3. Rumah Dafi

192 35 5
                                    

Pulang sekolah, Syanara menunggu sendirian di halte yang tidak terlalu jauh dari gerbang sekolahnya. Setiap hari ia memang berangkat dan pulang bersama Abangnya. Tapi, sore ini tidak biasanya Abangnya terlambat menjemputnya. Kalau seperti ini lebih baik Syanara ikut bersama Putri.

Sekolah terlihat sudah sepi, mungkin hanya ada beberapa murid yang masih berada di dalam untuk urusan eskul atau OSIS.

Syanara menunggu sampai bosan karena Abangnya tidak kunjung datang. Panggilan teleponnya pun tidak diangkat. Ia menggerutu sebal, kalau tidak bisa menjemput seharusnya beri kabar saat jam pulangnya. Daripada menunggu tanpa kepastian begini, mending Syanara naik angkot dari tadi dan pastinya ia sudah istirahat di rumah.

Tiba-tiba ponselnya berdering, dan panjang umur ternyata yang menelepon yaitu Abangnya. Syanara pun langsung mengangkat panggilan masuk itu.

"Assalamu'alaikum, Bang. Jemput Rara gak sih?"

"Wa'alaikumussalam, Ra. Maaf, tadi pulang kerja Abang ke kampus dulu ada urusan. Kamu masih nunggu Abang di sekolah?"

"Hm, iya. Rara nunggu di halte."

"Kamu naik angkot atau ojek aja deh. Kayaknya Abang masih lama. Nanti bilangin juga ke Abah sama Ibu, Abang terlambat pulangnya."

"Ish! Abang mah! Rara udah nunggu lebih dari sejam tau."

"Ya, maaf deh. Nanti uangnya Abang ganti. Sekalian nanti pulang Abang bawain es krim Cornetto."

"Es krimnya lima."

"Iya, iya, apa sih yang nggak buat Rara tersayang."

"Ih, bisa banget sih ngerayunya biar Rara gak marah."

"Hahaha, udah deh ya. Hati-hati di jalan. Jangan mampir ke mana-mana, nanti kejebak tawuran lagi."

"Hehehe, iya, Bang. Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumussalam."

Syanara cemberut lagi sambil menyimpan ponselnya ke saku roknya. Tepat saat itu ia mendengar suara decit ban beradu dengan aspal, kemudian tidak lama suara sesuatu yang terjatuh. Syanara menoleh ke jalanan yang masih di depan gerbang sekolah. Betapa terkejutnya Syanara saat melihat seseorang terduduk di aspal dengan motor yang menindih kakinya. Syanara langsung berlari ke arah orang itu, dan agak terkejut ketika motor yang baru saja menabrak hampir menabrak dirinya juga.

"WOY!" teriak Syanara. Pengendara itu makin melajukan motornya dengan cepat. "WOY! JANGAN KABUR!!!" teriak Syanara lagi. Ia pun menggeram kesal melihat motor itu melaju semakin jauh dan sangat tidak bertanggung jawab.

Karena terbawa emosi, Syanara pun hampir lupa dengan orang yang masih terduduk di atas aspal sambil mengaduh kesakitan. Untung saja ada beberapa orang yang mengangkat motor dan membawa orang itu ke pinggir jalan. Syanara pun dengan segera menghampiri orang itu. Betapa terkejutnya Syanara ketika melihat siapa yang diserempet motor tadi. Syanara pun langsung duduk di sampingnya.

"Kak Dafi, gak apa-apa? Ada yang luka gak?" tanya Syanara bernada panik.

"Temannya ya, Dek? Tuh, kaki kirinya berdarah," tanya dan ujar bapak-bapak yang menolong Dafi tadi. Syanara langsung melihat luka yang dimaksud, dan ternyata benar di atas mata kakinya terlihat luka yang menganga. Walau tidak besar, tapi ada darah yang keluar. Syanara sampai meringis karena membayangkan itu pasti sakit sekali.

"Dibawa ke klinik aja, Dek. Kita bantu," ujar bapak-bapak yang lainnya.

"Saya tidak apa-apa, Bapak-bapak. Terima kasih sudah menolong saya. Saya tidak perlu dibawa ke klinik."

"Tapi, itu berdarah, Kak Dafi..." lirih Syanara. Dafi menghiraukan Syanara.

"Ya, sudah, kalau gitu, Dek. Lebih baik dibawa ke UKS biar lukanya cepat diobati."

Bintang Kutub: Aku, Kamu, dan Kisah yang Belum UsaiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang