chapter 2 :
boy next door
LIFE goes on.
Apapun yang terjadi yang masih bernyawa harus tetap melanjutkan hidup.
Ariksa tahu itu tapi kenapa masih saja ketika ia terbangun, sungai tetap mengalir di kedua pipinya? Basah. Ia tidak suka menangis. Membuat kedua kelopak matanya membengkak, dan netranya yang indah memerah. Belum lagi dadanya jadi sesak dan tenggorokannya terasa tidak nyaman. Konsekuensi hidup. Harus sedia menangis dan berduka cita.
Ck, merepotkan.
Seharusnya ia tidak menangisi orang yang sudah mati. Untuk apa? Toh, tangisan tidak mengembalikan Asti atau memberi ibunya itu extra waktu dua puluh tahun di dunia. Bagi Ariksa tangisan tak menguntungkan, kecuali Ariksa jelmaan putri duyung yang air matanya berubah menjadi mutiara bernilai puluhan juta rupiah. Sayang, ini kenyataan, bukan dongeng Disney dengan akhir yang riang. Ariksa paham betul, bahwa di dunianya ini kesenangan itu semu dan kebahagiaan hanyalah wacana yang tak kunjung terealisasi seperti janji buka puasa bersama yang seringnya terdahului lebaran.
Ariksa menoleh menatap ke jendela, sinar mentari mulai menjamah ke dalam kamarnya.
"Jangan nangis, kematian itu kemauan mama," lirihnya sembari mengkoyak sungai yang mengalir di pipinya.
"Dia tenang sekarang, bebas tanpa memikul beban dan tanggung jawab, inget aja kata-kata mama sebelum dia meninggal," monolognya lalu berdecak.
Kelibatan ucapan Asti sebelum ia meninggal kembali menyeruak di memorinya. Kata-kata pengakuan yang membuat Ariksa, gadis tenang yang tak mudah terpancing emosi, tiba-tiba merasa ada gejolak murka di dada. Pengakuan Asti di hari itu berhasil menoreh luka di batinnya.
Sakit, seperti tertusuk belati.
Terluka, bak tergores pecahan kaca.
Sejak hari itu Ariksa semakin yakin jika ibunya lemah, payah, dan menyedihkan.
Ariksa menepuk bahunya sendiri pelan, "Gak usah nangisin orang mati, pikirin masa depan lo sendiri, Sa."
Lagi dan lagi.
Ariksa mencoba memanipulasi perasaannya lagi.
Seperti hari-hari kemarin.
•••
Kak Jisha
Ariksa!
Lo mau rawon gak?Gue masak
banyak bangetAkalnya kembali ke realita saat gawainya bergetar menunjukkan notifikasi. Ariksa memicing, mengingat nama yang tertera sebagai pengirim pesan yang baru ia baca.
KAMU SEDANG MEMBACA
Standing Aloof | Junkyu Treasure
General Fiction❝ You can in a hug crowd, but if you don't feel like you can trust or talk to anybody. You feel like you are really alone. ❞ Bagi Allegra Lariksa, kehidupan hanyalah kekecewaan berbalut harapan. Dunia indah dengan kasih sayang hanya sebuah angan. Fa...