BAB 91

7.1K 1.4K 90
                                    

Bhiantama terlihat kesal ketika ia kembali ke dalam kamarnya dan hal yang membuatnya lebih kesal adalah gadis pelayan bernama Kian itu telah kembali ke dalam kamarnya. Kali ini gadis itu tengah merapihkan ranjangnya yang menurut Bhiantama sudah rapih dan tidak perlu diperbaiki. "Apa yang kamu lakukan di dalam kamarku?"

Gadis itu berbalik dan menatapnya dengan tercengang, "Seharusnya kamu makan malam."

"Seharusnya Yang Mulia makan malam," Bhiantama memperbaiki. "Kenapa sulit sekali bersikap sopan kepadaku?"

Kian mengerutkan dahinya dan Bhiantama melihatnya sebelum wanita itu menunduk dan berkata, "Maafkan dalem."

Gadis itu lalu berkata, "Dalem akan pergi sekarang."

"Aku perlu bantuanmu."

"..."

"..."

"Yang Mulia?"

"Aku perlu bantuanmu gadis kecil yang tidak sopan kepadaku."

"Aku bukan—maksud dalem—ya, tentu saja, apapun Yang Mulia butuhkan."

Kian menatap sang pangeran mahkota untuk kali pertama semenjak laki-laki itu mengejutkannya, "Tapi dalem tidak yakin bisa membantu apapun."

"Bagaimana kalau kamu mendengarkan saja rencanaku dan setelah itu melakukan apapun yang kuperintahkan?" tanya Bhiantama kepada Kian. "Ibuku...." Ia mengambil waktunya untuk menjelaskan apa yang ia ingin katakan.

"Ibuku, telah pergi dari hidupku," mata birunya menatap Kian yang terlihat bingung. "Ibuku tidak pernah mengenalku ataupun saudara kembarku. Ia juga meninggalkan ayahku hampir lima belas tahun yang lalu. My brother calls her a ghost, but to me, she's a missing star."

"..."
"..."

"Aku harus menemukannya."

"Kenapa?" tanya Kian yang kali ini mendengarkan setiap kata yang diucapkan sang pangeran mahkota. "Maaf kalau dalem lancang, tapi ibu Anda meninggal lima belas tahun yang lalu. Semua orang—setidaknya di Ttagiantabiantara—mengetahuinya."

"Apa kamu percaya kalau ibuku telah meninggal?"

"Maaf Yang Mulia—ya."

"Kenapa?" pertanyaan yang sama ditanyakan Bhiantama kali ini kepada gadis pelayan itu.

"Karena Yang Mulia, kalau dalem boleh berkata jujur, kalau Ibu Anda masih hidup, kakek Anda—Yang Mulia Raja Thackeray Agnibrata tidak akan mengurung dirinya sendiri dan tidak ingin bertemu siapapun bertahun-tahun lamanya."

Bhiantama tidak memikirkan kakeknya sampai Kian mengingatkannya. Gadis itu menambahkan lagi, "Kesehatan Yang Mulia Raja juga semakin menurun dan semua orang di istana telah membicarakan kemungkinan yang—"

"Ibuku masih hidup," kata Bhiantama menghentikkan kata-kata Kian di tengah. "Kakekku dan kesehatannya tidak ada hubungan dengan kematian ibuku."

"Kalau begitu kenapa Anda ke Ttagiantabiantara? Ibu Anda tidak berada di istana ini, Yang Mulia. Semua orang di dalam istana tidak mungkin menyembunyikannya selama lima belas tahun terakhir. Kita semua tahu kalau Ibu Anda meninggal karena beliau jatuh sakit dan dalem lebih percaya akan hal itu, karena alasan apalagi yang masuk akal untuk menjelaskan seorang putri raja yang bersembunyi selama lima belas tahun dan tidak ingin bertemu dengan anak-anaknya?"

Bhiantama masih dengan gigih berkata kepada Kian, "Aku meminta kamu untuk berhenti menebak-nebak apa yang terjadi dengan ibuku. Sekarang, apa yang kamu harus lakukan adalah menuruti perintahku untuk mencarinya."

Kian terdiam dan mendengarkan perintah sang pangeran mahkota, "Aku akan meninggalkan jejak untuknya. Di seluruh Ttagiantabiantara."

Secara spontan Kian mengerutkan dahinya dan Bhiantama mengangguk, "Ya, kamu pasti penasaran apa yang aku maksud dengan meninggalkan jejak."

Kian mengangguk. "Ada tiga hal yang bisa kulakukan untuk meninggalkan jejak—Pertama kedatanganku kembali ke Ttagiantabiantara. Kedua, aku akan mencari ke setiap pelosok istana ini dan seluruh Ttagiantabiantara, dan meninggalkannya pesan kalau aku tahu. Aku tahu kalau dirinya masih hidup dan sudah tidak ada alasan baginya untuk terus bersembunyi. Terakhir, rencanaku adalah untuk memberikannya ini."

Gadis pelayan itu mengerutkan dahinya sekali lagi tidak tahu apa yang sedang dilihatnya. "Secarik kertas?"

"Calaf meninggalkan teka-teki kepada Turandot, pertanyaan terakhir yang diberikannya—siapa namaku? Aku menuliskan jawabannya di kertas ini."

"Dan bagaimana Ibu Anda akan menemukan kertas jawaban ini?"

"You will give it to her."

"Saya—dalem Yang Mulia?"

"Ya, kamu mengenal ibuku, Kian?"  

Let's Call the Whole Thing Off | Kanaka No. 3Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang