dan celana training yang membalut kakinya. San mendudukkan diri diranjangnya perlahan, takut mengagetkan kucing berbulu abu-abu yang tertidur diatas ranjangnya itu.

San menatap teduh kearah gumpalan bulu yang tengah tertidur diujung ranjangnya, senyumnya terkembang di wajah tampannya. Tangannya terangkat untuk mengusap halus kepala si bola bulu. Gerakan tersebut ternyata membangunkan si kucing abu-abu, si kucing menguap kemudian tubuhnya meregang dengan cakar cakar yang keluar.

"Good morning, lil' guy" Sapa San. Ia terkekeh, entah karena sapaan konyolnya—mengingat sekarang sudah pukul dua belas malam lebih—atau karena respon dari kucingnya yang sangat menggemaskan.

Kucing yang ia beri nama Maga itu berjalan mendekati San dan duduk di pahanya yang bersila. San tesenyum, tangan besarnya tak tinggal diam untuk mengelus kepala si menggemaskan yang mana membuat hewan manis itu mendengkur nyaman. 

Tak beberapa lama bola bulu kesayangannya itu kembali tertidur, medengkur halus diatas pahanya. Sepelan mungkin pemuda Choi memindahkannya ke tempat tidurnya yang berada tepat dibawah kaki ranjangnya sendiri.
San kemudian membaringkan tubuhnya kembali diatas ranjangnya, jujur saja San belum merasakan kantuk. Matanya masih segar untuk segera menutup dan menjelajahi alam mimpi. Ada sesuatu yang mengganjal dipikirannya, itu sebabnya si Choi sulung tetap terjaga.

Banyak yang San pikirkan saat ini, dan yang paling membuatnya terjaga adalah adiknya. Adiknya harus segera membayar uang sekolahnya jika ingin mengikuti ujian, sementara turnamen masih bulan depan, belum lagi cafe tempat San bekerja juga belum waktunya untuk gajian, bengkel tempatnya bekerja juga sedang tutup untuk waktu yang tidak ditentukan. San butuh uang dengan cepat, dia butuh pekerjaan tambahan.

Pemuda Choi itu segera bangkit dari posisinya, meraih ponsel yang tergeletak di meja belajarnya, kemudian mendial nomor seseorang.

Katakan saja San orang aneh, sebab menelfon seseorang di tengah malam begini. Ia juga sebenarnya tidak berharap untuk diangkat sekarang, dan lagi mungkin orang yang San telfon sudah tid—

"Halo?" Terdengar suara diseberang sambungan. Ternyata orang yang San tuju masih terjaga. Syukurlah.

"Halo San?"

"H-halo Kak Seonghwa"

"Iya San, ada apa nelfon jam segini?"

"Kak, sori gue ganggu waktu istirahat lo, tapi gue butuh bantuan lo kak" Suara San melirih diakhir namun masih dapat terdengar jelas oleh orang diseberang telfon.

"Bantuan apa San? lo gak papa kan? Jongho gak papa kan? Nenek, nenek gimana San? beliau gak papa kan?"

Seonghwa, pemuda yang ada diseberang telfon, seseorang yang sedari dulu membantunya bahkan ketika orang tuanya masih lengkap. Seseorang yang selalu ada untuknya di hari kedua orang tuanya tiada. Seseorang yang menjadi cinta pertamanya.

"Mereka baik-baik aja kak, gue butuh bantuan lo kak, gue butuh kerjaan lagi kak. Maaf kalo kesannya gue maksa disini, tapi gue bener-bener butuh kerjaan lain kak" Ucap San.

"San, gue bukannya gak mau bantuin lo, tapi apa nggak repot ke elo nya? lo udah kerja di 3 tempat yang beda loh"

"Gue tau kak, tapi gue lagi butuh banget uang. Uang sekolah Jongho harus segera dibayar supaya dia bisa ikut ujian"

"Berapa uang iurannya? biar gue bantu bayarin—"

"Gak usah kak, lo udah banyak bantuin kita dan gue gak mau makin repotin lo. Cukup kasih gue kerjaan lain kak, gue udah bener-bener terbantu"

𝐄 𝐒 𝐂 𝐀 𝐏 𝐈 𝐒 𝐌 || woosan!auTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang